Minggu, 26 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (22)

Diposting oleh Rahmi Andriyani Syam di 04.33
SESUDAH hijrah  beberapa  bulan  keadaan  kaum  Muslimin  yang
tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak
Muhajirin ke Mekah terasa  makin  bertambah  adanya.  Terpikir
oleh  mereka  siapa-siapa  dan apa saja yang mereka tinggalkan
itu, serta betapa pula pihak  Quraisy  menyiksa  mereka  dulu?
Tetapi  sungguhpun  begitu,  gerangan  apa  yang  harus mereka
lakukan?  Banyak  penulis-penulis  sejarah  yang  berpendapat,
bahwa  mereka  - dan terutama Muhammad - telah memikirkan akan
mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta  mulai  membuka
permusuhan   dan  akan  mengadakan  perang.  Bahkan  ada  yang
berpendapat,  bahwa  sejak  mereka  sampai  di  Medinah   niat
mengadakan  perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja,
yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah
karena  mereka  masih  sibuk  menyiapkan tempat-tempat tinggal
serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian  mereka
mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan
Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja.  Dan
sudah  wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan
Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah  membuat
pihak  Quraisy  segera menyadari akibat perjanjian 'Aqaba itu.
Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan  Aus  dan  Khazraj
tentang dia.
 
Mereka  memperkuat  pendapat ini dengan apa yang telah terjadi
delapan bulan sesudah Rasul  dan  para  Muhajirin  tinggal  di
Medinah,  yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b.
Abd'l-Muttalib ke tepi  laut  (Laut  Merah)  di  sekitar  'Ish
dengan  membawa  30  orang  pasukan yang terdiri dari kalangan
Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat ini  ia  bertemu
dengan  Abu  Jahl  b.  Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri
dari  penduduk  Mekah;  dan  bahwa  Hamzah  sudah  siap   akan
memerangi  Quraisy  tapi  lalu dilerai oleh Majdi b. 'Amr yang
bertindak sebagai pendamai kedua  belah  pihak.  Masing-masing
kelompok  itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga
ketika Muhammad mengirimkan  'Ubaida  bin'l-Harith  dengan  60
orang pasukan terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka
pergi menuju ke suatu tempat air di Hijaz, yang  disebut  Wadi
Rabigh.  Disini  mereka  bertemu  dengan kelompok Quraisy yang
terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka
bubar   juga   tanpa   suatu  pertempuran;  kecuali  apa  yang
diceritakan orang, bahwa Said b. Abi Waqqash ketika itu  telah
melepaskan  anak  panahnya, "dan itu adalah anak panah pertama
dilepaskan dalam  Islam."  Demikianlah  ketika  Said  bin  Abi
Waqqash  dikirim  ke  daerah  Hijaz  dengan  membawa  8  orang
Muhajirin menurut satu sumber atau  20  orang  menurut  sumber
yang  lain.  Kemudian  mereka  kembali  karena  tidak  bertemu
siapa-siapa.

Alasan mereka ini  mereka  perkuat  lagi  dengan  menyebutkan,
bahwa  Nabi  telah  berangkat  sendiri  sesudah duabelas bulan
tinggal di Medinah, dengan menyerahkan  pimpinan  kota  kepada
Sa'd  b.  'Ubada. Ia pergi ke Abwa',. Sesampainya di Waddan ia
bermaksud mencari Quraisy  dan  Banu  Dzamra;  tetapi  Quraisy
tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak
Banu  Dzamra;  bahwa  sebulan  sesudah  itu  ia   pergi   lagi
mengepalai  200 orang dari Muhajirin dan Anshar - menuju Buwat
dengan sasaran sebuah kafilah yang  dipimpin  o]eh  Umayya  b.
Khalaf  yang  terdiri  dari  2.500  ekor unta dikawal oleh 100
orang pasukan perang. Tapi  juga  sudah  tidak  bertemu  lagi,
sebab  mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah
yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga bulan sesudah ia
kembali  dari  Buwat  di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota
Medinah  diserahkan  kepada  Abu  Salama  b.  Abd'l-Asad,   ia
berangkat  lagi  memimpin  kaum Muslimin yang terdiri dari dua
ratus orang lebih sampai di 'Usyaira di pedalaman Yanbu'.  Ia
tinggal  disana  selama  bulan Jumadil Awal dan beberapa malam
dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623  M.)
sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan
lewat.  Tetapi  ternyata  mereka  sudah   tidak   ada.   Dalam
perjalanan   ini   ia  berhasil  dapat  mengadakan  perjanjian
perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu
Dzamra;  dan  bahwa  begitu ia kembali dan akan tinggal selama
sepuluh  hari  lagi  di  Medinah,  tiba-tiba  Kurz  b.   Jabir
al-Fihri,  orang  yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah
dan Quraisy, datang ke  Medinah  merampok  sejumlah  unta  dan
kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan
kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai  ia
di  suatu  lembah  yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi
Kurz sudah menghilang.

Inilah yang disebut  oleh  penulis-penulis  sejarah  Nabi  itu
dengan sebutan Perang Badr Pertama.
 
Bukankah  semua  peristiwa  ini  sudah  dapat dijadikan bukti,
bahwa kaum Muhajirin - dan terutama Muhammad  -  memang  sudah
memikirkan  akan  membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai
mengadakan permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya -
menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu - ini membuktikan, bahwa
dengan  mengirimkan  satuan-satuan   dan   ekspedisi-ekspedisi
pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:
 
Pertama,   mengadakan   pencegatan   terhadap  kafilah-kafilah
Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari
sana  dalam  perjalanan  musim  panas,  dengan sedapat mungkin
merenggut harta yang dibawa pergi atau barang-barang  dagangan
yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.
 
Kedua,  mengambil  jalur  kafilah Qusaisy dalam perjalannya ke
Syam  itu  dengan   jalan   mengadakan   perjanjian-perjanjian
perdamaian  serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang
jalan Medinah-Pantai Laut  Merah.  Hal  ini  akan  mempermudah
pihak  Muhajirin  melakukan  serangan terhadap kafilah-kafilah
Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat  melindungi
mereka  dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga
kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan  yang  akan
mencegah  kaum  Muslimin - selaku pihak yang berkuasa dan kuat
-bertindak terhadap orang-orang dan  harta-benda  mereka  itu.
Adanya   satuan-satuan   yang   oleh   Nabi  a.s.  pimpinannya
diserahkan masing-masing kepada Hamzah,  'Ubaida  bin'l-Harith
dan Sa'd b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan
yang telah diadakan  dengan  Banu  Dzamra,  Banu  Mudlij,  dan
lain-lain,  memperkuat  maksud  tujuan kedua tadi, begitu juga
pengambilan jalan penduduk  Mekah  ke  Syam  membuktikan  pula
sebagian tujuan kaum Muslimin itu.
 
Bahwa  dengan  adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai enam
bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti
oleh  pihak  Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy
dan menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini  akan  membuat  orang
jadi  sangsi  dan  harus  berpikir  lagi. Pasukan Hamzah tidak
lebih dari 30 orang  dari  Muhajirin,  pasukan  'Ubaida  tidak
lebih  dari  60 orang, demikian juga pasukan Sa'd yang menurut
suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain  20  orang.
Sedang  petugas-petugas  yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy
biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak Muhammad  tinggal  di
Medinah    dan    mulai    mengadakan    persekutuan    dengan
kabilah-kabilah  setempat  dan   dengan   daerah-daerah   yang
berdekatan,  pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan
perlengkapannya. Baik Hamzah, 'Ubaida ataupun Sa'd,  betapapun
keberanian  mereka itu sebagai kepala satuan-satuan Muhajirin,
namun persiapan yang  ada  pada  mereka  tidak  cukup  memberi
semangat  untuk  melakukan  perang.  Bagi  mereka  ini  semua,
kiranya  cukup  dengan  menakut-nakuti  Quraisy  saja,   tanpa
mengadakan  perang;  kecuali  apa yang dilakukan orang tentang
anak panah, yang pernah dilepaskan Sa'd itu.
 
Disamping  itu  kafilah-kafilah  Quraisy  ini   dikawal   oleh
penduduk  Mekah  yang  mempunyai  hubungan darah dan pertalian
kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah
bagi  mereka  itu  mau  saling  bunuh, atau satu sama lain mau
melakukan balas dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah
bersama-sama  ke  dalam  suatu  perang saudara, suatu hal yang
selama tiga belas tahun terus-menerus,  dari  mulai  kerasulan
Muhammad  sampai  pada  waktu  hijrahnya,  kaum  Muslimin  dan
orang-orang  pagan  di  Mekah  sudah   mampu   menghindarinya.
Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar 'Aqaba dulu
itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan  Khazraj
sama-sama  berjanji  akan  melindungi  Muhammad.  Mereka tidak
pernah memberikan janji kepadanya atau  kepada  siapapun  dari
sahabat-sahabatnya   bahwa   mereka  akan  melakukan  tindakan
permusuhan (agresi).

Sungguhpun  sudah  begitu,  memang  tidak  mudah  orang   akan
menyerah  begitu  saja  kepada  ahli-ahli  sejarah, yang dalam
penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad
kemudian  sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan
dan perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya  memang
sengaja  hendak  melakukan  perang. Oleh karena itu, dalam hal
ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat  diterima
akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode
mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula  dengan
kebijaksanaan   Rasul  yang  pada  masa  itu  didasarkan  pada
prinsip-prinsip  persetujuan  dan  saling  pengertian   dengan
pelbagai  macam  kabilah;  di  satu pihak guna menjamin adanya
kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna  menjamin
adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.

Menurut  hemat  saya  adanya  satuan-satuan yang mula-mula ini
tidak lain maksudnya  supaya  pihak  Quraisy  mengerti,  bahwa
kepentingan  mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling
pengertian dengan  pihak  Muslimin  yang  juga  dari  keluarga
mereka,   yang   telah  terpaksa  keluar  dari  Mekah,  karena
mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa  kedua
belah  pihak  harus  menghindari adanya bencana permusuhan dan
kebencian serta menjamin bagi  pihak  Islam  adanya  kebebasan
menjalankan   dakwah   agama,  dan  bagi  pihak  Mekah  adanya
keselamatan   dan   keamanan    perdagangan    mereka    dalam
perjalanannya ke Syam.
 
Sebenarnya  perdagangan  yang  dikirimkan dari Mekah dan Ta'if
dan yang didatangkan ke  Mekah  dari  bagian  Selatan,  adalah
perdagangan   yang  cukup  besar.  Sebuah  kafilah  adakalanya
berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan  seharga  lebih  dan
50.000  dinar.  Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap
tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira  160.000
pounsterling.  Apabila  bagi  pihak  Quraisy sudah pasti bahwa
bahaya yang mengancam  perdagangan  ini  datangnya  dari  anak
negeri  sendiri  yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini
telah membuatnya berpikir-pikir dalam  hal  mengadakan  saling
pengertian  dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang
diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan
melakukan  dakwah  agama  serta  kebebasan  memasuki Mekah dan
melakukan tawaf di Ka'bah. Tetapi saling  pengertian  demikian
ini  takkan  ada  kalau  Quraisy  tidak  dapat memperhitungkan
kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang
kini    akan    mencegat   dan   menutup   jalan   lalu-lintas
perdagangannya.
 
Inilah yang menurut penafsiran saya  yang  menyebabkan  Hamzah
dan  rombongannya  dari  kalangan  Muhajirin  kembali, setelah
berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu
keduanya  dilerai  oleh  Majdi  b. 'Amr. Selanjutnya seringnya
satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah
dengan  suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa
mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian.  Juga
ini  pula  yang  mengartikan  betapa  besarnya  hasrat  Nabi -
setelah  melihat  kecongkakan  Quraisy  dan   sikapnya   dalam
menghadapi  kekuatan  Muhajirin  - ingin mengadakan perdamaian
dengan  kabilah-kabilah  yang  tinggal   di   sepanjang   rute
perdagangan  itu  serta  mengadakan  persekutuan dengan mereka
yang beritanya tentu akan sampai juga kepada  Quraisy.  Dengan
itu  kalau-kalau  mereka  mau  insaf  dan  kembali  memikirkan
perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.

Pendapat  ini  kuat  sekali  landasannya,  yakni  bahwa  dalam
perjalanan  Nabi  a.s. ke Buwat dan 'Usyaira itu tidak sedikit
kalangan  Anshar  dari  penduduk  Medinah  yang  menyertainya.
Padahal  Anshar  itu  hanya  berikrar untuk mempertahankannya,
bukan untuk melakukan  serangan  bersama-sama.  Hal  ini  akan
jelas  terlihat  dalam  Perang  Besar  Badr,  tatkala Muhammad
kemudian  kembali  tanpa  melakukan  pertempuran,  yang   juga
disetujui  oleh  orang-orang  Medinah.  Apabila  pihak  Anshar
memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran  terhadap  ikrar
mereka  jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain,
ini tidak berarti  bahwa  mereka  juga  harus  ikut  memerangi
penduduk  Mekah.  Bagi  ke  duanya  alasan berperang yang akan
dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka  satu
sama  lain,  tidak  ada.  Meskipun dalam perjanjian-perjanjian
perdamaian yang diadakan Muhammad  guna  memperkuat  kedudukan
Medinah  di  samping  melemahkan  tujuan  dagang  Quraisy  itu
merupakan suatu  proteksi,  namun  hal  ini  samasekali  tidak
berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha
lain kearah itu.
 
Jadi   pendapat   yang    mengatakan    bahwa    keberangkatan
satuan-satuan  Hamzah,  'Ubaida  bin'l-Harith dan Sa'd bin Abi
Waqqash  hanya  untuk  memerangi  Quraisy,  dan   menamakannya
sebagai  suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga
adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa',  Buwat  dan
'Usyaira  tidak  lain  dan  suatu  penyerbuan,  adalah  sangat
dibuat-buat,  yang   pada   dasarnya   sudah   tertolak   oleh
keberatan-keberatan  yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis
riwayat hidup Muhammad  yang  telah  mengambil  alih  pendapat
tersebut  tidak  lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri
hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir  abad  kedua  Hijrah,
dan    bahwa    mereka    sangat   terpengaruh   oleh   adanya
peperangan-peperangan yang  terjadi  kemudian  sesudah  Perang
Besar  Badr.  Segala  bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum
itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka  anggap
sebagai     peperangan,     yang     dikaitkan    pula    pada
peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
 
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis  yang  memang  sudah
mengetahui  adanya  sanggahan  demikian  ini,  meskipun  tidak
mereka  sebutkan  dalam  buku-buku  mereka  itu.  Adapun  yang
membuat  kita  menduga  mereka  sudah  mengetahui  hal  ini  -
disamping usaha  mereka  menyesuaikan  diri  dengan  ahli-ahli
sejarah  dari  kalangan  Islam  mengenai  tujuan Muhajirin dan
terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula
mereka   tinggal  di  Medinah  -  ialah  karena  mereka  sudah
menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini  tujuannya
tidak  lain  ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan
bahwa  kebiasaan  merampok  sudah  menjadi  watak  orang-orang
pedalaman  dan  bahwa  penduduk  Medinah  hanya  tertarik pada
barang rampasan  dalam  mengikuti  Muhammad  dengan  melanggar
janji mereka di 'Aqaba.

Ini  adalah  pendapat  yang terbalik, sebab penduduk Medinah -
seperti juga penduduk Mekah - bukanlah  orang-orang  pedalaman
yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai
dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian,  merekapun
lebih   suka  tinggal  menetap  dan  samasekali  mereka  tidak
tertarik  melakukan  perang  kecuali  jika  ada  alasan   yang
luarbiasa
 
Sebaliknya   kaum   Muhajirin,   mereka   berhak   membebaskan
harta-benda mereka  dari  tangan  Quraisy.  Tetapi  sungguhpun
begitu  mereka  bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya
peristiwa Badr. Juga  bukan  itu  pula  yang  telah  mendorong
dikirimnya    satuan-satuan   dan   ekspedisi-ekspedisi   yang
mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang  ini  memang  belum
diundangkan     dalam     Islam,     sedang    Muhammad    dan
sahabat-sahabatnya  bertindak  bukanlah  dengan   tujuan   ala
pedalaman   (badui)   seperti  diduga  oleh  kaum  Orientalis,
melainkan  apa  yang  sudah  berlaku  dan  dilaksanakan   oleh
Muhammad  dan sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang
yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya  ada  kebebasan
berdakwah   sebagaimana   mestinya.   Nanti   penjelasan   dan
pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak  lebih
jelas   di   depan   kita,   bahwa   tujuan   Muhammad  dengan
perjanjian-perjanjian  itu  ialah  guna  memperkuat   Medinah,
supaya  jangan  ada  jalan  bagi  pihak Quraisy dalam mengejar
kehendaknya itu, atau  mencoba  melakukan  kekerasan  terhadap
kaum  Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika
hendak mengembalikan orang-orang Islam  dari  Abisinia.  Dalam
pada  itu  ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan
pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah  untuk  agama  Allah
tetap  dijamin,  dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah
bagi Allah.

Dibalik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi  bersenjata  ini
barangkali  masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad.
Barangkali maksudnya akan  menakut-nakuti  orang-orang  Yahudi
yang   tinggal   di   Medinah   dan   sekitarnya.  Kita  sudah
menyaksikan, bahwa ketika Muhammad  baru  sampai  di  Medinah,
pihak   Yahudi  berhasrat  hendak  merangkulnya.  Akan  tetapi
setelah   mereka   mengadakan   perjanjian   perdamaian    dan
persetujuan  akan  kebebasan  mengadakan  dakwah  agama  serta
melaksanakan  upacara  dan  kewajiban  agama,  begitu   mereka
melihat  keadaan  Muhammad  yang  stabil  dan panji Islam yang
megah dan menjulang tinggi,  mulai  mereka  membalik  memusuhi
Nabi  dan  berusaha  hendak  menjerumuskannya.  Kalaupun dalam
melakukan permusuhan ini mereka tidak  berterus-terang  karena
dikuatirkan  kepentingan  perdagangan  mereka  akan jadi kacau
bila sampai terjadi perang saudara  antara  penduduk  Medinah,
atau  karena  masih  memelihara  perjanjian  perdamaian dengan
mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara  guna
menyebarkan   fitnah   di  kalangan  orang-orang  Islam  serta
membangkitkan   kebencian   antara   Muhajirin   dan   Anshar,
membangunkan  kembali  kedengkian  lama antara Aus dan Khazraj
dengan menyebut-nyebut sejarah Bu'ath dan cerita yang terdapat
dalam persajakan.

Kaum  Muslimin  sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka
serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai  mereka
dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih
berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari  mesjid  secara
paksa.  Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka.
Dan akhirnya Nabi a.s. menolak  mereka  sesudah  diusahakannya
meyakinkan  mereka  dengan  alasan dan bukti. Sudah tentu pula
apabila   orang-orang   Yahudi   Medinah   dibiarkan   berbuat
sekehendak  hati,  mereka  akan  terus  menjadi-jadi dan terus
berusaha mengobarkan  fitnah.  Dari  segi  istilah  kecermatan
diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan
terhadap kelicikan mereka itu saja,  tapi  harus  pula  supaya
mereka  berasa  bahwa  Muslimin  juga punya kekuatan yang akan
dapat   menumpas   setiap   fitnah    yang    ada,    membasmi
jaringan-jaringan    fitnah    serta    mengikis   sampai   ke
akar-akarnya. Cara  yang  paling  baik  untuk  membuat  mereka
merasakan hal ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta
menghadapkannya  pada   benterokan-benterokan   senjata   pada
beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi
hancur, yang oleh pihak Yahudi  memang  diinginkan,  dan  juga
diinginkan oleh pihak Quraisy.
                                  
---------------------------------------------
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Minggu, 26 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (22)

SESUDAH hijrah  beberapa  bulan  keadaan  kaum  Muslimin  yang
tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak
Muhajirin ke Mekah terasa  makin  bertambah  adanya.  Terpikir
oleh  mereka  siapa-siapa  dan apa saja yang mereka tinggalkan
itu, serta betapa pula pihak  Quraisy  menyiksa  mereka  dulu?
Tetapi  sungguhpun  begitu,  gerangan  apa  yang  harus mereka
lakukan?  Banyak  penulis-penulis  sejarah  yang  berpendapat,
bahwa  mereka  - dan terutama Muhammad - telah memikirkan akan
mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta  mulai  membuka
permusuhan   dan  akan  mengadakan  perang.  Bahkan  ada  yang
berpendapat,  bahwa  sejak  mereka  sampai  di  Medinah   niat
mengadakan  perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja,
yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah
karena  mereka  masih  sibuk  menyiapkan tempat-tempat tinggal
serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian  mereka
mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan
Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja.  Dan
sudah  wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan
Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah  membuat
pihak  Quraisy  segera menyadari akibat perjanjian 'Aqaba itu.
Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan  Aus  dan  Khazraj
tentang dia.
 
Mereka  memperkuat  pendapat ini dengan apa yang telah terjadi
delapan bulan sesudah Rasul  dan  para  Muhajirin  tinggal  di
Medinah,  yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b.
Abd'l-Muttalib ke tepi  laut  (Laut  Merah)  di  sekitar  'Ish
dengan  membawa  30  orang  pasukan yang terdiri dari kalangan
Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat ini  ia  bertemu
dengan  Abu  Jahl  b.  Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri
dari  penduduk  Mekah;  dan  bahwa  Hamzah  sudah  siap   akan
memerangi  Quraisy  tapi  lalu dilerai oleh Majdi b. 'Amr yang
bertindak sebagai pendamai kedua  belah  pihak.  Masing-masing
kelompok  itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga
ketika Muhammad mengirimkan  'Ubaida  bin'l-Harith  dengan  60
orang pasukan terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka
pergi menuju ke suatu tempat air di Hijaz, yang  disebut  Wadi
Rabigh.  Disini  mereka  bertemu  dengan kelompok Quraisy yang
terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka
bubar   juga   tanpa   suatu  pertempuran;  kecuali  apa  yang
diceritakan orang, bahwa Said b. Abi Waqqash ketika itu  telah
melepaskan  anak  panahnya, "dan itu adalah anak panah pertama
dilepaskan dalam  Islam."  Demikianlah  ketika  Said  bin  Abi
Waqqash  dikirim  ke  daerah  Hijaz  dengan  membawa  8  orang
Muhajirin menurut satu sumber atau  20  orang  menurut  sumber
yang  lain.  Kemudian  mereka  kembali  karena  tidak  bertemu
siapa-siapa.

Alasan mereka ini  mereka  perkuat  lagi  dengan  menyebutkan,
bahwa  Nabi  telah  berangkat  sendiri  sesudah duabelas bulan
tinggal di Medinah, dengan menyerahkan  pimpinan  kota  kepada
Sa'd  b.  'Ubada. Ia pergi ke Abwa',. Sesampainya di Waddan ia
bermaksud mencari Quraisy  dan  Banu  Dzamra;  tetapi  Quraisy
tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak
Banu  Dzamra;  bahwa  sebulan  sesudah  itu  ia   pergi   lagi
mengepalai  200 orang dari Muhajirin dan Anshar - menuju Buwat
dengan sasaran sebuah kafilah yang  dipimpin  o]eh  Umayya  b.
Khalaf  yang  terdiri  dari  2.500  ekor unta dikawal oleh 100
orang pasukan perang. Tapi  juga  sudah  tidak  bertemu  lagi,
sebab  mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah
yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga bulan sesudah ia
kembali  dari  Buwat  di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota
Medinah  diserahkan  kepada  Abu  Salama  b.  Abd'l-Asad,   ia
berangkat  lagi  memimpin  kaum Muslimin yang terdiri dari dua
ratus orang lebih sampai di 'Usyaira di pedalaman Yanbu'.  Ia
tinggal  disana  selama  bulan Jumadil Awal dan beberapa malam
dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623  M.)
sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan
lewat.  Tetapi  ternyata  mereka  sudah   tidak   ada.   Dalam
perjalanan   ini   ia  berhasil  dapat  mengadakan  perjanjian
perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu
Dzamra;  dan  bahwa  begitu ia kembali dan akan tinggal selama
sepuluh  hari  lagi  di  Medinah,  tiba-tiba  Kurz  b.   Jabir
al-Fihri,  orang  yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah
dan Quraisy, datang ke  Medinah  merampok  sejumlah  unta  dan
kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan
kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai  ia
di  suatu  lembah  yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi
Kurz sudah menghilang.

Inilah yang disebut  oleh  penulis-penulis  sejarah  Nabi  itu
dengan sebutan Perang Badr Pertama.
 
Bukankah  semua  peristiwa  ini  sudah  dapat dijadikan bukti,
bahwa kaum Muhajirin - dan terutama Muhammad  -  memang  sudah
memikirkan  akan  membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai
mengadakan permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya -
menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu - ini membuktikan, bahwa
dengan  mengirimkan  satuan-satuan   dan   ekspedisi-ekspedisi
pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:
 
Pertama,   mengadakan   pencegatan   terhadap  kafilah-kafilah
Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari
sana  dalam  perjalanan  musim  panas,  dengan sedapat mungkin
merenggut harta yang dibawa pergi atau barang-barang  dagangan
yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.
 
Kedua,  mengambil  jalur  kafilah Qusaisy dalam perjalannya ke
Syam  itu  dengan   jalan   mengadakan   perjanjian-perjanjian
perdamaian  serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang
jalan Medinah-Pantai Laut  Merah.  Hal  ini  akan  mempermudah
pihak  Muhajirin  melakukan  serangan terhadap kafilah-kafilah
Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat  melindungi
mereka  dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga
kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan  yang  akan
mencegah  kaum  Muslimin - selaku pihak yang berkuasa dan kuat
-bertindak terhadap orang-orang dan  harta-benda  mereka  itu.
Adanya   satuan-satuan   yang   oleh   Nabi  a.s.  pimpinannya
diserahkan masing-masing kepada Hamzah,  'Ubaida  bin'l-Harith
dan Sa'd b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan
yang telah diadakan  dengan  Banu  Dzamra,  Banu  Mudlij,  dan
lain-lain,  memperkuat  maksud  tujuan kedua tadi, begitu juga
pengambilan jalan penduduk  Mekah  ke  Syam  membuktikan  pula
sebagian tujuan kaum Muslimin itu.
 
Bahwa  dengan  adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai enam
bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti
oleh  pihak  Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy
dan menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini  akan  membuat  orang
jadi  sangsi  dan  harus  berpikir  lagi. Pasukan Hamzah tidak
lebih dari 30 orang  dari  Muhajirin,  pasukan  'Ubaida  tidak
lebih  dari  60 orang, demikian juga pasukan Sa'd yang menurut
suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain  20  orang.
Sedang  petugas-petugas  yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy
biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak Muhammad  tinggal  di
Medinah    dan    mulai    mengadakan    persekutuan    dengan
kabilah-kabilah  setempat  dan   dengan   daerah-daerah   yang
berdekatan,  pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan
perlengkapannya. Baik Hamzah, 'Ubaida ataupun Sa'd,  betapapun
keberanian  mereka itu sebagai kepala satuan-satuan Muhajirin,
namun persiapan yang  ada  pada  mereka  tidak  cukup  memberi
semangat  untuk  melakukan  perang.  Bagi  mereka  ini  semua,
kiranya  cukup  dengan  menakut-nakuti  Quraisy  saja,   tanpa
mengadakan  perang;  kecuali  apa yang dilakukan orang tentang
anak panah, yang pernah dilepaskan Sa'd itu.
 
Disamping  itu  kafilah-kafilah  Quraisy  ini   dikawal   oleh
penduduk  Mekah  yang  mempunyai  hubungan darah dan pertalian
kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah
bagi  mereka  itu  mau  saling  bunuh, atau satu sama lain mau
melakukan balas dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah
bersama-sama  ke  dalam  suatu  perang saudara, suatu hal yang
selama tiga belas tahun terus-menerus,  dari  mulai  kerasulan
Muhammad  sampai  pada  waktu  hijrahnya,  kaum  Muslimin  dan
orang-orang  pagan  di  Mekah  sudah   mampu   menghindarinya.
Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar 'Aqaba dulu
itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan  Khazraj
sama-sama  berjanji  akan  melindungi  Muhammad.  Mereka tidak
pernah memberikan janji kepadanya atau  kepada  siapapun  dari
sahabat-sahabatnya   bahwa   mereka  akan  melakukan  tindakan
permusuhan (agresi).

Sungguhpun  sudah  begitu,  memang  tidak  mudah  orang   akan
menyerah  begitu  saja  kepada  ahli-ahli  sejarah, yang dalam
penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad
kemudian  sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan
dan perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya  memang
sengaja  hendak  melakukan  perang. Oleh karena itu, dalam hal
ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat  diterima
akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode
mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula  dengan
kebijaksanaan   Rasul  yang  pada  masa  itu  didasarkan  pada
prinsip-prinsip  persetujuan  dan  saling  pengertian   dengan
pelbagai  macam  kabilah;  di  satu pihak guna menjamin adanya
kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna  menjamin
adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.

Menurut  hemat  saya  adanya  satuan-satuan yang mula-mula ini
tidak lain maksudnya  supaya  pihak  Quraisy  mengerti,  bahwa
kepentingan  mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling
pengertian dengan  pihak  Muslimin  yang  juga  dari  keluarga
mereka,   yang   telah  terpaksa  keluar  dari  Mekah,  karena
mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa  kedua
belah  pihak  harus  menghindari adanya bencana permusuhan dan
kebencian serta menjamin bagi  pihak  Islam  adanya  kebebasan
menjalankan   dakwah   agama,  dan  bagi  pihak  Mekah  adanya
keselamatan   dan   keamanan    perdagangan    mereka    dalam
perjalanannya ke Syam.
 
Sebenarnya  perdagangan  yang  dikirimkan dari Mekah dan Ta'if
dan yang didatangkan ke  Mekah  dari  bagian  Selatan,  adalah
perdagangan   yang  cukup  besar.  Sebuah  kafilah  adakalanya
berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan  seharga  lebih  dan
50.000  dinar.  Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap
tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira  160.000
pounsterling.  Apabila  bagi  pihak  Quraisy sudah pasti bahwa
bahaya yang mengancam  perdagangan  ini  datangnya  dari  anak
negeri  sendiri  yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini
telah membuatnya berpikir-pikir dalam  hal  mengadakan  saling
pengertian  dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang
diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan
melakukan  dakwah  agama  serta  kebebasan  memasuki Mekah dan
melakukan tawaf di Ka'bah. Tetapi saling  pengertian  demikian
ini  takkan  ada  kalau  Quraisy  tidak  dapat memperhitungkan
kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang
kini    akan    mencegat   dan   menutup   jalan   lalu-lintas
perdagangannya.
 
Inilah yang menurut penafsiran saya  yang  menyebabkan  Hamzah
dan  rombongannya  dari  kalangan  Muhajirin  kembali, setelah
berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu
keduanya  dilerai  oleh  Majdi  b. 'Amr. Selanjutnya seringnya
satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah
dengan  suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa
mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian.  Juga
ini  pula  yang  mengartikan  betapa  besarnya  hasrat  Nabi -
setelah  melihat  kecongkakan  Quraisy  dan   sikapnya   dalam
menghadapi  kekuatan  Muhajirin  - ingin mengadakan perdamaian
dengan  kabilah-kabilah  yang  tinggal   di   sepanjang   rute
perdagangan  itu  serta  mengadakan  persekutuan dengan mereka
yang beritanya tentu akan sampai juga kepada  Quraisy.  Dengan
itu  kalau-kalau  mereka  mau  insaf  dan  kembali  memikirkan
perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.

Pendapat  ini  kuat  sekali  landasannya,  yakni  bahwa  dalam
perjalanan  Nabi  a.s. ke Buwat dan 'Usyaira itu tidak sedikit
kalangan  Anshar  dari  penduduk  Medinah  yang  menyertainya.
Padahal  Anshar  itu  hanya  berikrar untuk mempertahankannya,
bukan untuk melakukan  serangan  bersama-sama.  Hal  ini  akan
jelas  terlihat  dalam  Perang  Besar  Badr,  tatkala Muhammad
kemudian  kembali  tanpa  melakukan  pertempuran,  yang   juga
disetujui  oleh  orang-orang  Medinah.  Apabila  pihak  Anshar
memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran  terhadap  ikrar
mereka  jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain,
ini tidak berarti  bahwa  mereka  juga  harus  ikut  memerangi
penduduk  Mekah.  Bagi  ke  duanya  alasan berperang yang akan
dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka  satu
sama  lain,  tidak  ada.  Meskipun dalam perjanjian-perjanjian
perdamaian yang diadakan Muhammad  guna  memperkuat  kedudukan
Medinah  di  samping  melemahkan  tujuan  dagang  Quraisy  itu
merupakan suatu  proteksi,  namun  hal  ini  samasekali  tidak
berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha
lain kearah itu.
 
Jadi   pendapat   yang    mengatakan    bahwa    keberangkatan
satuan-satuan  Hamzah,  'Ubaida  bin'l-Harith dan Sa'd bin Abi
Waqqash  hanya  untuk  memerangi  Quraisy,  dan   menamakannya
sebagai  suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga
adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa',  Buwat  dan
'Usyaira  tidak  lain  dan  suatu  penyerbuan,  adalah  sangat
dibuat-buat,  yang   pada   dasarnya   sudah   tertolak   oleh
keberatan-keberatan  yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis
riwayat hidup Muhammad  yang  telah  mengambil  alih  pendapat
tersebut  tidak  lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri
hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir  abad  kedua  Hijrah,
dan    bahwa    mereka    sangat   terpengaruh   oleh   adanya
peperangan-peperangan yang  terjadi  kemudian  sesudah  Perang
Besar  Badr.  Segala  bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum
itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka  anggap
sebagai     peperangan,     yang     dikaitkan    pula    pada
peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
 
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis  yang  memang  sudah
mengetahui  adanya  sanggahan  demikian  ini,  meskipun  tidak
mereka  sebutkan  dalam  buku-buku  mereka  itu.  Adapun  yang
membuat  kita  menduga  mereka  sudah  mengetahui  hal  ini  -
disamping usaha  mereka  menyesuaikan  diri  dengan  ahli-ahli
sejarah  dari  kalangan  Islam  mengenai  tujuan Muhajirin dan
terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula
mereka   tinggal  di  Medinah  -  ialah  karena  mereka  sudah
menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini  tujuannya
tidak  lain  ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan
bahwa  kebiasaan  merampok  sudah  menjadi  watak  orang-orang
pedalaman  dan  bahwa  penduduk  Medinah  hanya  tertarik pada
barang rampasan  dalam  mengikuti  Muhammad  dengan  melanggar
janji mereka di 'Aqaba.

Ini  adalah  pendapat  yang terbalik, sebab penduduk Medinah -
seperti juga penduduk Mekah - bukanlah  orang-orang  pedalaman
yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai
dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian,  merekapun
lebih   suka  tinggal  menetap  dan  samasekali  mereka  tidak
tertarik  melakukan  perang  kecuali  jika  ada  alasan   yang
luarbiasa
 
Sebaliknya   kaum   Muhajirin,   mereka   berhak   membebaskan
harta-benda mereka  dari  tangan  Quraisy.  Tetapi  sungguhpun
begitu  mereka  bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya
peristiwa Badr. Juga  bukan  itu  pula  yang  telah  mendorong
dikirimnya    satuan-satuan   dan   ekspedisi-ekspedisi   yang
mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang  ini  memang  belum
diundangkan     dalam     Islam,     sedang    Muhammad    dan
sahabat-sahabatnya  bertindak  bukanlah  dengan   tujuan   ala
pedalaman   (badui)   seperti  diduga  oleh  kaum  Orientalis,
melainkan  apa  yang  sudah  berlaku  dan  dilaksanakan   oleh
Muhammad  dan sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang
yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya  ada  kebebasan
berdakwah   sebagaimana   mestinya.   Nanti   penjelasan   dan
pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak  lebih
jelas   di   depan   kita,   bahwa   tujuan   Muhammad  dengan
perjanjian-perjanjian  itu  ialah  guna  memperkuat   Medinah,
supaya  jangan  ada  jalan  bagi  pihak Quraisy dalam mengejar
kehendaknya itu, atau  mencoba  melakukan  kekerasan  terhadap
kaum  Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika
hendak mengembalikan orang-orang Islam  dari  Abisinia.  Dalam
pada  itu  ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan
pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah  untuk  agama  Allah
tetap  dijamin,  dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah
bagi Allah.

Dibalik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi  bersenjata  ini
barangkali  masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad.
Barangkali maksudnya akan  menakut-nakuti  orang-orang  Yahudi
yang   tinggal   di   Medinah   dan   sekitarnya.  Kita  sudah
menyaksikan, bahwa ketika Muhammad  baru  sampai  di  Medinah,
pihak   Yahudi  berhasrat  hendak  merangkulnya.  Akan  tetapi
setelah   mereka   mengadakan   perjanjian   perdamaian    dan
persetujuan  akan  kebebasan  mengadakan  dakwah  agama  serta
melaksanakan  upacara  dan  kewajiban  agama,  begitu   mereka
melihat  keadaan  Muhammad  yang  stabil  dan panji Islam yang
megah dan menjulang tinggi,  mulai  mereka  membalik  memusuhi
Nabi  dan  berusaha  hendak  menjerumuskannya.  Kalaupun dalam
melakukan permusuhan ini mereka tidak  berterus-terang  karena
dikuatirkan  kepentingan  perdagangan  mereka  akan jadi kacau
bila sampai terjadi perang saudara  antara  penduduk  Medinah,
atau  karena  masih  memelihara  perjanjian  perdamaian dengan
mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara  guna
menyebarkan   fitnah   di  kalangan  orang-orang  Islam  serta
membangkitkan   kebencian   antara   Muhajirin   dan   Anshar,
membangunkan  kembali  kedengkian  lama antara Aus dan Khazraj
dengan menyebut-nyebut sejarah Bu'ath dan cerita yang terdapat
dalam persajakan.

Kaum  Muslimin  sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka
serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai  mereka
dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih
berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari  mesjid  secara
paksa.  Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka.
Dan akhirnya Nabi a.s. menolak  mereka  sesudah  diusahakannya
meyakinkan  mereka  dengan  alasan dan bukti. Sudah tentu pula
apabila   orang-orang   Yahudi   Medinah   dibiarkan   berbuat
sekehendak  hati,  mereka  akan  terus  menjadi-jadi dan terus
berusaha mengobarkan  fitnah.  Dari  segi  istilah  kecermatan
diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan
terhadap kelicikan mereka itu saja,  tapi  harus  pula  supaya
mereka  berasa  bahwa  Muslimin  juga punya kekuatan yang akan
dapat   menumpas   setiap   fitnah    yang    ada,    membasmi
jaringan-jaringan    fitnah    serta    mengikis   sampai   ke
akar-akarnya. Cara  yang  paling  baik  untuk  membuat  mereka
merasakan hal ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta
menghadapkannya  pada   benterokan-benterokan   senjata   pada
beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi
hancur, yang oleh pihak Yahudi  memang  diinginkan,  dan  juga
diinginkan oleh pihak Quraisy.
                                  
---------------------------------------------
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 

Thinkmii Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez