Selasa, 07 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (3)

Diposting oleh Rahmi Andriyani Syam di 04.34
Juga orang berselisih pendapat mengenai  tugas  yang  dipegang
Muhammad  dalam  perang  itu.  Ada  yang  mengatakan  tugasnya
mengumpulkan anak-anak panah yang datang  dari  pihak  Hawazin
lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali
kepada pihak lawan. Yang  lain  lagi  berpendapat,  bahwa  dia
sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan
tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka  kebenaran
kedua  pendapat  itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya
ia  mengumpulkan  anak-anak  panah  itu  untuk  pamannya   dan
kemudian  dia  sendiripun  ikut  melemparkan.  Beberapa  tahun
sesudah  kenabiannya  Rasulullah  menyebutkan  tentang  Perang
Fijar  itu  dengan  berkata:  "Aku mengikutinya bersama dengan
paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam  perang  itu;
sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan."

Sesudah  Perang  Fijar  Quraisy  merasakan sekali bencana yang
menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya,  yang  disebabkan
oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan 'Abd'l-Muttalib wafat, dan
masing-masing pihak berkeras mau  jadi  yang  berkuasa.  Kalau
tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut
mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah
Abdullah  bin  Jud'an  diadakan  pertemuan  dengan  mengadakan
jamuan makan, dihadiri oleh  keluarga-keluarga  Hasyim,  Zuhra
dan  Taym.  Mereka  sepakat  dan berjanji atas nama Tuhan Maha
Pembalas, bahwa Tuhan akan  berada  di  pihak  yang  teraniaya
sampai  orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu
yang oleh mereka disebut Hilf'l-Fudzul.  Ia  mengatakan,  "Aku
tidak  suka  mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an
itu dengan jenis unta yang baik.  Kalau  sekarang  aku  diajak
pasti kukabulkan."

Seperti   kita  lihat,  Perang  Fijar  itu  berlangsung  hanya
beberapa hari saja tiap tahun.  Sedang  selebihnya  masyarakat
Arab  kembali  ke  pekerjaannya  masing-masing. Pahit-getirnya
peperangan  yang  tergores  dalam  hati  mereka   tidak   akan
menghalangi  mereka  dari  kegiatan  perdagangan,  menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan  dan
hiburan sepuas-puasnya

Adakah  juga  Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini?
Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus,  kemampuannya  yang
terbatas  serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua
itu, dan melihat segala kemewahan dengan  mata  bernafsu  tapi
tidak  mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah
cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan  karena
tidak  mampu  mencapainya.  Mereka  yang  tinggal di pinggiran
Mekah,  yang  tidak  mempunyai  mata  pencarian,  hidup  dalam
kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu.
Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari  pemuka-pemuka  Mekah
dan  bangsawan-bangsawan  Quraisy  dalam menghanyutkan diri ke
dalam kesenangan demikian itu.

Akan tetapi jiwa Muhammad  adalah  jiwa  yang  ingin  melihat,
ingin  mendengar,  ingin  mengetahui.  Dan  seolah  tidak ikut
sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari
anak-anak  bangsawan  menyebabkan  ia  lebih  keras lagi ingin
memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian
pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang
selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang  menyebabkan
dia  menjauhi  foya-foya,  yang  biasa  menjadi  sasaran utama
pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup  yang  akan  lahir
dalam  segala  manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya
hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan  ini  dibuktikan  oleh
julukan  yang  diberikan  orang  kepadanya dan bawaan yang ada
dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak  gejala
kesempurnaan,  kedewasaan  dan  kejujuran  hati  sudah tampak,
sehingga penduduk Mekah semua  memanggilnya  Al-Amin  (artinya
'yang dapat dipercaya').

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah
pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam  masa  mudanya
itu.   Dia  menggembalakan  kambing  keluarganya  dan  kambing
penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia  menyebutkan  saat-saat
yang  dialaminya  pada  waktu menggembala itu. Di antaranya ia
berkata: "Nabi-nabi yang diutus Allah  itu  gembala  kambing."
Dan  katanya  lagi:  "Musa  diutus,  dia gembala kambing, Daud
diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala  kambing
keluargaku di Ajyad."

Gembala  kambing  yang  berhati  terang  itu, dalam udara yang
bebas lepas di siang hari, dalam kemilau  bintang  bila  malam
sudah  bertahta,  menemukan  suatu  tempat  yang  serasi untuk
pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam
demikian  itu,  karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua
itu.  Dalam  pelbagai  manifestasi  alam  ia   mencari   suatu
penafsiran  tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya
sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia
melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah
juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak  demikian  berarti
kematian?   Bukankah   ia   dihidupkan  oleh  sinar  matahari,
bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya  berhubungan  dengan
bintang-bintang  dan  dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan
semesta alam yang tampak membentang di  depannya,  berhubungan
satu  dengan  yang  lain  dalam susunan yang sudah ditentukan,
matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan
mendahului  siang.  Apabila kelompok kambing yang ada di depan
Muhammad itu  memintakan  kesadaran  dan  perhatiannya  supaya
jangan  ada  serigala  yang  akan  menerkam  domba itu, jangan
sampai - selama tugasnya di pedalaman itu  -  ada  domba  yang
sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan
alam yang begitu kuat ini?

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala
pemikiran  nafsu  manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari
itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas
di   hadapannya.   Oleh   karena   itu,  dalam  perbuatan  dan
tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala  penodaan  nama
yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang
begitu adanya: Al-Amin.

Semua  ini  dibuktikan  oleh  keterangan  yang  diceritakannya
kemudian,  bahwa  ketika  itu  ia  sedang  menggembala kambing
dengan seorang kawannya.  Pada  suatu  hari  hatinya  berkata,
bahwa  ia  ingin  bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal
ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu  senja,  bahwa  ia
ingin  turun  ke  Mekah,  bermain-main  seperti para pemuda di
gelap  malam,  dan  dimintanya  kawannya  menjagakan   kambing
ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya
tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir  di  tempat
itu.  Tetapi  tiba-tiba  ia  tertidur.  Pada  malam berikutnya
datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud  yang  sama.  Terdengar
olehnya  irama  musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia
duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.

Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya  penarik  Mekah  itu
terhadap  kalbu  dan  jiwa  yang begitu padat oleh pikiran dan
renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya  penarik  yang
kita  gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang
martabatnya jauh di bawah Muhammad?

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat  terasa  benar
nikmatnya,  ialah  bila  ia sedang berpikir atau merenung. Dan
kehidupan  berpikir  dan  merenung  serta  kesenangan  bekerja
sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara
hidup yang  membawa  kekayaan  berlimpah-limpah  baginya.  Dan
memang  tidak  pernah  Muhammad  mempedulikan  hal  itu. Dalam
hidupnya  ia  memang  menjauhkan  diri  dari  segala  pengaruh
materi.  Apa  gunanya  ia  mcngejar  itu padahal sudah menjadi
bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang  diperlukannya  dalam
hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.

Bukankah  dia juga yang pernahh berkata: "Kami adalah golongan
yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak
sampai  kenyang?"  Bukankah  dia juga yang sudah dikenal orang
hidup  dalam  kekurangan  selalu  dan   minta   supaya   orang
bergembira  menghadapi  penderitaan hidup? Cara orang mengejar
harta dengan  serakah  hendak  memenuhi  hawa  nafsunya,  sama
sekali   tidak   pernah   dikenal  Muhammad  selama  hidupnya.
Kenikmatan jiwa yang  paling  besar,  ialah  merasakan  adanya
keindahan  alam  ini  dan mengajak orang merenungkannya. Suatu
kenikmatan besar,  yang  hanya  sedikit  saja  dikenal  orang.
Kenikmatan  yang  dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya
yang mula-mula  yang  telah  diperlihatkan  dunia  sejak  masa
mudanya  adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang
mengajak orang  hidup  tidak  hanya  mementingkan  dunia.  Ini
dimulai   sejak   kematian   ayahnya  ketika  ia  masih  dalam
kandungan,  kemudian  kematian   ibunya,   kemudian   kematian
kakeknya.  Kenikmatan  demikian  ini  tidak  memerlukan  harta
kekayaan yang besar, tetapi  memerlukan  suatu  kekayaan  jiwa
yang  kuat.  sehingga  orang  dapat  mengetahui:  bagaimana ia
memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.

Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu
takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan
tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala  pemikir,
yang  telah  menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah
pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.

Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah  kita  sebutkan
tadi  -hidup  miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia
mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki  yang  akan
diperoleh   dari   pemilik-pemilik   kambing  yang  kambingnya
digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa  Khadijah
bint  Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan
perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita  pedagang  yang
kaya  dan  dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan
hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia  bertambah
kaya  setelah  dua  kali  ia  kawin  dengan  keluarga Makhzum,
sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang  terkaya.  Ia
menjalankan  dagangannya  itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid
dan beberapa orang  kepercayaannya.  Beberapa  pemuka  Quraisy
pernah  melamarnya,  tetapi  ditolaknya.  Ia  yakin mereka itu
melamar hanya karena  memandang  hartanya.  Sungguhpun  begitu
usahanya itu terus dikembangkan.

Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan
perdagangan yang  akan  dibawa  dengan  kafilah  ke  Syam,  ia
memanggil   kemenakannya  -  yang  ketika  itu  sudah  berumur
duapuluh lima tahun.

"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang  berpunya.  Keadaan
makin   menekan  kita  juga.  Aku  mendengar,  bahwa  Khadijah
mengupah orang dengan dua  ekor  anak  unta.  Tapi  aku  tidak
setuju  kalau  akan  mendapat upah semacam itu juga. Setujukah
kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"

"Terserah paman," jawab Muhammad.

Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu  Talib.
"Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta
Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."

"Kalau  permintaanmu  itu  buat  orang  yang  jauh  dan  tidak
kusukai,  akan  kukabulkan,  apalagi buat orang yang dekat dan
kusukai." Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan  menceritakan
peristiwa  itu.  "Ini  adalah  rejeki  yang  dilimpahkan Tuhan
kepadamu," katanya.

Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi  dengan
Maisara,  budak  Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir
kafilah  itupun  berangkat   menuju   Syam,   dengan   melalui
Wadi'l-Qura,  Madyan  dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang
dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala
umurnya baru duabelas tahun.

Perjalanan  sekali  ini telah menghidupkan kembali kenangannya
tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah  dia
lebih  banyak  bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala
yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya:  tentang
peribadatan   dan  kepercayaan-kepercayaan  di  Syam  atau  di
pasar-pasar sekeliling Mekah.

Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam.
Ia  bicara  dengan  rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu,
dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali
dia  atau  rahib-rahib  lain  pernah  juga  mengajak Muhammad
berdebat  tentang  agama  Isa,  agama  yang  waktu  itu  sudah
berpecah-belah  menjadi  beberapa  golongan  dan sekta-sekta -
seperti sudah kita uraikan di atas.

Dengan kejujuran  dan  kemampuannya  ternyata  Muhammad  mampu
benar  memperdagangkan  barang-barang  Khadijah,  dengan  cara
perdagangan yang  lebih  banyak  menguntungkan  daripada  yang
dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter
yang  manis  dan  perasaannya  yang  luhur  ia  dapat  menarik
kecintaan  dan  penghormatan  Maisara  kepadanya. Setelah tiba
waktunya mereka akan kembali,  mereka  membeli  segala  barang
dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.

Dalam    perjalanan    kembali    kafilah   itu   singgah   di
Marr'-z-Zahran.  Ketika  itu   Maisara   berkata:   "Muhammad,
cepat-cepatlah    kau    menemui    Khadijah   dan   ceritakan
pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."

Muhammad berangkat dan tengah  hari  sudah  sampai  di  Mekah.
Ketika   itu  Khadijah  sedang  berada  di  ruang  atas.  Bila
dilihatnya Muhammad di atas unta dan  sudah  memasuki  halaman
rumahnya.  ia  turun  dan  menyambutnya.  Didengarnya Muhammad
bercerita   dengan   bahasa   yang   begitu   fasih    tentang
perjalanannya  serta  laba  yang  diperolehnya,  demikian juga
mengenai barang-barang Syam yang dibawanya.  Khadijah  gembira
dan  tertarik  sekali  mendengarkan.  Sesudah  itu  Maisarapun
datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad,  betapa
halusnya  wataknya,  betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini
menambah  pengetahuan   Khadijah   di   samping   yang   sudah
diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.

Dalam  waktu  singkat  saja  kegembiraan  Khadijah  ini  telah
berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah  berusia
empatpuluh  tahun,  dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy  -  tertarik  juga
hatinya  mengawini  pemuda  ini, yang tutur kata dan pandangan
matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia  membicarakan  hal
itu  kepada  saudaranya  yang  perempuan - kata sebuah sumber,
atau dengan sahabatnya, Nufaisa  bint  Mun-ya  -  kata  sumber
lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa
kau tidak mau kawin?"

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,"  jawab
Muhammad.

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"

"Siapa itu?"

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah."

"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri
berkenan  kepada  Khadijah  sekalipun hati kecilnya belum lagi
memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah  sudah  menolak
permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah  atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal
itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak  lama
kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri
oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga
Khadijah guna menentukan hari perkawinan.

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
Khadijah,  Umar  bin  Asad,  sebab  Khuwailid  ayahnya   sudah
meninggal  sebelum  Perang  Fijar.  Hal  ini dengan sendirinya
telah membantah apa yang biasa dikatakan,  bahwa  ayahnya  ada
tapi  tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah
memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan  dengan  begitu
perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di  sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad.
Dimulainya kehidupan itu sebagai  suami-isteri  dan  ibu-bapa,
suami-isten  yang  harmonis  dan sedap dari kedua belah pihak,
dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya  kehilangan
anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan
ibu-bapa semasa ia masih kecil.

Catatan kaki:

 1 Muhammad atau Mahmud artinya yang terpuji (A).
   
 2 Abwa' ialah sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa,
   jaraknya 23 mil (37 km) dari Medinah.
   
 3 Al-Mu'allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah kumpulan
   puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh tujuh
   penyair: Imr'l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, 'Antara, 'Amr ibn
   Kulthum dan Harith ibn Hilizza. Mu'allaqat berarti 'yang
   digantungkan' yakni sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas
   (almudhahhab) di atas kain lina (A).
   
 4 Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku (A).
sumber : http://media.isnet.org/islam/

Selasa, 07 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (3)

Juga orang berselisih pendapat mengenai  tugas  yang  dipegang
Muhammad  dalam  perang  itu.  Ada  yang  mengatakan  tugasnya
mengumpulkan anak-anak panah yang datang  dari  pihak  Hawazin
lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali
kepada pihak lawan. Yang  lain  lagi  berpendapat,  bahwa  dia
sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan
tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka  kebenaran
kedua  pendapat  itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya
ia  mengumpulkan  anak-anak  panah  itu  untuk  pamannya   dan
kemudian  dia  sendiripun  ikut  melemparkan.  Beberapa  tahun
sesudah  kenabiannya  Rasulullah  menyebutkan  tentang  Perang
Fijar  itu  dengan  berkata:  "Aku mengikutinya bersama dengan
paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam  perang  itu;
sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan."

Sesudah  Perang  Fijar  Quraisy  merasakan sekali bencana yang
menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya,  yang  disebabkan
oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan 'Abd'l-Muttalib wafat, dan
masing-masing pihak berkeras mau  jadi  yang  berkuasa.  Kalau
tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut
mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah
Abdullah  bin  Jud'an  diadakan  pertemuan  dengan  mengadakan
jamuan makan, dihadiri oleh  keluarga-keluarga  Hasyim,  Zuhra
dan  Taym.  Mereka  sepakat  dan berjanji atas nama Tuhan Maha
Pembalas, bahwa Tuhan akan  berada  di  pihak  yang  teraniaya
sampai  orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu
yang oleh mereka disebut Hilf'l-Fudzul.  Ia  mengatakan,  "Aku
tidak  suka  mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an
itu dengan jenis unta yang baik.  Kalau  sekarang  aku  diajak
pasti kukabulkan."

Seperti   kita  lihat,  Perang  Fijar  itu  berlangsung  hanya
beberapa hari saja tiap tahun.  Sedang  selebihnya  masyarakat
Arab  kembali  ke  pekerjaannya  masing-masing. Pahit-getirnya
peperangan  yang  tergores  dalam  hati  mereka   tidak   akan
menghalangi  mereka  dari  kegiatan  perdagangan,  menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan  dan
hiburan sepuas-puasnya

Adakah  juga  Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini?
Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus,  kemampuannya  yang
terbatas  serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua
itu, dan melihat segala kemewahan dengan  mata  bernafsu  tapi
tidak  mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah
cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan  karena
tidak  mampu  mencapainya.  Mereka  yang  tinggal di pinggiran
Mekah,  yang  tidak  mempunyai  mata  pencarian,  hidup  dalam
kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu.
Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari  pemuka-pemuka  Mekah
dan  bangsawan-bangsawan  Quraisy  dalam menghanyutkan diri ke
dalam kesenangan demikian itu.

Akan tetapi jiwa Muhammad  adalah  jiwa  yang  ingin  melihat,
ingin  mendengar,  ingin  mengetahui.  Dan  seolah  tidak ikut
sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari
anak-anak  bangsawan  menyebabkan  ia  lebih  keras lagi ingin
memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian
pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang
selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang  menyebabkan
dia  menjauhi  foya-foya,  yang  biasa  menjadi  sasaran utama
pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup  yang  akan  lahir
dalam  segala  manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya
hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan  ini  dibuktikan  oleh
julukan  yang  diberikan  orang  kepadanya dan bawaan yang ada
dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak  gejala
kesempurnaan,  kedewasaan  dan  kejujuran  hati  sudah tampak,
sehingga penduduk Mekah semua  memanggilnya  Al-Amin  (artinya
'yang dapat dipercaya').

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah
pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam  masa  mudanya
itu.   Dia  menggembalakan  kambing  keluarganya  dan  kambing
penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia  menyebutkan  saat-saat
yang  dialaminya  pada  waktu menggembala itu. Di antaranya ia
berkata: "Nabi-nabi yang diutus Allah  itu  gembala  kambing."
Dan  katanya  lagi:  "Musa  diutus,  dia gembala kambing, Daud
diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala  kambing
keluargaku di Ajyad."

Gembala  kambing  yang  berhati  terang  itu, dalam udara yang
bebas lepas di siang hari, dalam kemilau  bintang  bila  malam
sudah  bertahta,  menemukan  suatu  tempat  yang  serasi untuk
pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam
demikian  itu,  karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua
itu.  Dalam  pelbagai  manifestasi  alam  ia   mencari   suatu
penafsiran  tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya
sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia
melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah
juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak  demikian  berarti
kematian?   Bukankah   ia   dihidupkan  oleh  sinar  matahari,
bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya  berhubungan  dengan
bintang-bintang  dan  dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan
semesta alam yang tampak membentang di  depannya,  berhubungan
satu  dengan  yang  lain  dalam susunan yang sudah ditentukan,
matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan
mendahului  siang.  Apabila kelompok kambing yang ada di depan
Muhammad itu  memintakan  kesadaran  dan  perhatiannya  supaya
jangan  ada  serigala  yang  akan  menerkam  domba itu, jangan
sampai - selama tugasnya di pedalaman itu  -  ada  domba  yang
sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan
alam yang begitu kuat ini?

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala
pemikiran  nafsu  manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari
itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas
di   hadapannya.   Oleh   karena   itu,  dalam  perbuatan  dan
tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala  penodaan  nama
yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang
begitu adanya: Al-Amin.

Semua  ini  dibuktikan  oleh  keterangan  yang  diceritakannya
kemudian,  bahwa  ketika  itu  ia  sedang  menggembala kambing
dengan seorang kawannya.  Pada  suatu  hari  hatinya  berkata,
bahwa  ia  ingin  bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal
ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu  senja,  bahwa  ia
ingin  turun  ke  Mekah,  bermain-main  seperti para pemuda di
gelap  malam,  dan  dimintanya  kawannya  menjagakan   kambing
ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya
tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir  di  tempat
itu.  Tetapi  tiba-tiba  ia  tertidur.  Pada  malam berikutnya
datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud  yang  sama.  Terdengar
olehnya  irama  musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia
duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.

Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya  penarik  Mekah  itu
terhadap  kalbu  dan  jiwa  yang begitu padat oleh pikiran dan
renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya  penarik  yang
kita  gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang
martabatnya jauh di bawah Muhammad?

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat  terasa  benar
nikmatnya,  ialah  bila  ia sedang berpikir atau merenung. Dan
kehidupan  berpikir  dan  merenung  serta  kesenangan  bekerja
sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara
hidup yang  membawa  kekayaan  berlimpah-limpah  baginya.  Dan
memang  tidak  pernah  Muhammad  mempedulikan  hal  itu. Dalam
hidupnya  ia  memang  menjauhkan  diri  dari  segala  pengaruh
materi.  Apa  gunanya  ia  mcngejar  itu padahal sudah menjadi
bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang  diperlukannya  dalam
hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.

Bukankah  dia juga yang pernahh berkata: "Kami adalah golongan
yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak
sampai  kenyang?"  Bukankah  dia juga yang sudah dikenal orang
hidup  dalam  kekurangan  selalu  dan   minta   supaya   orang
bergembira  menghadapi  penderitaan hidup? Cara orang mengejar
harta dengan  serakah  hendak  memenuhi  hawa  nafsunya,  sama
sekali   tidak   pernah   dikenal  Muhammad  selama  hidupnya.
Kenikmatan jiwa yang  paling  besar,  ialah  merasakan  adanya
keindahan  alam  ini  dan mengajak orang merenungkannya. Suatu
kenikmatan besar,  yang  hanya  sedikit  saja  dikenal  orang.
Kenikmatan  yang  dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya
yang mula-mula  yang  telah  diperlihatkan  dunia  sejak  masa
mudanya  adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang
mengajak orang  hidup  tidak  hanya  mementingkan  dunia.  Ini
dimulai   sejak   kematian   ayahnya  ketika  ia  masih  dalam
kandungan,  kemudian  kematian   ibunya,   kemudian   kematian
kakeknya.  Kenikmatan  demikian  ini  tidak  memerlukan  harta
kekayaan yang besar, tetapi  memerlukan  suatu  kekayaan  jiwa
yang  kuat.  sehingga  orang  dapat  mengetahui:  bagaimana ia
memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.

Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu
takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan
tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala  pemikir,
yang  telah  menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah
pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.

Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah  kita  sebutkan
tadi  -hidup  miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia
mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki  yang  akan
diperoleh   dari   pemilik-pemilik   kambing  yang  kambingnya
digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa  Khadijah
bint  Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan
perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita  pedagang  yang
kaya  dan  dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan
hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia  bertambah
kaya  setelah  dua  kali  ia  kawin  dengan  keluarga Makhzum,
sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang  terkaya.  Ia
menjalankan  dagangannya  itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid
dan beberapa orang  kepercayaannya.  Beberapa  pemuka  Quraisy
pernah  melamarnya,  tetapi  ditolaknya.  Ia  yakin mereka itu
melamar hanya karena  memandang  hartanya.  Sungguhpun  begitu
usahanya itu terus dikembangkan.

Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan
perdagangan yang  akan  dibawa  dengan  kafilah  ke  Syam,  ia
memanggil   kemenakannya  -  yang  ketika  itu  sudah  berumur
duapuluh lima tahun.

"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang  berpunya.  Keadaan
makin   menekan  kita  juga.  Aku  mendengar,  bahwa  Khadijah
mengupah orang dengan dua  ekor  anak  unta.  Tapi  aku  tidak
setuju  kalau  akan  mendapat upah semacam itu juga. Setujukah
kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"

"Terserah paman," jawab Muhammad.

Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu  Talib.
"Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta
Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."

"Kalau  permintaanmu  itu  buat  orang  yang  jauh  dan  tidak
kusukai,  akan  kukabulkan,  apalagi buat orang yang dekat dan
kusukai." Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan  menceritakan
peristiwa  itu.  "Ini  adalah  rejeki  yang  dilimpahkan Tuhan
kepadamu," katanya.

Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi  dengan
Maisara,  budak  Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir
kafilah  itupun  berangkat   menuju   Syam,   dengan   melalui
Wadi'l-Qura,  Madyan  dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang
dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala
umurnya baru duabelas tahun.

Perjalanan  sekali  ini telah menghidupkan kembali kenangannya
tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah  dia
lebih  banyak  bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala
yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya:  tentang
peribadatan   dan  kepercayaan-kepercayaan  di  Syam  atau  di
pasar-pasar sekeliling Mekah.

Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam.
Ia  bicara  dengan  rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu,
dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali
dia  atau  rahib-rahib  lain  pernah  juga  mengajak Muhammad
berdebat  tentang  agama  Isa,  agama  yang  waktu  itu  sudah
berpecah-belah  menjadi  beberapa  golongan  dan sekta-sekta -
seperti sudah kita uraikan di atas.

Dengan kejujuran  dan  kemampuannya  ternyata  Muhammad  mampu
benar  memperdagangkan  barang-barang  Khadijah,  dengan  cara
perdagangan yang  lebih  banyak  menguntungkan  daripada  yang
dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter
yang  manis  dan  perasaannya  yang  luhur  ia  dapat  menarik
kecintaan  dan  penghormatan  Maisara  kepadanya. Setelah tiba
waktunya mereka akan kembali,  mereka  membeli  segala  barang
dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.

Dalam    perjalanan    kembali    kafilah   itu   singgah   di
Marr'-z-Zahran.  Ketika  itu   Maisara   berkata:   "Muhammad,
cepat-cepatlah    kau    menemui    Khadijah   dan   ceritakan
pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."

Muhammad berangkat dan tengah  hari  sudah  sampai  di  Mekah.
Ketika   itu  Khadijah  sedang  berada  di  ruang  atas.  Bila
dilihatnya Muhammad di atas unta dan  sudah  memasuki  halaman
rumahnya.  ia  turun  dan  menyambutnya.  Didengarnya Muhammad
bercerita   dengan   bahasa   yang   begitu   fasih    tentang
perjalanannya  serta  laba  yang  diperolehnya,  demikian juga
mengenai barang-barang Syam yang dibawanya.  Khadijah  gembira
dan  tertarik  sekali  mendengarkan.  Sesudah  itu  Maisarapun
datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad,  betapa
halusnya  wataknya,  betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini
menambah  pengetahuan   Khadijah   di   samping   yang   sudah
diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.

Dalam  waktu  singkat  saja  kegembiraan  Khadijah  ini  telah
berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah  berusia
empatpuluh  tahun,  dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy  -  tertarik  juga
hatinya  mengawini  pemuda  ini, yang tutur kata dan pandangan
matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia  membicarakan  hal
itu  kepada  saudaranya  yang  perempuan - kata sebuah sumber,
atau dengan sahabatnya, Nufaisa  bint  Mun-ya  -  kata  sumber
lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa
kau tidak mau kawin?"

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,"  jawab
Muhammad.

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"

"Siapa itu?"

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah."

"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri
berkenan  kepada  Khadijah  sekalipun hati kecilnya belum lagi
memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah  sudah  menolak
permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah  atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal
itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak  lama
kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri
oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga
Khadijah guna menentukan hari perkawinan.

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
Khadijah,  Umar  bin  Asad,  sebab  Khuwailid  ayahnya   sudah
meninggal  sebelum  Perang  Fijar.  Hal  ini dengan sendirinya
telah membantah apa yang biasa dikatakan,  bahwa  ayahnya  ada
tapi  tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah
memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan  dengan  begitu
perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di  sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad.
Dimulainya kehidupan itu sebagai  suami-isteri  dan  ibu-bapa,
suami-isten  yang  harmonis  dan sedap dari kedua belah pihak,
dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya  kehilangan
anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan
ibu-bapa semasa ia masih kecil.

Catatan kaki:

 1 Muhammad atau Mahmud artinya yang terpuji (A).
   
 2 Abwa' ialah sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa,
   jaraknya 23 mil (37 km) dari Medinah.
   
 3 Al-Mu'allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah kumpulan
   puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh tujuh
   penyair: Imr'l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, 'Antara, 'Amr ibn
   Kulthum dan Harith ibn Hilizza. Mu'allaqat berarti 'yang
   digantungkan' yakni sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas
   (almudhahhab) di atas kain lina (A).
   
 4 Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku (A).
sumber : http://media.isnet.org/islam/
 

Thinkmii Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez