"aku prihatin dengan bumi ini. Allah memberikan kita amanah untuk menjaganya namun kita malah merusaknya."
namaku Dijah. sekarang aku duduk di bangku SMP kelas 1. Itulah sebabnya aku masih sering dianggap anak kecil yang tidak tahu apa-apa oleh semua orang di lingkunganku.
Aku sekolah di salah satu sekolah menengah negeri di Jakarta yang tidak jauh dari rumahku. Aku berasal dari sebuah desa terpencil di Indonesia. Ibu dan ayahku ke jakarta mengajakku mengadu nasib mencari uang untuk kehidupan kami sekeluarga. Walaupun kami miskin tapi kami bahagia dengan hidup kami.
Di Jakarta kami mengontrak sebuah rumah kecil yang terdapat di sebuah gang kecil. Tak kupingkiri kalau daerah tempat kami ini dipenuhi dengan sampah bahkan kali di depan jalan raya dekat kontrakan kami warnanya sudah berubah menjadi hitam dipenuhi pula dengan sampah.
Aku tak tahu siapa yang harus disalahkan dalam hal ini. Yang perlu diketahui adalah untuk menanggulangi adalah berawal dari kesadaran kita sendiri. Jangan sampai kita hanya menyalahkan orang lain sedangkan kita sendiri belum bisa.
Tak kunjung ayah mendapatkan pekerjaan kantoran. Walaupun setiap hari berangkat pagi-pagi berpakaian rapi untuk melamar pekerjaan di Jakarta. sambil menunggu ayah mendapat pekerjaan ibu berinisiatif menjadi penyapu jalanan. Aku tak mungkin tega melihat ibuku sendiri menanggung beban keluarga. Aku putuskan pula untuk ikut menjadi penyapu jalanan setelah aku pulang sekolah.
Aku dan ibu mulai bekerja di siang hari sampai waktu magrib. Di jalan itu, aku kadang merasa jengkel melihat orang-orang yang dengan seenaknya saja membuang sampah sembarangan.
"bu, orang itu buang sampah sembarangan"
"nanti kita aja yang memungut sampahnya nak"
ibu selalu begitu. Sabar dalam segala hal. Tapi kalau begini terus bisa-bisa jumlah sampah akan terus bertambah di jalanan.
Keesokan harinya di sekolahku sedang diadakan kerja bakti dan kita juga diberikan pengarahan mengelola sampah organik dan anorganik. siang hari itu juga aku memberitahu kepada ibu tentang pengarahan yang diberikan di sekolah.
Tanpa takut lagi ketika ada orang yang membuang sampahnya di jalanan aku langsung memberitahunya dengan baik-baik
"maaf mas, sampah ini sebaiknya di buang di tempatnya. Kalau di buang sembarangankan kota tercinta kita inikan jadi kotor."
alhamdulillah, masnya tidak marah karena aku memberitahukannya seperti itu.
Keesokan harinya di saat aku sedang memisahkan sampah basah dan sampah kering tiba-tiba ada yang menghampiriku.
"nak, kenapa mesti dipisahkan sampah-sampah ini!"
"di sekolah saya diajarkan untuk memisahkannya, sampah inikan berlainan jenis. Ini juga agar mempermudah proses pemanfaatannya."
"emank sampah ini masih bisa dimanfaatkan nak?"
"iyah, sampah keringkan seperti bungkus indomie ini bisa dijadikan barang brguna seperti tas belanja, dompet, dan lain-lain. Sedangkan sampah basah bisa jadi kompos"
"eh bisnya udah datang, makasih yah nak informasinya"
"sama-sama pak"
beberapa menit kemudian kamipun selesai menyapu jalanan dan segera kembali ke rumah. Sampai di rumah ayah membawa sebuah kejutan.
"kejutan, sekarang ayah dapat kerjaan"
"alhamdulillah, kerja dimana ayah?"
"ayah bekerja di bengkel nak"
"selamat ayah"
keesokan harinya, ayah sudah mulai bekerja. Sebelum berangkat ke bengkel ayah mengantarku ke sekolah. Sebulan rutinitas itu kami jalani setiap paginya.
Sampai suatu hari, ayah tak pulang-pulang. Terpaksa aku harus sendiri berangkat ke sekolah. malam hari ayah baru pulang, dan ayah sepertinya sedang mabuk. Mulutnya bau alkohol dan kelakuannya sangat mengerikan.
Keesokan harinya ketika ayah sudah bangun, aku beranikan diri bertanya
"ayah, lagi sibuk yah di bengkel? Kok kemarin tidak pulang ke rumah"
"iyah, bengkel lagi sibuk" dijawabnya dengan sangat singkat.
Tak seperti biasanya ayah.
"ibu, kok ayah gitu sih?"
"sabar nak, mungkin ayah lagi sibuk"
kesekian kalinya ibu selalu bersabar atas takdir kehidupan kami.
malam harinya ayah pulang dengan bau alkohol di mulutnya. Aku pura-pura tidur di kamar namun sebenarnya aku ingin tahu ada apa yang terjadi. Kudengar ibu dengan sabar menghadapi ayah namun ayah telah berubah. Ayah terus memarahi ibu karena banyak bertanya.
Keesokan harinya, ketika ayah berangkat kerja aku mengikutinya tanpa ayah sadari. Aku melihat ayah bekerja di bengkel seperti yang dikatakannya. aku heran apa yang mengubah ayah makanya aku tetap mengikutinya. sebentar lagi istirahat makan siang. ayahpun makan siang bersama-sama temannya. Dan apa yang kulihat saat itu adalah teman-teman ayah merokok kemudian memberikan rokok itu kepada ayah. Ayah yang kutau tak pernah menyentuh rokok tapi sekarang?. Setelah makan siang mereka kembali kerja. Dan pulang kerja ayah tak langsung pulang ke rumah. Dia ke sebuah tempat bersama teman-temannya. Aku tak dapat melihat apa yang dilakukannya. Kucoba mengintip dan ternyata ayah minum-minuman keras sambil bermain judi. aku langsung pulang setelah melihat itu. Dalam perjalanan aku menangis, kenapa ayahku menjadi seperti itu.
"darimana nak? Kok baru pulang"
"dari rumah teman bu" ucapku pada ibu yang begitu sabar menghadapi aku dan ayah
tiba-tiba ayah datang, masih dalam keadaan mabuk. Ketika ibu sedang masak di dapur aku menghampiri ayah di kamar.
"ayah kenapa begini" airmatakupun berlinang seiiring ku berbicara pada ayah
"ayah tak usah bohong, aku tahu apa yang ayah lakukan ketika makan siang dan setelah pulang kerja"
aku sangat tidak menyangka, ayahku seketika menamparku dan berkata kalau aku anak tak tahu diri.
Ternyata ibu daritadi berdiri di depan pintu kamar. Ibu menangis karena kelakuan ayah yang seperti itu. Ibu kemudian menghiburku dan mengajakku makan di luar.
"nak, kamu benar tadi melihat ayah seperti itu"
"maaf bu, aku sudah berbohong tadi. Apa yang harus kita lakukan pada ayah bu?"
"entahlah nak, kita bersabar saja"
selesai makan, aku dan ibu kembali ke rumah dan di rumah sudah tidak ada lagi ayah. Barang-barang ayah semuanya di bawa. Ayah meninggalkan kami. Mulai saat itu aku berjanji untuk membahagiakan ibuku. Aku tak ingin ada lagi yang menyakiti ibu.
Pulang sekolah aku bekerja di sebuah toko. Aku bekerja paruh waktu dan ibu kembali bekerja menjadi penyapu jalanan. Walaupun kami hidup seperti itu tapi kami bahagia karena kami saling mencintai. Ibu selalu berusaha mengerti aku dan akupun demikian.
Setahun kemudian, aku membuka uang tabunganku hasil jerih payah yang selama ini kusisihkan. alhamdulillah cukup untuk kujadikan modal usaha sepatu unik dan tas unik. aku juga bekerja sama dengan beberapa toko di mall untuk memasarkan produkku. Penghasilan tambahanku lumayan.
Sekarang ibu tidak bekerja lagi sebagai penyapu jalanan. Aku mencoba ibu untuk menjadi pengusaha kue pula. Alhamdulillah masyarakat sekitar suka dengan kue ibu.
Dari cerita hidupku ini, aku hanya ingin berbagi kepada kalian bahwa dibalik keterpurukan kita masih bisa bangkit. Dengan kerja keras dan ridho Allah, insya Allah semuanya akan indah.
@rahmisyam