Rabu, 15 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (14)

Diposting oleh Rahmi Andriyani Syam di 07.52
Terasing  seorang diri, ia pergi ke Ta'if,2 dengan tiada orang
yang mengetahuinya. Ia pergi ingin  mendapatkan  dukungan  dan
suaka  dari  Thaqif  terhadap  masyarakatnya  sendiri,  dengan
harapan merekapun akan dapat menerima Islam.  Tetapi  ternyata
mereka  juga  menolaknya  secara  kejam sekali. Kalaupun sudah
begitu, ia masih  mengharapkan  mereka  jangan  memberitahukan
kedatangannya minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki
oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itupun  tidak
didengar.  Bahkan  mereka  menghasut  orang-orang  pandir agar
bersorak-sorai dan memakinya.
 
Ia  pergi  lagi  dari  sana,  berlindung  pada  sebuah   kebun
kepunyaan  'Utba dan Syaiba anak-anak Rabi'a. Orang-orang yang
pandir itu kembali pulang. Ia  lalu  duduk  di  bawah  naungan
pohon    anggur.    Ketika    itu   keluarga   Rabi'a   sedang
memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang dideritanya.
Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia
hanyut dalam suatu  doa  yang  berisi  pengaduan  yang  sangat
mengharukan:
 
"Allahumma   yang   Allah,   kepadaMu   juga   aku  mengadukan
kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta  kehinaan  diriku  di
hadapan  manusia.  O  Tuhan  Maha  Pengasih,  Maha  Penyayang.
Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku.
Kepada  siapa  hendak  Kauserahkan  daku?  Kepada  orang  yang
jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada  musuh  yang
akan  menguasai  diriku?  Asalkan Engkau tidak murka kepadaku,
aku  tidak  peduli,  sebab  sungguh   luas   kenikmatan   yang
Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang
menyinari kegelapan, dan karenanya  membawakan  kebaikan  bagi
dunia dan akhirat - daripada kemurkaanMu yang akan Kautimpakan
kepadaku.  Engkaulah  yang  berhak  menegur  hingga   berkenan
pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan Engkau juga."3
 
Dalam  memperhatikan  keadaan itu hati kedua orang anak Rabi'a
itu merasa tersentak. Mereka merasa iba  dan  kasihan  melihat
nasib   buruk  yang  dialaminya  itu.  Budak  mereka,  seorang
beragama Nasrani bernama 'Addas, diutus  kepadanya  membawakan
buah  anggur  dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas
buah-buahan itu Muhammad berkata: "Bismillah!" Lalu  buah  itu
dimakannya.
 
'Addas memandangnya keheranan.
 
"Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini,"
kata 'Addas.
 
Lalu Muhammad menanyakan negeri  asal  dan  agama  orang  itu.
Setelah  diketahui  bahwa orang tersebut beragama Nasrani dari
Nineveh, katanya:
 
"Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta."
 
"Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta!" tanya 'Addas.
 
"Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku  juga  Nabi,"  jawab
Muhammad.
 
Saat  itu  'Addas  lalu  membungkuk mencium kepala, tangan dan
kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan  keheranan
keluarga  Rabi'a  yang  melihatnya.  Sungguhpun  begitu mereka
tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka. Dan tatkala
'Addas sudah kembali mereka berkata:
 
"'Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu,
yang masih lebih baik daripada agamanya."
 
Gangguan orang  yang  pernah  dialami  Muhammad  seolah  dapat
meringankan   perbuatan   buruk  yang  dilakukan  Thaqif  itu,
meskipun mereka tetap kaku tidak mau mengikutinya. Keadaan itu
sudah  diketahui  pula  oleh  Quraisy sehingga gangguan mereka
kepada Muhammad  makin  menjadi-jadi.  Tetapi  hal  ini  tidak
mengurangi  kemauan Muhammad menyampaikan dakwah Islam. Kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia  memperkenalkan
diri,     mengajak    mereka    mengenal    arti    kebenaran.
Diberitahukannya kepada mereka,  bahwa  ia  adalah  Nabi  yang
diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.
 
Namun    sungguhpun   begitu,   Abu   Lahab   pamannya   tidak
membiarkannya,  bahkan  dibuntutinya   ke   mana   ia   pergi.
Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.
 
Muhammad  sendiri tidak cukup hanya memperkenalkan diri kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah di Mekah  saja,  bahkan
ia  mendatangi  Banu  Kinda4 ke rumah-rumah mereka, mendatangi
Banu Kalb,5 juga ke rumah-rumah mereka, Banu Hanifa6 dan  Banu
'Amir bin Sha'sha'a.7 Tapi tak seorangpun dari mereka yang mau
mendengarkan. Banu Hanifa  bahkan  menolak  dengan  cara  yang
buruk  sekali.  Sedang Banu 'Amir menunjukkan ambisinya, bahwa
kalau Muhammad mendapat kemenangan, maka sebagai penggantinya,
segala  persoalan  nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi
setelah dijawab, bahwa masalah itu  berada  di  tangan  Tuhan,
merekapun  lalu  membuang  muka  dan  menolaknya  seperti yang
lain-lain.
 
Adakah  kegigihan  kabilah-kabilah  yang  mengadakan   oposisi
terhadap  Muhammad  itu  karena  sebab-sebab yang sama seperti
yang dilakukan oleh Quraisy? Kita sudah  melihat,  bahwa  Banu
'Amir  ini  mempunyai  ambisi  ingin  memegang  kekuasaan bila
bersama-sama mereka nanti ia mendapat  kemenangan.  Sebaliknya
kabilah  Thaqif  pandangannya  lain  lagi.  Ta'if  di  samping
sebagai tempat musim panas bagi penduduk Mekah karena udaranya
yang  sejuk dan buah anggurnya yang manis-manis, juga kota ini
merupakan pusat tempat penyembahan Lat. Ke  tempat  itu  orang
berziarah  dan  menyembah  berhala.  Kalau  Thaqif  ini sampai
menjadi pengikut Muhammad, maka  kedudukan  Lat  akan  hilang.
Permusuhan  mereka  dengan  Quraisypun akan timbul, yang sudah
tentu akibatnya akan  mempengaruhi  perekonomian  mereka  pada
musim  dingin.  Begitu  juga  halnya  dengan yang lain, setiap
kabilah  mempunyai  penyakit  sendiri  yang  disebabkan   oleh
keadaan  perekonomian  setempat.  Dalam  menentang  Islam itu,
pengaruh ini lebih besar  terhadap  mereka  daripada  pengaruh
kepercayaan   mereka   dan  kepercayaan  nenek-moyang  mereka,
termasuk penyembahan berhala-berhala.
 
Makin  besar  oposisi  yang  dilakukan  kabilah-kabilah   itu,
Muhammad  makin  mau  menyendiri.  Makin  gigih  pihak Quraisy
melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya,  makin  pula  ia
merasakan pedihnya.

Masa  berkabung  terhadap  Khadijah itupun sudah pula berlalu.
Terpikir olehnya akan  beristeri,  kalau-kalau  isterinya  itu
kelak akan dapat juga menghiburnya, dapat mengobati luka dalam
hatinya, seperti dilakukan Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini
ia   melihat   pertaliannya   dengan  orang-orang  Islam  yang
mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi.  Itu
sebabnya  ia  segera  melamar  puteri  Abu  Bakr, Aisyah. Oleh
karena waktu itu ia masih gadis kecil yang baru berusia  tujuh
tahun,  maka  yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang
perkawinan berlangsung  dua  tahun  kemudian,  ketika  usianya
mencapai sembilan tahun.
 
Sementara  itu  ia kawin pula dengan Sauda, seorang janda yang
suaminya  pernah  ikut  mengungsi  ke  Abisinia  dan  kemudian
meninggal  setelah kembali ke Mekah. Saya rasa pembacapun akan
dapat  menangkap  arti  kedua  ikatan  ini.   Arti   pertalian
perkawinan dan semenda yang dilakukan oleh Muhammad itu, nanti
akan lebih jelas.

Pada masa itulah Isra' dan Mi'raj terjadi. Malam itu  Muhammad
sedang  berada  di  rumah saudara sepupunya, Hindun puteri Abu
Talib yang mendapat  nama  panggilan  Umm  Hani'.  Ketika  itu
Hindun mengatakan:
 
"Malam  itu  Rasulullah  bermalam di rumah saya. Selesai salat
akhir malam, ia tidur dan kamipun tidur.  Pada  waktu  sebelum
fajar  Rasulullah  sudah  membangunkan kami. Sesudah melakukan
ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata:  'Umm  Hani',  saya
sudah  salat  akhir  malam  bersama kamu sekalian seperti yang
kaulihat  di  lembah  ini.  Kemudian  saya  ke   Bait'l-Maqdis
(Yerusalem)   dan   bersembahyang   di   sana.  Sekarang  saya
sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kaulihat."
 
Kataku: "Rasulullah, janganlah menceritakan ini  kepada  orang
lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu lagi!"
 
"Tapi harus saya ceritakan kepada mereka," jawabnya.
 
Orang   yang  mengatakan,  bahwa  Isra'  dan  Mi'raj  Muhammad
'alaihissalam dengan ruh itu berpegang kepada  keterangan  Umm
Hani'  ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan oleh Aisyah:
"Jasad Rasulullah s.a.w. tidak hilang, tetapi Allah menjadikan
isra'8  itu dengan ruhnya." Juga Mu'awiya b. Abi Sufyan ketika
ditanya tentang isra' Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi  yang
benar  dari Tuhan. Di samping semua itu orang berpegang kepada
firman Tuhan: "Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu
adalah sebagai ujian bagi manusia." (Qur'an, 17:60)
 
Sebaliknya  orang  yang berpendapat, bahwa isra' dari Mekah ke
Bait'l-Maqdis itu dengan jasad,  landasannya  ialah  apa  yang
pernah  dikatakan  oleh  Muhammad,  bahwa  dalam  isra' itu ia
berada di pedalaman, seperti yang  akan  disebutkan  ceritanya
nanti.  Sedang  mi'raj  ke langit adalah dengan ruh. Disamping
mereka itu ada  lagi  pendapat  bahwa  isra'  dan  mi'raj  itu
keduanya  dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat ini
di kalangan ahli-ahli iImu kalam banyak sekali dan ribuan pula
tulisan-tulisan  sudah  dikemukakan  orang. Sekitar arti isra'
ini kami sendiri sudah  mempunyai  pendapat  yang  ingin  kami
kemukakan juga. Kita belum mengetahui, sudah adakah orang yang
mengemukakannya sebelum  kita,  atau  belum.  Tetapi,  sebelum
pendapat  ini kita kemukakan - dan supaya dapat kita kemukakan
- perlu sekali kita menyampaikan kisah isra,  dan  mi'raj  ini
seperti yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi.
 
Dengan  indah  sekali  Dermenghem  melukiskan  kisah  ini yang
disarikannya dari  pelbagai  buku  sejarah  hidup  Nabi,  yang
terjemahannya sebagai berikut:
 
"Pada  tengah  malam  yang  sunyi  dan  hening,  burung-burung
malampun diam membisu, binatang-binatang  buas  sudah  berdiam
diri,  gemercik  air dan siulan angin juga sudah tak terdengar
lagi,  ketika  itu  Muhammad   terbangun   oleh   suara   yang
memanggilnya:  "Hai  orang  yang sedang tidur, bangunlah!" Dan
bila ia bangun, dihadapannya  sudah  berdiri  Malaikat  Jibril
dengan  wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju,
melepaskan rambutnya yang pirang  terurai,  dengan  mengenakan
pakaian  berumbaikan  mutiara dan emas. Dan dari sekelilingnya
sayap-sayap  yang  beraneka  warna   bergeleparan.   Tangannya
memegang  seekor  hewan  yang ajaib, yaitu buraq yang bersayap
seperti sayap garuda. Hewan itu membungkuk di  hadapan  Rasul,
dan Rasulpun naik.
 
"Maka  meluncurlah  buraq  itu seperti anak panah membubung di
atas pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju  arah
ke utara. Dalam perjalanan itu ia ditemani oleh malaikat. Lalu
berhenti di gunung Sinai  di  tempat  Tuhan  berbicara  dengan
Musa.   Kemudian   berhenti   lagi  di  Bethlehem  tempat  Isa
dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di udara.
 
"Sementara itu ada suara-suara misterius mencoba  menghentikan
Nabi,  orang  yang  begitu  ikhlas  menjalankan risalahnya. Ia
melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang  dapat  menghentikan  hewan
itu di mana saja dikehendakiNya.
 
"Seterusnya   mereka   sampai   ke   Bait'l-Maqdis.   Muhammad
mengikatkan  hewan  kendaraannya  itu.  Di  puing-puing   kuil
Sulaiman  ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa.
Kemudian dibawakan tangga, yang lalu dipancangkan diatas  batu
Ya'qub. Dengan tangga itu Muhammad cepat-cepat naik ke langit.
 
"Langit    pertama    terbuat    dari   perak   murni   dengan
bintang-bintang yang digantungkan dengan  rantai-rantai  emas.
Tiap  langit  itu  dijaga  oleh  malaikat,  supaya  jangan ada
setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan
mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit inilah Muhammad
memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula  semua  makhluk
memuja   dan  memuji  Tuhan.  Pada  keenam  langit  berikutnya
Muhammad bertemu  dengan  Nuh,  Harun,  Musa,  Ibrahim,  Daud,
Sulaiman,  Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat itu ia melihat
Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara  kedua
matanya  adalah  sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena
kekuasaanNya, maka yang berada  di  bawah  perintahnya  adalah
seratus  ribu  kelompok.  Ia  sedang mencatat nama-nama mereka
yang lahir dan mereka yang mati, dalam sebuah buku  besar.  Ia
melihat  juga Malaikat Airmata, yang menangis karena dosa-dosa
orang, Malaikat Dendam yang berwajah  tembaga  yang  menguasai
anasir api dan sedang duduk di atas singgasana dari nyala api.
Dan dilihatnya juga ada malaikat yang besar luar biasa, separo
dari   api  dan  separo  lagi  dari  salju,  dikelilingi  oleh
malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang tiada  hentinya
menyebut-nyebut  nama  Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan
salju dengan api, telah menyatukan semua hambaMu setia menurut
ketentuan Mu.
 
"Langit  ketujuh  adalah  tempat orang-orang yang adil, dengan
malaikat  yang  lebih  besar  dari  bumi  ini  seluruhnya.  Ia
mempunyai  tujuhpuluh ribu kepala, tiap kepala tujuhpuluh ribu
mulut, tiap mulut tujuhpuluh  ribu  lidah,  tiap  lidah  dapat
berbicara  dalam  tujuh  puluh ribu bahasa, tiap bahasa dengan
tujuhpuluh ribu dialek. Semua  itu  memuja  dan  memuji  serta
mengkuduskan Tuhan.
 
"Sementara  ia  sedang  merenungkan makhluk-makhluk ajaib itu,
tiba-tiba ia membubung lagi sampai  di  Sidrat'l-Muntaha  yang
terletak  di  sebelah  kanan  'Arsy, menaungi berjuta-juta ruh
malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap  matapun  ia
sudah   menyeberangi   lautan-lautan   yang  begitu  luas  dan
daerah-daerah cahaya yang terang-benderang, lalu  bagian  yang
gelap  gulita disertai berjuta juta tabir kegelapan, api, air,
udara dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500  tahun
perjalanan.  Ia melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan,
rahasia,  keagungan  dan  kesatuan.   Dibalik   itu   terdapat
tujuhpuluh ribu kelompok malaikat yang bersujud tidak bergerak
dan tidak pula diperkenankan meninggalkan tempat.
 
"Kemudian terasa lagi ia membubung ke atas ke tempat Yang Maha
Tinggi. Terpesona sekali ia. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi
satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya,  seolah-olah
sudah   hilang   tertelan.   Keduanya   tampak  hanya  sebesar
biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas.
 
"Begitu seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta alam.
 
"Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan 'Arsy,  sudah  dekat
sekali.  Ia  sudah dapat melihat Tuhan dengan persepsinya, dan
melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan lidah, di
luar  jangkauan  otak  manusia  akan  dapat menangkapnya. Maha
Agung Tuhan mengulurkan sebelah tanganNya di dada Muhammad dan
yang  sebelah  lagi  di  bahunya.  Ketika  itu  Nabi merasakan
kesejukan di tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang,  damai,
lalu fana ke dalam Diri Tuhan yang terasa membawa kenikmatan.
 
"Sesudah  berbicara... Tuhan memerintahkan hambaNya itu supaya
setiap Muslim setiap hari sembahyang  limapuluh  kali.  Begitu
Muhammad  kembali  turun  dari langit, ia bertemu dengan Musa.
Musa berkata kepadanya:
 
"Bagaimana   kauharapkan   pengikut-pengikutmu   akan    dapat
melakukan  salat  limapuluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku
sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil
sejauh  yang  dapat  kulakukan.  Percayalah dan kembali kepada
Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang itu.
 
"Muhammadpun kembali. Jumlah sembahyang  juga  lalu  dikurangi
menjadi  empatpuluh.  Tetapi Musa menganggap itu masih di luar
kemampuan  orang.  Disuruhnya  lagi  Nabi   penggantinya   itu
berkali-kali  kembali  kepada  Tuhan  sehingga berakhir dengan
ketentuan yang lima kali.
 
"Sekarang Jibril membawa Nabi  mengunjungi  surga  yang  sudah
disediakan  sesudah  hari  kebangkitan, bagi mereka yang teguh
iman. Kemudian Muhammad kembali dengan  tangga  itu  ke  bumi.
Buraqpun  dilepaskan.  Lalu  ia  kembali dari Bait'l-Maqdis ke
Mekah naik hewan bersayap."
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Rabu, 15 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (14)

Terasing  seorang diri, ia pergi ke Ta'if,2 dengan tiada orang
yang mengetahuinya. Ia pergi ingin  mendapatkan  dukungan  dan
suaka  dari  Thaqif  terhadap  masyarakatnya  sendiri,  dengan
harapan merekapun akan dapat menerima Islam.  Tetapi  ternyata
mereka  juga  menolaknya  secara  kejam sekali. Kalaupun sudah
begitu, ia masih  mengharapkan  mereka  jangan  memberitahukan
kedatangannya minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki
oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itupun  tidak
didengar.  Bahkan  mereka  menghasut  orang-orang  pandir agar
bersorak-sorai dan memakinya.
 
Ia  pergi  lagi  dari  sana,  berlindung  pada  sebuah   kebun
kepunyaan  'Utba dan Syaiba anak-anak Rabi'a. Orang-orang yang
pandir itu kembali pulang. Ia  lalu  duduk  di  bawah  naungan
pohon    anggur.    Ketika    itu   keluarga   Rabi'a   sedang
memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang dideritanya.
Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia
hanyut dalam suatu  doa  yang  berisi  pengaduan  yang  sangat
mengharukan:
 
"Allahumma   yang   Allah,   kepadaMu   juga   aku  mengadukan
kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta  kehinaan  diriku  di
hadapan  manusia.  O  Tuhan  Maha  Pengasih,  Maha  Penyayang.
Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku.
Kepada  siapa  hendak  Kauserahkan  daku?  Kepada  orang  yang
jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada  musuh  yang
akan  menguasai  diriku?  Asalkan Engkau tidak murka kepadaku,
aku  tidak  peduli,  sebab  sungguh   luas   kenikmatan   yang
Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang
menyinari kegelapan, dan karenanya  membawakan  kebaikan  bagi
dunia dan akhirat - daripada kemurkaanMu yang akan Kautimpakan
kepadaku.  Engkaulah  yang  berhak  menegur  hingga   berkenan
pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan Engkau juga."3
 
Dalam  memperhatikan  keadaan itu hati kedua orang anak Rabi'a
itu merasa tersentak. Mereka merasa iba  dan  kasihan  melihat
nasib   buruk  yang  dialaminya  itu.  Budak  mereka,  seorang
beragama Nasrani bernama 'Addas, diutus  kepadanya  membawakan
buah  anggur  dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas
buah-buahan itu Muhammad berkata: "Bismillah!" Lalu  buah  itu
dimakannya.
 
'Addas memandangnya keheranan.
 
"Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini,"
kata 'Addas.
 
Lalu Muhammad menanyakan negeri  asal  dan  agama  orang  itu.
Setelah  diketahui  bahwa orang tersebut beragama Nasrani dari
Nineveh, katanya:
 
"Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta."
 
"Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta!" tanya 'Addas.
 
"Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku  juga  Nabi,"  jawab
Muhammad.
 
Saat  itu  'Addas  lalu  membungkuk mencium kepala, tangan dan
kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan  keheranan
keluarga  Rabi'a  yang  melihatnya.  Sungguhpun  begitu mereka
tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka. Dan tatkala
'Addas sudah kembali mereka berkata:
 
"'Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu,
yang masih lebih baik daripada agamanya."
 
Gangguan orang  yang  pernah  dialami  Muhammad  seolah  dapat
meringankan   perbuatan   buruk  yang  dilakukan  Thaqif  itu,
meskipun mereka tetap kaku tidak mau mengikutinya. Keadaan itu
sudah  diketahui  pula  oleh  Quraisy sehingga gangguan mereka
kepada Muhammad  makin  menjadi-jadi.  Tetapi  hal  ini  tidak
mengurangi  kemauan Muhammad menyampaikan dakwah Islam. Kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia  memperkenalkan
diri,     mengajak    mereka    mengenal    arti    kebenaran.
Diberitahukannya kepada mereka,  bahwa  ia  adalah  Nabi  yang
diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.
 
Namun    sungguhpun   begitu,   Abu   Lahab   pamannya   tidak
membiarkannya,  bahkan  dibuntutinya   ke   mana   ia   pergi.
Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.
 
Muhammad  sendiri tidak cukup hanya memperkenalkan diri kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah di Mekah  saja,  bahkan
ia  mendatangi  Banu  Kinda4 ke rumah-rumah mereka, mendatangi
Banu Kalb,5 juga ke rumah-rumah mereka, Banu Hanifa6 dan  Banu
'Amir bin Sha'sha'a.7 Tapi tak seorangpun dari mereka yang mau
mendengarkan. Banu Hanifa  bahkan  menolak  dengan  cara  yang
buruk  sekali.  Sedang Banu 'Amir menunjukkan ambisinya, bahwa
kalau Muhammad mendapat kemenangan, maka sebagai penggantinya,
segala  persoalan  nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi
setelah dijawab, bahwa masalah itu  berada  di  tangan  Tuhan,
merekapun  lalu  membuang  muka  dan  menolaknya  seperti yang
lain-lain.
 
Adakah  kegigihan  kabilah-kabilah  yang  mengadakan   oposisi
terhadap  Muhammad  itu  karena  sebab-sebab yang sama seperti
yang dilakukan oleh Quraisy? Kita sudah  melihat,  bahwa  Banu
'Amir  ini  mempunyai  ambisi  ingin  memegang  kekuasaan bila
bersama-sama mereka nanti ia mendapat  kemenangan.  Sebaliknya
kabilah  Thaqif  pandangannya  lain  lagi.  Ta'if  di  samping
sebagai tempat musim panas bagi penduduk Mekah karena udaranya
yang  sejuk dan buah anggurnya yang manis-manis, juga kota ini
merupakan pusat tempat penyembahan Lat. Ke  tempat  itu  orang
berziarah  dan  menyembah  berhala.  Kalau  Thaqif  ini sampai
menjadi pengikut Muhammad, maka  kedudukan  Lat  akan  hilang.
Permusuhan  mereka  dengan  Quraisypun akan timbul, yang sudah
tentu akibatnya akan  mempengaruhi  perekonomian  mereka  pada
musim  dingin.  Begitu  juga  halnya  dengan yang lain, setiap
kabilah  mempunyai  penyakit  sendiri  yang  disebabkan   oleh
keadaan  perekonomian  setempat.  Dalam  menentang  Islam itu,
pengaruh ini lebih besar  terhadap  mereka  daripada  pengaruh
kepercayaan   mereka   dan  kepercayaan  nenek-moyang  mereka,
termasuk penyembahan berhala-berhala.
 
Makin  besar  oposisi  yang  dilakukan  kabilah-kabilah   itu,
Muhammad  makin  mau  menyendiri.  Makin  gigih  pihak Quraisy
melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya,  makin  pula  ia
merasakan pedihnya.

Masa  berkabung  terhadap  Khadijah itupun sudah pula berlalu.
Terpikir olehnya akan  beristeri,  kalau-kalau  isterinya  itu
kelak akan dapat juga menghiburnya, dapat mengobati luka dalam
hatinya, seperti dilakukan Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini
ia   melihat   pertaliannya   dengan  orang-orang  Islam  yang
mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi.  Itu
sebabnya  ia  segera  melamar  puteri  Abu  Bakr, Aisyah. Oleh
karena waktu itu ia masih gadis kecil yang baru berusia  tujuh
tahun,  maka  yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang
perkawinan berlangsung  dua  tahun  kemudian,  ketika  usianya
mencapai sembilan tahun.
 
Sementara  itu  ia kawin pula dengan Sauda, seorang janda yang
suaminya  pernah  ikut  mengungsi  ke  Abisinia  dan  kemudian
meninggal  setelah kembali ke Mekah. Saya rasa pembacapun akan
dapat  menangkap  arti  kedua  ikatan  ini.   Arti   pertalian
perkawinan dan semenda yang dilakukan oleh Muhammad itu, nanti
akan lebih jelas.

Pada masa itulah Isra' dan Mi'raj terjadi. Malam itu  Muhammad
sedang  berada  di  rumah saudara sepupunya, Hindun puteri Abu
Talib yang mendapat  nama  panggilan  Umm  Hani'.  Ketika  itu
Hindun mengatakan:
 
"Malam  itu  Rasulullah  bermalam di rumah saya. Selesai salat
akhir malam, ia tidur dan kamipun tidur.  Pada  waktu  sebelum
fajar  Rasulullah  sudah  membangunkan kami. Sesudah melakukan
ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata:  'Umm  Hani',  saya
sudah  salat  akhir  malam  bersama kamu sekalian seperti yang
kaulihat  di  lembah  ini.  Kemudian  saya  ke   Bait'l-Maqdis
(Yerusalem)   dan   bersembahyang   di   sana.  Sekarang  saya
sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kaulihat."
 
Kataku: "Rasulullah, janganlah menceritakan ini  kepada  orang
lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu lagi!"
 
"Tapi harus saya ceritakan kepada mereka," jawabnya.
 
Orang   yang  mengatakan,  bahwa  Isra'  dan  Mi'raj  Muhammad
'alaihissalam dengan ruh itu berpegang kepada  keterangan  Umm
Hani'  ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan oleh Aisyah:
"Jasad Rasulullah s.a.w. tidak hilang, tetapi Allah menjadikan
isra'8  itu dengan ruhnya." Juga Mu'awiya b. Abi Sufyan ketika
ditanya tentang isra' Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi  yang
benar  dari Tuhan. Di samping semua itu orang berpegang kepada
firman Tuhan: "Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu
adalah sebagai ujian bagi manusia." (Qur'an, 17:60)
 
Sebaliknya  orang  yang berpendapat, bahwa isra' dari Mekah ke
Bait'l-Maqdis itu dengan jasad,  landasannya  ialah  apa  yang
pernah  dikatakan  oleh  Muhammad,  bahwa  dalam  isra' itu ia
berada di pedalaman, seperti yang  akan  disebutkan  ceritanya
nanti.  Sedang  mi'raj  ke langit adalah dengan ruh. Disamping
mereka itu ada  lagi  pendapat  bahwa  isra'  dan  mi'raj  itu
keduanya  dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat ini
di kalangan ahli-ahli iImu kalam banyak sekali dan ribuan pula
tulisan-tulisan  sudah  dikemukakan  orang. Sekitar arti isra'
ini kami sendiri sudah  mempunyai  pendapat  yang  ingin  kami
kemukakan juga. Kita belum mengetahui, sudah adakah orang yang
mengemukakannya sebelum  kita,  atau  belum.  Tetapi,  sebelum
pendapat  ini kita kemukakan - dan supaya dapat kita kemukakan
- perlu sekali kita menyampaikan kisah isra,  dan  mi'raj  ini
seperti yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi.
 
Dengan  indah  sekali  Dermenghem  melukiskan  kisah  ini yang
disarikannya dari  pelbagai  buku  sejarah  hidup  Nabi,  yang
terjemahannya sebagai berikut:
 
"Pada  tengah  malam  yang  sunyi  dan  hening,  burung-burung
malampun diam membisu, binatang-binatang  buas  sudah  berdiam
diri,  gemercik  air dan siulan angin juga sudah tak terdengar
lagi,  ketika  itu  Muhammad   terbangun   oleh   suara   yang
memanggilnya:  "Hai  orang  yang sedang tidur, bangunlah!" Dan
bila ia bangun, dihadapannya  sudah  berdiri  Malaikat  Jibril
dengan  wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju,
melepaskan rambutnya yang pirang  terurai,  dengan  mengenakan
pakaian  berumbaikan  mutiara dan emas. Dan dari sekelilingnya
sayap-sayap  yang  beraneka  warna   bergeleparan.   Tangannya
memegang  seekor  hewan  yang ajaib, yaitu buraq yang bersayap
seperti sayap garuda. Hewan itu membungkuk di  hadapan  Rasul,
dan Rasulpun naik.
 
"Maka  meluncurlah  buraq  itu seperti anak panah membubung di
atas pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju  arah
ke utara. Dalam perjalanan itu ia ditemani oleh malaikat. Lalu
berhenti di gunung Sinai  di  tempat  Tuhan  berbicara  dengan
Musa.   Kemudian   berhenti   lagi  di  Bethlehem  tempat  Isa
dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di udara.
 
"Sementara itu ada suara-suara misterius mencoba  menghentikan
Nabi,  orang  yang  begitu  ikhlas  menjalankan risalahnya. Ia
melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang  dapat  menghentikan  hewan
itu di mana saja dikehendakiNya.
 
"Seterusnya   mereka   sampai   ke   Bait'l-Maqdis.   Muhammad
mengikatkan  hewan  kendaraannya  itu.  Di  puing-puing   kuil
Sulaiman  ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa.
Kemudian dibawakan tangga, yang lalu dipancangkan diatas  batu
Ya'qub. Dengan tangga itu Muhammad cepat-cepat naik ke langit.
 
"Langit    pertama    terbuat    dari   perak   murni   dengan
bintang-bintang yang digantungkan dengan  rantai-rantai  emas.
Tiap  langit  itu  dijaga  oleh  malaikat,  supaya  jangan ada
setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan
mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit inilah Muhammad
memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula  semua  makhluk
memuja   dan  memuji  Tuhan.  Pada  keenam  langit  berikutnya
Muhammad bertemu  dengan  Nuh,  Harun,  Musa,  Ibrahim,  Daud,
Sulaiman,  Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat itu ia melihat
Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara  kedua
matanya  adalah  sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena
kekuasaanNya, maka yang berada  di  bawah  perintahnya  adalah
seratus  ribu  kelompok.  Ia  sedang mencatat nama-nama mereka
yang lahir dan mereka yang mati, dalam sebuah buku  besar.  Ia
melihat  juga Malaikat Airmata, yang menangis karena dosa-dosa
orang, Malaikat Dendam yang berwajah  tembaga  yang  menguasai
anasir api dan sedang duduk di atas singgasana dari nyala api.
Dan dilihatnya juga ada malaikat yang besar luar biasa, separo
dari   api  dan  separo  lagi  dari  salju,  dikelilingi  oleh
malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang tiada  hentinya
menyebut-nyebut  nama  Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan
salju dengan api, telah menyatukan semua hambaMu setia menurut
ketentuan Mu.
 
"Langit  ketujuh  adalah  tempat orang-orang yang adil, dengan
malaikat  yang  lebih  besar  dari  bumi  ini  seluruhnya.  Ia
mempunyai  tujuhpuluh ribu kepala, tiap kepala tujuhpuluh ribu
mulut, tiap mulut tujuhpuluh  ribu  lidah,  tiap  lidah  dapat
berbicara  dalam  tujuh  puluh ribu bahasa, tiap bahasa dengan
tujuhpuluh ribu dialek. Semua  itu  memuja  dan  memuji  serta
mengkuduskan Tuhan.
 
"Sementara  ia  sedang  merenungkan makhluk-makhluk ajaib itu,
tiba-tiba ia membubung lagi sampai  di  Sidrat'l-Muntaha  yang
terletak  di  sebelah  kanan  'Arsy, menaungi berjuta-juta ruh
malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap  matapun  ia
sudah   menyeberangi   lautan-lautan   yang  begitu  luas  dan
daerah-daerah cahaya yang terang-benderang, lalu  bagian  yang
gelap  gulita disertai berjuta juta tabir kegelapan, api, air,
udara dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500  tahun
perjalanan.  Ia melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan,
rahasia,  keagungan  dan  kesatuan.   Dibalik   itu   terdapat
tujuhpuluh ribu kelompok malaikat yang bersujud tidak bergerak
dan tidak pula diperkenankan meninggalkan tempat.
 
"Kemudian terasa lagi ia membubung ke atas ke tempat Yang Maha
Tinggi. Terpesona sekali ia. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi
satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya,  seolah-olah
sudah   hilang   tertelan.   Keduanya   tampak  hanya  sebesar
biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas.
 
"Begitu seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta alam.
 
"Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan 'Arsy,  sudah  dekat
sekali.  Ia  sudah dapat melihat Tuhan dengan persepsinya, dan
melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan lidah, di
luar  jangkauan  otak  manusia  akan  dapat menangkapnya. Maha
Agung Tuhan mengulurkan sebelah tanganNya di dada Muhammad dan
yang  sebelah  lagi  di  bahunya.  Ketika  itu  Nabi merasakan
kesejukan di tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang,  damai,
lalu fana ke dalam Diri Tuhan yang terasa membawa kenikmatan.
 
"Sesudah  berbicara... Tuhan memerintahkan hambaNya itu supaya
setiap Muslim setiap hari sembahyang  limapuluh  kali.  Begitu
Muhammad  kembali  turun  dari langit, ia bertemu dengan Musa.
Musa berkata kepadanya:
 
"Bagaimana   kauharapkan   pengikut-pengikutmu   akan    dapat
melakukan  salat  limapuluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku
sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil
sejauh  yang  dapat  kulakukan.  Percayalah dan kembali kepada
Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang itu.
 
"Muhammadpun kembali. Jumlah sembahyang  juga  lalu  dikurangi
menjadi  empatpuluh.  Tetapi Musa menganggap itu masih di luar
kemampuan  orang.  Disuruhnya  lagi  Nabi   penggantinya   itu
berkali-kali  kembali  kepada  Tuhan  sehingga berakhir dengan
ketentuan yang lima kali.
 
"Sekarang Jibril membawa Nabi  mengunjungi  surga  yang  sudah
disediakan  sesudah  hari  kebangkitan, bagi mereka yang teguh
iman. Kemudian Muhammad kembali dengan  tangga  itu  ke  bumi.
Buraqpun  dilepaskan.  Lalu  ia  kembali dari Bait'l-Maqdis ke
Mekah naik hewan bersayap."
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 

Thinkmii Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez