Seorang laki-laki buta yang Allah turunkan ayat mengenainya sebanyak enam ayat yang akan terus dibaca dan akan terus dibaca hingga hari kiamat.”
(Ahli Tafsir al-Qur’an)
Siapakah laki-laki yang dengan sebabnya Rasulullah mendapat teguran yang sangat keras dari atas langit ke tujuh dengan teguran yang sangat membuat beliau sakit.
Siapakah laki-laki yang dengan sebabnya malaikat Jibril datang untuk menyampaikan wahyu dari Rasulullah untuk nabi Muhammad?”
Dia adalah Abdullah bin Ummi Maktum, muadzin Rasulullah `.
Abdullah bin Ummi Maktum berasal dari Makkah dari suku Quraisy. Dia masih mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah`. Abdullah bin Ummi Maktum adalah putra paman Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid ra, istri beliau.
Ayahnya bernama Qais bin Zaid dan ibunya bernama Atikah binti Abdullah. Atikah dipanggil dengan sebutan Ummi Maktum karena dia melahirkan Abdullah dalam keadaan buta.
Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan munculnya ‘cahaya di Makkah. Dia merupakan orang yang terdahulu masuk ke dalam Islam.
Abdullah bin Ummi Maktum hidup di tengah-tengah cobaan yang menimpa kaum muslimin, namun dia menghadapinya dengan penuh pengorbanan, keteguhan, dan kekokohan iman.
Abdullah bin Ummi Maktum menghadapi semua cobaan yang menimpa para sahabatnya dari kalangan kaum muslimin. Dia juga merasakan siksaan yang mereka rasakan, namun dia kehilangan nyali, semangatnya tidak memudar dan imannya tidak melemah.
Hal itu justru menambah keteguhannya dalam berpegang teguh pada agama Islam, semakin bergantung kepaa Al-Qur’an, semakin mendalami syariat Allah, dan semakin menerima ajaran Rasulullah `.
Di antara bentuk loyalitasnya pada Rasulullah dan bentuk kesungguhannya dalam menghafal al-Qur’an ialah Abdullah bin Ummi Maktum selalu menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk menghafalnya. Setiap kali ada peluang dia langsung mengambilnya. Bahkan terkadang dia mengabaikan hak-haknya dan hak Rasul karena besarnya keinginan untuk mendalami Islam.
Pada saat-saat itu Rasulullah sedang gencar-gencarnya berdakwah kepada para pemuka Quraisy sangat berambisi untuk mengislamkan mereka. Pada suatu hari Rasulullah mengadakan pertemuan dengan Utbah bin Rabi’ah ,saudaran kandungnya Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Jahal, dan Walid bin Mughirah ayah Khalid bin Walid sang pedang Allah. Rasulullah membujuk mereka dan menjelaskan indahnya Islam kepada mereka. Rasulullah sangat berambisi mereka semua mau mengikuti seruan Rasulullah atau mereka menghentikan siksaan mereka kepada para sahabat beliau.
Ketika Rasulullah masih mengadakan pertemuan dengan para pemuka Quraisy, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Ummi Maktum yang hendak meminta Rasulullah agar mengajarinya sebagaian ayat Al-Qur’an. Abdullah bin Ummi Maktum berkata, “Wahai Rasulullah ajarkan padaku ayat yang diajarkan Allah kepadamu.”
Namun Rasulullah justru memalingkan wajah dari Abdullah bin Ummi Maktum dan bermuka masam padanya. Rasulullah lebih mementingkan para pemuka kaum Quraisy. Rasulullah lebih mementingkan mereka dengan harapan agar mereka masuk ke dalam Islam dan keislaman mereka akan menyebabkan Islam mulia dan dapat membantu dakwah Rasulullah.
Ketika Rasulullah telah selesai mendakwahi para pemuka Quraisy dan bercakap-cakap dengan mereka, akhirnya beliau pulang. Ketika Rasulullah hendak pulang tiba-tiba Allah menahan sebagian penglihatan beliau. Beliau merasakan seakan-akan ada orang yang memukul kepalanya.
1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,2. Karena Telah datang seorang buta kepadanya3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),4. Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,6. Maka kamu melayaninya.7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),9. Sedang ia takut kepada (Allah), 10. Maka kamu mengabaikannya.11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,12. Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,13. Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,14. Yang ditinggikan lagi disucikan,15. Di tangan para penulis (malaikat),16. Yang mulia lagi berbakti.(Abasa: 1-16)
Ada enam belas ayat yang Allah turunkan melalui perantara malaikat Jibril ke dalam hati nabi Muhammad mengenai masalah Abdullah bin Ummi Maktum. Ayat itu sampai saat ini masih dibaca, dan akan terus dibaca hingga berakhirnya dunia kelak.
Sejak saat itulah Rasulullah mulai menghargai kedudukan Abdullah bin Ummi Maktum. Rasulullah selalu mendekat pada majlisnya apabila bertemu dengan Abdullah bin Maktum. Beliau juga selalu menanyakan kabarnya dan membantu Abdullah bin Ummi Maktum untuk menunaikan semua kebutuhannya.
Hal itu tidak mengherankan karena dengan sebabnya Rasulullah mendapatkan teguran yang sangat keras dari atas langit tujuh.
Ketika kaum Quraisy semakin membabi buta dalam menyiksa orang-orang beriman dan cobaan mereka semakin kuat, Allah mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah. Abdullah bin Ummi Maktum adalah orang yang paling dahulu meninggalkan negerinya dan berlari meninggalkan agamanya.
Abdullah bin Ummi Maktum dan Mush’ab bin Umair adalah orang yang paling pertama di kalangan para sahabat beliau yang hijrah ke Madinah.
Sesampainya di Madinah, Abdullah bin Ummi Maktum dan Mush’ab bin Umair langsung berpisah untuk membacakan al-Qur’an dan mengajarkan masalah agama kepada penduduk Madinah.
Sedangkan ketika Rasulullah` telah sampai di Madinah, Abdullah bin Ummi Maktum dan Bilal bin Rabah menjadi muadzin Rasulullah `. Keduanya mengumandangkan kalimat tauhid sebanyak lima kali dalam sehari. Keduanya sama-sama mengajak manusia menuju kebaikan dan menghasung mereka menuju keberuntungan.
Terkadang Bilal bin Rabah yang mengumandangkan adzan sedangkan Abdullah bin Ummi Maktum yang membaca iqamat. Atau terkadang Abdullah bin Ummi Maktum yang mengumandangkan adzan sedangkan Bilal bin Rabah yang membaca iqamat.
Sedangkan ketika Ramadhan Abdullah bin Ummi Maktum dan Bilal bin Rabah memiliki hal yang berbeda dibandingkan yang lainnya. Kaum muslimin mulai melaksanakan sahur ketika mendengar adzan salah satu dari keduanya dan menahan makan mereka ketika mendengar adzan salah satu dari keduanya.
Bilal mengumandangkan adzan malam membangunkan manusia, sedangkan Abdullah bin Ummi Maktum mengumandangkan adzan subuh setelah mencari waktu yang tepat dan ternyata tidak pernah keliru.
Di antara bentuk penghormatan lain Rasulullah kepada Abdullah bin Ummi Maktum adalah beliau menjadikannya sebagai pengganti di Madinah ketika beliau tidak berada di Madinah selama beberapa puluh kali, salah satunya adalah ketika Rasulullah pergi untuk menaklukkan kota Makkah.
Pada akhir perang Badar Allah menurunkan ayat al-Qur’an kepada nabiNya yang meninggikan kedudukan para mujahidin (orang yang ikut berperang) dan memberikan keutamaan kepada mereka dibandingkan orang-orang yang tidak ikut berperang. Hal itu ternyata membuat para mujahidin semakin bersemangat, dan membuat orang yang tidak berperang menjadi ikut. Hal itu ternyata sangat membekas dalam diri Abdullah bin Ummi Maktum, dirinya merasa berkecil hati karena tidak bisa turut memperoleh keutamaan tersebut.
Abdullah bin Ummi Maktum berkata kepada Rasulullah `, Wahai Rasulullah, seandainya aku mampu untuk berjihad niscaya aku akan melakukannya. Setelah itu Abdullah bin Ummi Maktum berdoa kepada Allah dengan hati yang khusyu’ agar menurunkan ayat Qur’an yang menerangkan tentang kondisinya dan orang-orang yang senasib dengannya yang merasa sedih karena tidak bisa turut berjihad.
Dengan penuh rendah hati dia berdoa, “Ya Allah, turunkanlah ayat yang menerangkan tentang alasanku tidak berperang…. Ya Allah, turunkanlah ayat yang menerangkan tentang alasanku tidak berperang.”
Tidak lama berselang setelah itu Allah kmenurunkan ayatnya.
Zaid bin Tsabit, penulis wahyu yang Allah turunkan bercerita, “Aku berada di sebelah Rasulullah. Pada waktu itu Rasulullah sangat tenang, paha beliau berada di atas pahaku. Aku belum pernah mendapati paha yang lebih berat dari paha beliau. Dan ternyata pada waktu itu beliau sedang menerima wahyu.
Rasulullah berkata, “Wahai Zaid, tulislah! Lalu aku menuliskan
لاَيَسْتَوِى الْقَائِدُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُجَاهِدُوْنَ فِيِ سَبِيْلِ اللهِ….
“Tidaklah sama orang-orang yang tidak berperang dari kalangan orang beriman dengan orang yang berperang di jalan Allah….”
Lalu Abdullah bin Ummi Maktum berdiri dan bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan orang yang tidak mampun untuk berjihad?” Tidak berselang lama setelah beiau bertanya, tiba-tiba Rasulullah kembali tenang dan paha beliau jatuh ke atas pahaku (Zaid bin Tsabit). Aku merasakan berat yang sama dengan sebelumnya pada paha Rasulullah. Lalu turunlah wahyu kepada beliau.
Rasulullah berkata, “Bacalah apa yang engkau tuliskan wahai Zaid!”
Lalu aku membacakan,
لاَيَسْتَوِى الْقَائِدُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Tidaklah sama orang-orang yang tidak berperang dari kalangan orang beriman….
Rasulullah bersabda, “Tulislah ayat ini..
غَيْرُ أُولِى الضَّرَرِ
“…selain dari orang yang mempunyai halangan…”
Akhirnya Allah menurunkan ayat yang diinginkan Abdullah bin Ummi Maktum.
Meskipun Allah sudah memberikan toleransi bagi Abdullah bin Ummi Maktum untuk tidak turut berjihad namun jiwanya yang sangat mulia itu enggan untuk tinggal bersama orang-orang yang tidak ikut berperang (tanpa alasan). Dia bertekad kuat untuk bisa turut berjihad di jalan Allah. Hal itu karena orang yang berjiwa besar hanya mau dengan segala hal yang besar.
Sejak saat itulah dia bertekad kuat untuk tidak absen jika ada peperangan. Dia sudah merancang apa yang akan dia perbuat di arena peperangan. Abdullah bin Ummi Maktum berkata, “Taruhla aku di antara dua barisan perang, dan letakkanlah panji perang di pundakku, aku akan menjaganya, karena aku tidak bisa melarikan diri.”
Pada tahun 14 H, Umar bin Khattab bertekad kuat untuk dapat bersama-sama dengan pasukan berkuda muslimin di peperangan hingga mampu mengobrak-abrik kerajaan musuh, membinasakannya dan membukakan pintu masuk bagi pasukan kaum muslimin. Umar menuliskan surat kepada pegawainya yang berbunyi,
“Kerahkan secepatnya kepadaku semua orang yang mempunyai senjata, mempunyai kuda perang, dan mempunyai penglihatan!”
Akhirnya semua kaum muslimn memenuhi seruan Umar bin Khattab. Mereka semua pergi menuju Madinah dari berbagai penjuru daerah. Di antara pasukan berperang tersebut adalah Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat yang buta.
Rasulullah mengangkat kepada pasukan sahabat-sahabat senior seorang komandan, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash. Rasulullah menasihatinya kemudian melepaskan kepergiannya.
Ketika pasukan muslimin tiba di daerah Qadisiyyah, nampaklah Abdullah bin Ummi Maktum dengan mengenakan baju perangnya dan membawa perlengkapan yang sangat lengkap. Dia membawa dan menjaga panji perang kaum muslimin atau mati dibawanya.
Pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan kafir. Peperangan berlangsung sangat sengit. Peperangan sedahsyat itu belum pernah terjadi dalam peperangan maupun penaklukkan sebelumnya. Baru pada hari ketiga dalam peperangan tampaklah kemenangan bagi kaum Muslimin.
Saat itu kerajaan yang paling besar tercabik-cabik oleh kaum muslimin. Tahta kerajaan binasa di tangan mereka. Panji tauhid berkibar di negeri penyembah berhala. Namun perang yang besar ini harus dibayar mahal dengan syahidnya ratusan syuhada’, di antara yang gugur menjadi syahid adalah Abdullah bin Ummi Maktum.
Abdullah bin Ummi Maktum mendapatkan luka yang sangat parah dan tersungkur syahid dalam keadaan memeluk panji perang.[1]
[1] Untuk lebih jelas mengetahui sejarah Abdullah bin Ummi Maktum, silahkan baca kitab,
- al-Ishabah at-Tarjamah halaman 5764
- at-Tabaqât al-Kubrâ juz 4 halaman 205
- Sifatus Shafwah juz 1 halaman 237
- Dzailul Mudzayyal halaman 36, 47
- Hayâtus Shahabah (lihat daftar isi)
- Terdapat beberapa pendapat mengenai nama Abdullah bin Ummi Maktum. Penduduk Madinah memanggilnya Abdullah, sedangkan penduduk Irak memanggilnya Umar. Sedangkan nama ayahnya tidak ada perbedaan pendapat, yaitu Qais bin Zaidah.