Selasa, 07 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (2)

Diposting oleh Rahmi Andriyani Syam di 04.31
Baik  kaum  Orientalis  maupun beberapa kalangan kaum Muslimin
sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat  ini  dan
menganggap   sumber  itu  lemah  sekali.  Yang  melihat  kedua
laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah  itu
hanya  anak-anak  yang  baru  dua tahun lebih sedikit umurnya.
Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber
itu   sependapat   bahwa  Muhammad  tinggal  di  tengah-tengah
Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima  tahun.  Andaikata
peristiwa  itu  terjadi  ketika ia berusia dua setengah tahun,
dan ketika itu Halimah dan  suaminya  mengembalikannya  kepada
ibunya,  tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita
itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa  penulis
berpendapat,  bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
kalinya.

Dalam hal ini Sir William Muir tidak  mau  menyebutkan  cerita
tentang  dua  orang  berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan,
bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya  suatu
gangguan  kepada  anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu
gangguan krisis urat-saraf, dan kalau  hal  itu  tidak  sampai
mengganggu  kesehatannya  ialah  karena  bentuk  tubuhnya yang
baik. Barangkali yang  lainpun  akan  berkata:  Baginya  tidak
diperlukan  lagi  akan  ada  yang  harus  membelah  perut atau
dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan  sudah  mempersiapkannya
supaya  menjalankan  risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari  yang  diketahui
orang  dari  teks  ayat  yang  berbunyi:  "Bukankah sudah Kami
lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang
telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)

Apa  yang  telah  diisyaratkan  Qur'an  itu  adalah dalam arti
rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan  (menyucikan)
dan  mencuci  hati  yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian
meneruskannya  seikhlas-ikhlasnya,  dengan  menanggung  segala
beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan  demikian  apa  yang  diminta  oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah  bahwa  peri  hidup
Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri
kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat  kenabiannya  itu
memang  tidak  perlu  ia harus bersandar kepada apa yang biasa
dilakukan oleh  mereka  yang  suka  kepada  yang  ajaib-ajaib.
Dengan  demikian  mereka  beralasan  sekali  menolak tanggapan
penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi
yang  tidak  masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dikemukakan itu tidak sejalan dengan  apa  yang  diminta  oleh
Qur'an   supaya   merenungkan   ciptaan   Tuhan,   dan   bahwa
undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai
dengan  ekspresi  Qur'an  tentang  kaum Musyrik yang tidak mau
mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia  lima
tahun,  menghirup  jiwa  kebebasan dan kemerdekaan dalam udara
sahara  yang  lepas  itu.  Dari   kabilah   ini   ia   belajar
mempergunakan  bahasa  Arab  yang  murni,  sehingga  pernah ia
mengatakan kepada teman-temannya kemudian:  "Aku  yang  paling
fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di
tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan
yang  indah  sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu
Halimah dan keluarganya  tempat  dia  menumpahkan  rasa  kasih
sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk  daerah  itu  pernah  mengalami  suatu  masa paceklik
sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana  Halimah
kemudian  mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta
Khadijah berupa unta yang dimuati air  dan  empat  puluh  ekor
kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah  sebagai  tanda
penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
bersama-sama pihak Hawazin setelah  Ta'if  dikepung,  kemudian
dibawa  kepada  Muhammad,  ia segera mengenalnya. Ia dihormati
dan dikembalikan kepada keluarganya  sesuai  dengan  keinginan
wanita itu.

Sesudah  lima  tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang
membawanya    pulang    ketempat    keluarganya   tapi   tidak
menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan  memberitahukan
bahwa  Muhammad  telah  sesat jalan ketika berada di hulu kota
Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya,  yang
akhirnya   dikembalikan   oleh  Waraqa  bin  Naufal,  demikian
setengah orang berkata.

Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh  cucunya  itu.
Ia   memeliharanya   sungguh-sungguh  dan  mencurahkan  segala
kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu -
pemimpin  seluruh  Quraisy  dan pemimpin Mekah - diletakkannya
hamparan  tempat  dia  duduk  di  bawah  naungan  Ka'bah,  dan
anak-anaknya  lalu  duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai
penghormatan kepada orang tua. Tetapi  apabila  Muhammad  yang
datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu
sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya
rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek  itu  kepada  cucunya  ketika
Aminah   kemudian   membawa   anaknya  itu  ke  Medinah  untuk
diperkenalkan  kepada  saudara-saudara  kakeknya  dari   pihak
Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu.  Sesampai  mereka  di  Medinah
kepada  anak  itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal
dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama  kali
ia  merasakan  sebagai  anak yatim. Dan barangkali juga ibunya
pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta
itu,   yang   setelah  beberapa  waktu  tinggal  bersama-sama,
kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari  pihak
ibu.  Sesudah  Hijrah  pernah  juga  Nabi  menceritakan kepada
sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah
dengan  ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah
yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah  sudah
bersiap-siap  akan  pulang.  Ia  dan  rombongan kembali pulang
dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
tengah  perjalanan,  ketika  mereka  sampai  di Abwa',2 ibunda
Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan
pula di tempat itu.

Anak  itu  oleh  Umm  Aiman  dibawa  pulang  ke  Mekah, pulang
menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
kehilangan;  sudah  ditakdirkan  menjadi  anak  yatim.  Terasa
olehnya hidup yang makin sunyi,  makin  sedih.  Baru  beberapa
hari   yang   lalu  ia  mendengar  dari  Ibunda  keluhan  duka
kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan.  Kini  ia
melihat  sendiri  dihadapannya,  ibu pergi untuk tidak kembali
lagi, seperti ayah dulu.  Tubuh  yang  masih  kecil  itu  kini
dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih  lagi  kecintaan  Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi
sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu
bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam
Qur'anpun disebutkan,  ketika  Allah  mengingatkan  Nabi  akan
nikmat  yang  dianugerahkan  kepadanya  itu:  "Bukankah engkau
dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya  orang  yang  akan
melindungimu?  Dan  menemukan  kau  kehilangan  pedoman,  lalu
ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan  terasa  agak
meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat
hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua  itu  juga  meninggal,
dalam  usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
berumur  delapan  tahun.  Sekali   lagi   Muhammad   dirundung
kesedihan  karena  kematian  kakeknya  itu, seperti yang sudah
dialaminya  ketika  ibunya  meninggal.  Begitu  sedihnya  dia,
sehingga   selalu  ia  menangis  sambil  mengantarkan  keranda
jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun
sesudah  itu,  di  bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat
perhatian  dan  pemeliharaan  yang   baik   sekali,   mendapat
perlindungan  sampai  masa  kenabiannya,  yang  terus demikian
sampai pamannya itupun achirnya meninggal.

Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada
yang  seperti  dia:  mempunyai  keteguhan  hati,   kewibawaan,
pandangan  yang  tajam,  terhormat dan berpengaruh di kalangan
Arab semua. Dia menyediakan makanan dan  minuman  bagi  mereka
yang  datang  berziarah,  memberikan  bantuan  kepada penduduk
Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak  ada
lagi  dari  anak-anaknya  itu yang akan dapat meneruskan. Yang
dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu,  sedang  yang
kaya  hidupnya  kikir  sekali.  Oleh  karena itu maka Keluarga
Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan
yang  memang  sejak  dulu  diinginkan  itu, tanpa menghiraukan
ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu  Talib,  sekalipun  dia
bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua
adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena
itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus
rifada  (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu
Talib  mempunyai  perasaan  paling  halus  dan  terhormat   di
kalangan   Quraisy.   Dan   tidak   pula   mengherankan  kalau
Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu
Talib.

Abu    Talib   mencintai   kemenakannya   itu   sama   seperti
Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu  ia  mendahulukan
kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad
yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati,  itulah  yang
lebih  menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan
pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru
duabelas  tahun  -  mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi
padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan  membawa  Muhammad.
Akan  tetapi  Muhammad  yang  dengan  ikhlas  menyatakan  akan
menemani pamannya  itu,  itu  juga  yang  menghilangkan  sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.

Anak  itu  lalu  turut  serta  dalam rombongan kafilah, hingga
sampai di Bushra di  sebelah  selatan  Syam.  Dalam  buku-buku
riwayat  hidup  Muhammad  diceritakan,  bahwa dalam perjalanan
inilah ia bertemu dengan rahib Bahira,  dan  bahwa  rahib  itu
telah  melihat  tanda-tanda  kenabian  padanya  sesuai  dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber  menceritakan,
bahwa   rahib   itu  menasehatkan  keluarganya  supaya  jangan
terlampau  dalam  memasuki  daerah  Syam,  sebab   dikuatirkan
orang-orang   Yahudi  yang  mengetahui  tanda-tanda  itu  akan
berbuat jahat terhadap dia.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah  itu
melihat  luasnya  padang  pasir,  menatap bintang-bintang yang
berkilauan  di  langit  yang  jernih   cemerlang.   Dilaluinya
daerah-daerah    Madyan,    Wadit'l-Qura   serta   peninggalan
bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan  telinganya  yang
tajam  segala  cerita  orang-orang Arab dan penduduk pedalaman
tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun
yang lebat dengan buab-buahan  yang  sudah  masak,  yang  akan
membuat  ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita
orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya
dengan  dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di
sekeliling Mekah itu. Di Syam  ini  juga  Muhammad  mengetahui
berita-berita  tentang  Kerajaan  Rumawi dan agama Kristennya,
didengarnya berita tentang Kitab  Suci  mereka  serta  oposisi
Persia  dari  penyembah  api  terhadap mereka dan persiapannya
menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun  usianya  baru  dua  belas  tahun,  tapi  dia  sudah
mempunyai  persiapan  kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman
otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam  dan  ingatan
yang  cukup  kuat  serta  segala  sifat-sifat semacam itu yang
diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
risalah  (misi)  maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat
ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki,  meneliti.  Ia  tidak
puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya
kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Tampaknya  Abu  Talib  tidak   banyak   membawa   harta   dari
perjalanannya   itu.   Ia  tidak  lagi  mengadakan  perjalanan
demikian.  Malah  sudah  merasa  cukup   dengan   yang   sudah
diperolehnya  itu.  Ia  menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya
yang  banyak  sekalipun  dengan  harta  yang  tidak  seberapa.
Muhammad  juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.
Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka  yang
seusia  dia.  Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
Mekah  dengan  keluarga,  kadang  pergi  bersama   mereka   ke
pekan-pekan   yang   berdekatan   dengan  'Ukaz,  Majanna  dan
Dhu'l-Majaz,  mendengarkan  sajak-sajak  yang  dibawakan  oleh
penyair-penyair  Mudhahhabat  dan  Mu'allaqat.3 Pendengarannya
terpesona oleh sajak-sajak yang fasih  melukiskan  lagu  cinta
dan  puisi-puisi  kebanggaan,  melukiskan nenek moyang mereka,
peperangan  mereka,  kemurahan  hati  dan  jasa-jasa   mereka.
Didengarnya  ahli-ahli  pidato di antaranya orang-orang Yahudi
dan  Nasrani  yang  membenci  paganisma  Arab.  Mereka  bicara
tentang  Kitab-kitab  Suci  Isa  dan Musa, dan mengajak kepada
kebenaran  menurut  keyakinan  mereka.  Dinilainya  semua  itu
dengan  hati  nuraninya,  dilihatnya  ini  lebih baik daripada
paganisma yang telah  menghanyutkan  keluarganya  itu.  Tetapi
tidak sepenuhnya ia merasa lega.

Dengan  demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya
ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat
mula  pertama  datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
menyampaikan  risalahNya  itu.  Yakni  risalah  kebenaran  dan
petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Kalau  Muhammad  sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
dengan pamannya  Abu  Talib,  sudah  mendengar  para  penyair,
ahli-ahli  pidato  membacakan  sajak-sajak  dan  pidato-pidato
dengan  keluarganya  dulu  di  pekan  sekitar   Mekah   selama
bulan-bulan  suci,  maka ia juga telah mengenal arti memanggul
senjata, ketika ia  mendampingi  paman-pamannya  dalam  Perang
Fijar.  Dan  Perang  Fijar  itulah  di  antaranya  yang  telah
menimbulkan  dan  ada  sangkut-pautnya  dengan  peperangan  di
kalangan  kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena
ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu  kabilah-kabilah
seharusnya   tidak   boleh   berperang.   Pada   waktu  itulah
pekan-pekan dagang diadakan di  'Ukaz,  yang  terletak  antara
Ta'if  dengan  Nakhla  dan  antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz,
tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling  tukar  menukar
perdagangan,  berlumba  dan  berdiskusi,  sesudah itu kemudian
berziarah ke tempat berhala-berhala mereka  di  Ka'bah.  Pekan
'Ukaz  adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
Arab  lainnya.  Di  tempat   itu   penyair-penyair   terkemuka
membacakan  sajak-sajaknya  yang  terbaik,  di tempat itu Quss
(bin Sa'ida) berpidato dan  di  tempat  itu  pula  orang-orang
Yahudi,  Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
mengemukakan pandangan dengan bebas,  sebab  bulan  itu  bulan
suci.

Akan  tetapi  Barradz  bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi
menghormati  bulan  suci  itu  dengan   mengambil   kesempatan
membunuh  'Urwa  ar-Rahhal  bin  'Utba  dari  kabilah Hawazin.
Kejadian  ini  disebabkan  oleh  karena  Nu'man  bin'l-Mundhir
setiap  tahun  mengirimkan  sebuah  kafilah dari Hira ke 'Ukaz
membawa muskus,  dan  sebagai  gantinya  akan  kembali  dengan
membawa  kulit  hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba
Barradz tampil  sendiri  dan  membawa  kafilah  itu  ke  bawah
pengawasan  kabilah  Kinana.  Demikian  juga 'Urwa lalu tampil
pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.

Adapun pilihan  Nu'man  terhadap  'Urwa  (Hawazin)  ini  telah
menimbulkan   kejengkelan   Barradz  (Kinana),  yang  kemudian
mengikutinya dari belakang,  lalu  membunuhnya  dan  mengambil
kabilah  itu.  Sesudah  itu  kemudian  Barradz  memberitahukan
kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
balas  kepada  Quraisy.  Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy
sebelum masuknya bulan suci.  Maka  terjadilah  perang  antara
mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin  memberi  peringatan
bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.
 
Perang  demikian  ini  berlangsung  antara  kedua  belah pihak
selama empat tahun terus-menerus  dan  berakhir  dengan  suatu
perdamaian   model  pedalaman,  yaitu  yang  menderita  korban
manusia lebih  kecil  harus  membayar  ganti  sebanyak  jumlah
kelebihan  korban  itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian
Quraisy telah  membayar  kompensasi  sebanyak  duapuluh  orang
Hawazin.  Nama  Barradz  ini  kemudian menjadi peribahasa yang
menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak  memberikan  kepastian
mengenai  umur  Muhammad  pada waktu Perang Fijar itu terjadi.
Ada yang mengatakan umurnya limabelas  tahun,  ada  juga  yang
mengatakan  duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
perang tersebut berlangsung selama  empat  tahun.  Pada  tahun
permulaan   ia   berumur   limabelas   tahun  dan  pada  tahun
berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.

Selasa, 07 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (2)

Baik  kaum  Orientalis  maupun beberapa kalangan kaum Muslimin
sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat  ini  dan
menganggap   sumber  itu  lemah  sekali.  Yang  melihat  kedua
laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah  itu
hanya  anak-anak  yang  baru  dua tahun lebih sedikit umurnya.
Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber
itu   sependapat   bahwa  Muhammad  tinggal  di  tengah-tengah
Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima  tahun.  Andaikata
peristiwa  itu  terjadi  ketika ia berusia dua setengah tahun,
dan ketika itu Halimah dan  suaminya  mengembalikannya  kepada
ibunya,  tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita
itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa  penulis
berpendapat,  bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
kalinya.

Dalam hal ini Sir William Muir tidak  mau  menyebutkan  cerita
tentang  dua  orang  berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan,
bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya  suatu
gangguan  kepada  anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu
gangguan krisis urat-saraf, dan kalau  hal  itu  tidak  sampai
mengganggu  kesehatannya  ialah  karena  bentuk  tubuhnya yang
baik. Barangkali yang  lainpun  akan  berkata:  Baginya  tidak
diperlukan  lagi  akan  ada  yang  harus  membelah  perut atau
dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan  sudah  mempersiapkannya
supaya  menjalankan  risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari  yang  diketahui
orang  dari  teks  ayat  yang  berbunyi:  "Bukankah sudah Kami
lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang
telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)

Apa  yang  telah  diisyaratkan  Qur'an  itu  adalah dalam arti
rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan  (menyucikan)
dan  mencuci  hati  yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian
meneruskannya  seikhlas-ikhlasnya,  dengan  menanggung  segala
beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan  demikian  apa  yang  diminta  oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah  bahwa  peri  hidup
Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri
kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat  kenabiannya  itu
memang  tidak  perlu  ia harus bersandar kepada apa yang biasa
dilakukan oleh  mereka  yang  suka  kepada  yang  ajaib-ajaib.
Dengan  demikian  mereka  beralasan  sekali  menolak tanggapan
penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi
yang  tidak  masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dikemukakan itu tidak sejalan dengan  apa  yang  diminta  oleh
Qur'an   supaya   merenungkan   ciptaan   Tuhan,   dan   bahwa
undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai
dengan  ekspresi  Qur'an  tentang  kaum Musyrik yang tidak mau
mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia  lima
tahun,  menghirup  jiwa  kebebasan dan kemerdekaan dalam udara
sahara  yang  lepas  itu.  Dari   kabilah   ini   ia   belajar
mempergunakan  bahasa  Arab  yang  murni,  sehingga  pernah ia
mengatakan kepada teman-temannya kemudian:  "Aku  yang  paling
fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di
tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan
yang  indah  sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu
Halimah dan keluarganya  tempat  dia  menumpahkan  rasa  kasih
sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk  daerah  itu  pernah  mengalami  suatu  masa paceklik
sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana  Halimah
kemudian  mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta
Khadijah berupa unta yang dimuati air  dan  empat  puluh  ekor
kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah  sebagai  tanda
penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
bersama-sama pihak Hawazin setelah  Ta'if  dikepung,  kemudian
dibawa  kepada  Muhammad,  ia segera mengenalnya. Ia dihormati
dan dikembalikan kepada keluarganya  sesuai  dengan  keinginan
wanita itu.

Sesudah  lima  tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang
membawanya    pulang    ketempat    keluarganya   tapi   tidak
menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan  memberitahukan
bahwa  Muhammad  telah  sesat jalan ketika berada di hulu kota
Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya,  yang
akhirnya   dikembalikan   oleh  Waraqa  bin  Naufal,  demikian
setengah orang berkata.

Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh  cucunya  itu.
Ia   memeliharanya   sungguh-sungguh  dan  mencurahkan  segala
kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu -
pemimpin  seluruh  Quraisy  dan pemimpin Mekah - diletakkannya
hamparan  tempat  dia  duduk  di  bawah  naungan  Ka'bah,  dan
anak-anaknya  lalu  duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai
penghormatan kepada orang tua. Tetapi  apabila  Muhammad  yang
datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu
sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya
rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek  itu  kepada  cucunya  ketika
Aminah   kemudian   membawa   anaknya  itu  ke  Medinah  untuk
diperkenalkan  kepada  saudara-saudara  kakeknya  dari   pihak
Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu.  Sesampai  mereka  di  Medinah
kepada  anak  itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal
dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama  kali
ia  merasakan  sebagai  anak yatim. Dan barangkali juga ibunya
pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta
itu,   yang   setelah  beberapa  waktu  tinggal  bersama-sama,
kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari  pihak
ibu.  Sesudah  Hijrah  pernah  juga  Nabi  menceritakan kepada
sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah
dengan  ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah
yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah  sudah
bersiap-siap  akan  pulang.  Ia  dan  rombongan kembali pulang
dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
tengah  perjalanan,  ketika  mereka  sampai  di Abwa',2 ibunda
Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan
pula di tempat itu.

Anak  itu  oleh  Umm  Aiman  dibawa  pulang  ke  Mekah, pulang
menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
kehilangan;  sudah  ditakdirkan  menjadi  anak  yatim.  Terasa
olehnya hidup yang makin sunyi,  makin  sedih.  Baru  beberapa
hari   yang   lalu  ia  mendengar  dari  Ibunda  keluhan  duka
kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan.  Kini  ia
melihat  sendiri  dihadapannya,  ibu pergi untuk tidak kembali
lagi, seperti ayah dulu.  Tubuh  yang  masih  kecil  itu  kini
dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih  lagi  kecintaan  Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi
sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu
bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam
Qur'anpun disebutkan,  ketika  Allah  mengingatkan  Nabi  akan
nikmat  yang  dianugerahkan  kepadanya  itu:  "Bukankah engkau
dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya  orang  yang  akan
melindungimu?  Dan  menemukan  kau  kehilangan  pedoman,  lalu
ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan  terasa  agak
meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat
hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua  itu  juga  meninggal,
dalam  usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
berumur  delapan  tahun.  Sekali   lagi   Muhammad   dirundung
kesedihan  karena  kematian  kakeknya  itu, seperti yang sudah
dialaminya  ketika  ibunya  meninggal.  Begitu  sedihnya  dia,
sehingga   selalu  ia  menangis  sambil  mengantarkan  keranda
jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun
sesudah  itu,  di  bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat
perhatian  dan  pemeliharaan  yang   baik   sekali,   mendapat
perlindungan  sampai  masa  kenabiannya,  yang  terus demikian
sampai pamannya itupun achirnya meninggal.

Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada
yang  seperti  dia:  mempunyai  keteguhan  hati,   kewibawaan,
pandangan  yang  tajam,  terhormat dan berpengaruh di kalangan
Arab semua. Dia menyediakan makanan dan  minuman  bagi  mereka
yang  datang  berziarah,  memberikan  bantuan  kepada penduduk
Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak  ada
lagi  dari  anak-anaknya  itu yang akan dapat meneruskan. Yang
dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu,  sedang  yang
kaya  hidupnya  kikir  sekali.  Oleh  karena itu maka Keluarga
Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan
yang  memang  sejak  dulu  diinginkan  itu, tanpa menghiraukan
ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu  Talib,  sekalipun  dia
bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua
adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena
itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus
rifada  (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu
Talib  mempunyai  perasaan  paling  halus  dan  terhormat   di
kalangan   Quraisy.   Dan   tidak   pula   mengherankan  kalau
Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu
Talib.

Abu    Talib   mencintai   kemenakannya   itu   sama   seperti
Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu  ia  mendahulukan
kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad
yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati,  itulah  yang
lebih  menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan
pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru
duabelas  tahun  -  mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi
padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan  membawa  Muhammad.
Akan  tetapi  Muhammad  yang  dengan  ikhlas  menyatakan  akan
menemani pamannya  itu,  itu  juga  yang  menghilangkan  sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.

Anak  itu  lalu  turut  serta  dalam rombongan kafilah, hingga
sampai di Bushra di  sebelah  selatan  Syam.  Dalam  buku-buku
riwayat  hidup  Muhammad  diceritakan,  bahwa dalam perjalanan
inilah ia bertemu dengan rahib Bahira,  dan  bahwa  rahib  itu
telah  melihat  tanda-tanda  kenabian  padanya  sesuai  dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber  menceritakan,
bahwa   rahib   itu  menasehatkan  keluarganya  supaya  jangan
terlampau  dalam  memasuki  daerah  Syam,  sebab   dikuatirkan
orang-orang   Yahudi  yang  mengetahui  tanda-tanda  itu  akan
berbuat jahat terhadap dia.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah  itu
melihat  luasnya  padang  pasir,  menatap bintang-bintang yang
berkilauan  di  langit  yang  jernih   cemerlang.   Dilaluinya
daerah-daerah    Madyan,    Wadit'l-Qura   serta   peninggalan
bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan  telinganya  yang
tajam  segala  cerita  orang-orang Arab dan penduduk pedalaman
tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun
yang lebat dengan buab-buahan  yang  sudah  masak,  yang  akan
membuat  ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita
orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya
dengan  dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di
sekeliling Mekah itu. Di Syam  ini  juga  Muhammad  mengetahui
berita-berita  tentang  Kerajaan  Rumawi dan agama Kristennya,
didengarnya berita tentang Kitab  Suci  mereka  serta  oposisi
Persia  dari  penyembah  api  terhadap mereka dan persiapannya
menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun  usianya  baru  dua  belas  tahun,  tapi  dia  sudah
mempunyai  persiapan  kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman
otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam  dan  ingatan
yang  cukup  kuat  serta  segala  sifat-sifat semacam itu yang
diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
risalah  (misi)  maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat
ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki,  meneliti.  Ia  tidak
puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya
kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Tampaknya  Abu  Talib  tidak   banyak   membawa   harta   dari
perjalanannya   itu.   Ia  tidak  lagi  mengadakan  perjalanan
demikian.  Malah  sudah  merasa  cukup   dengan   yang   sudah
diperolehnya  itu.  Ia  menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya
yang  banyak  sekalipun  dengan  harta  yang  tidak  seberapa.
Muhammad  juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.
Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka  yang
seusia  dia.  Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
Mekah  dengan  keluarga,  kadang  pergi  bersama   mereka   ke
pekan-pekan   yang   berdekatan   dengan  'Ukaz,  Majanna  dan
Dhu'l-Majaz,  mendengarkan  sajak-sajak  yang  dibawakan  oleh
penyair-penyair  Mudhahhabat  dan  Mu'allaqat.3 Pendengarannya
terpesona oleh sajak-sajak yang fasih  melukiskan  lagu  cinta
dan  puisi-puisi  kebanggaan,  melukiskan nenek moyang mereka,
peperangan  mereka,  kemurahan  hati  dan  jasa-jasa   mereka.
Didengarnya  ahli-ahli  pidato di antaranya orang-orang Yahudi
dan  Nasrani  yang  membenci  paganisma  Arab.  Mereka  bicara
tentang  Kitab-kitab  Suci  Isa  dan Musa, dan mengajak kepada
kebenaran  menurut  keyakinan  mereka.  Dinilainya  semua  itu
dengan  hati  nuraninya,  dilihatnya  ini  lebih baik daripada
paganisma yang telah  menghanyutkan  keluarganya  itu.  Tetapi
tidak sepenuhnya ia merasa lega.

Dengan  demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya
ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat
mula  pertama  datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
menyampaikan  risalahNya  itu.  Yakni  risalah  kebenaran  dan
petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Kalau  Muhammad  sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
dengan pamannya  Abu  Talib,  sudah  mendengar  para  penyair,
ahli-ahli  pidato  membacakan  sajak-sajak  dan  pidato-pidato
dengan  keluarganya  dulu  di  pekan  sekitar   Mekah   selama
bulan-bulan  suci,  maka ia juga telah mengenal arti memanggul
senjata, ketika ia  mendampingi  paman-pamannya  dalam  Perang
Fijar.  Dan  Perang  Fijar  itulah  di  antaranya  yang  telah
menimbulkan  dan  ada  sangkut-pautnya  dengan  peperangan  di
kalangan  kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena
ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu  kabilah-kabilah
seharusnya   tidak   boleh   berperang.   Pada   waktu  itulah
pekan-pekan dagang diadakan di  'Ukaz,  yang  terletak  antara
Ta'if  dengan  Nakhla  dan  antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz,
tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling  tukar  menukar
perdagangan,  berlumba  dan  berdiskusi,  sesudah itu kemudian
berziarah ke tempat berhala-berhala mereka  di  Ka'bah.  Pekan
'Ukaz  adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
Arab  lainnya.  Di  tempat   itu   penyair-penyair   terkemuka
membacakan  sajak-sajaknya  yang  terbaik,  di tempat itu Quss
(bin Sa'ida) berpidato dan  di  tempat  itu  pula  orang-orang
Yahudi,  Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
mengemukakan pandangan dengan bebas,  sebab  bulan  itu  bulan
suci.

Akan  tetapi  Barradz  bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi
menghormati  bulan  suci  itu  dengan   mengambil   kesempatan
membunuh  'Urwa  ar-Rahhal  bin  'Utba  dari  kabilah Hawazin.
Kejadian  ini  disebabkan  oleh  karena  Nu'man  bin'l-Mundhir
setiap  tahun  mengirimkan  sebuah  kafilah dari Hira ke 'Ukaz
membawa muskus,  dan  sebagai  gantinya  akan  kembali  dengan
membawa  kulit  hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba
Barradz tampil  sendiri  dan  membawa  kafilah  itu  ke  bawah
pengawasan  kabilah  Kinana.  Demikian  juga 'Urwa lalu tampil
pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.

Adapun pilihan  Nu'man  terhadap  'Urwa  (Hawazin)  ini  telah
menimbulkan   kejengkelan   Barradz  (Kinana),  yang  kemudian
mengikutinya dari belakang,  lalu  membunuhnya  dan  mengambil
kabilah  itu.  Sesudah  itu  kemudian  Barradz  memberitahukan
kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
balas  kepada  Quraisy.  Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy
sebelum masuknya bulan suci.  Maka  terjadilah  perang  antara
mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin  memberi  peringatan
bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.
 
Perang  demikian  ini  berlangsung  antara  kedua  belah pihak
selama empat tahun terus-menerus  dan  berakhir  dengan  suatu
perdamaian   model  pedalaman,  yaitu  yang  menderita  korban
manusia lebih  kecil  harus  membayar  ganti  sebanyak  jumlah
kelebihan  korban  itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian
Quraisy telah  membayar  kompensasi  sebanyak  duapuluh  orang
Hawazin.  Nama  Barradz  ini  kemudian menjadi peribahasa yang
menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak  memberikan  kepastian
mengenai  umur  Muhammad  pada waktu Perang Fijar itu terjadi.
Ada yang mengatakan umurnya limabelas  tahun,  ada  juga  yang
mengatakan  duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
perang tersebut berlangsung selama  empat  tahun.  Pada  tahun
permulaan   ia   berumur   limabelas   tahun  dan  pada  tahun
berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.

 

Thinkmii Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez