Selasa, 07 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (6)

Diposting oleh Rahmi Andriyani Syam di 12.33
MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan  hati  penuh
kasih  dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi
mengajaknya bicara itu.
 
Setelah  dilihatnya  ia  tidur  nyenyak,  nyenyak  dan  tenang
sekali,  ditinggalkannya  orang itu perlahan-lahan. Ia keluar,
dengan  pikiran  masih  pada  orang  itu,  orang  yang  pernah
menggoncangkan  hatinya.  Pikirannya pada hari esok, pada hari
yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami
itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam
kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama  yang
benar  serta  akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi,
sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa
kuatir  sekali,  kuatir  akan nasib suami yang setia dan penuh
kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang  telah
diceritakan  kepadanya  itu.  Dibayangkannya itu malaikat yang
begitu indah, yang memperlihatkan  diri  di  angkasa,  setelah
menyampaikan  wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi
seluruh ruangan itu. Selalu ia  melihat  malaikat  itu  kemana
saja  ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata
yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.
 
Semua itu dibentangkan kembali oleh  Khadijah  di  depan  mata
hatinya  Kadang  terkembang  senyum  di  bibir,  karena  suatu
harapan; kadang kecut juga rasanya, karena  takut  akan  nasib
yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.
 
Tidak  tahan  ia  tinggal  seorang  diri lama-lama. Pikirannya
berpindah-pindah  dari  harapan  yang   manis   sedap   kepada
kesangsian   dan  harap-harap  cemas.  Terpikir  olehnya  akan
mencurahkan segala isi hatinya itu  kepada  orang  yang  sudah
dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.
 
Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak
paman), Waraqa b. Naufal.  Seperti  sudah  disebutkan,  Waraqa
adalah  seorang  penganut  agama  Nasrani  yang sudah mengenal
Bible dan  sudah  pula  menterjemahkannya  sebagian  ke  dalam
bahasa  Arab.  Ia  menceritakan  apa  yang  pernah dilihat dan
didengar Muhammad dan menceritakan  pula  apa  yang  dikatakan
Muhammad  kepadanya,  dengan  menyebutkan  juga rasa kasih dan
harapan yang  ada  dalam  dirinya.  Waraqa  menekur  sebentar,
kemudian  katanya:  "Maha  Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang
memegang  hidup  Waraqa.  Khadijah,  percayalah,   dia   telah
menerima  Namus  Besar1 seperti yang pernah diterima Musa. Dan
sungguh dia adalah Nabi umat  ini.  Katakan  kepadanya  supaya
tetap tabah."
 
Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya
suaminya itu dengan rasa kasih  dan  penuh  ikhlas,  bercampur
harap  dan  cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia
menggigil, napasnya terasa sesak dengan  keringat  yang  sudah
membasahi   wajahnya.   Ia   terbangun,  manakala  didengarnya
malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:
 
"O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan  peringatan.
Dan  agungkan  Tuhanmu.  Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan
perbuatan dosa. Jangan  kau  memberi,  karena  ingin  menerima
lebih  banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (Qur'an 74:
17)
 
Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa  kasih  yang  lebih
besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya
kembali ia tidur dan beristirahat.
 
"Waktu tidur dan istirahat  sudah  tak  ada  lagi,  Khadijah,"
jawabnya.   "Jibril   membawa   perintah  supaya  aku  memberi
peringatan kepada umat manusia, mengajak  mereka,  dan  supaya
mereka  beribadat  hanya  kepada  Allah.  Tapi siapa yang akan
kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"
 
Khadijah  berusaha  menenteramkan  hatinya.   Cepat-cepat   ia
menceritakan  apa  yang  didengarnya  dari Waraqa tadi. Dengan
penuh gairah dan bersemangat  sekali  kemudian  ia  menyatakan
dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila
Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia  sudah  mengenalnya
benar.  Selama  hidupnya  laki-laki  itu  selalu  jujur, orang
berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa
kasih-sayang.  Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar
kecenderungannya  kepada  kebenaran,   dan   hanya   kebenaran
semata-mata.  Ia  mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa,
kalbu  dan  pikiran  yang  sudah  begitu   tinggi,   membubung
melampaui  jangkauan  yang  akan  dapat  dibayangkan  manusia,
manusia yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban  ke
sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat
mendatangkan  bencana  dan  keuntungan.  Mereka  membayangkan,
bahwa  itu  patut  disembah  dan  diagungkan. Wanita itu sudah
melihatnya betapa benar ia  pada  tahun-tahun  masa  tahannuth
itu.  Juga  ia  melihatnya  betapa  benar  keadaannya  tatkala
pertama kali ia kembali dari gua Hira', sesudah  kerasulannya.
Ia  bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat
itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.
 
Bilamana  kemudian  Muhammad  melihat  malaikat  itu   datang,
didudukannya  ia  oleh  Khadijah  di paha kirinya, kemudian di
paha kanan dan di  pangkuannya.  Malaikat  itupun  masih  juga
dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya.
Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi  melihatnya.  Khadijah
tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.
 
Sesudah  peristiwa  itu,  pada  suatu hari Muhammad pergi akan
mengelilingi  Ka'bah.  Di  tempat   itu   Waraqa   b.   Naufal
menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqa
berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa.  Engkau  adalah
Nabi  atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti
yang  pernah  disampaikan  kepada  Musa.  Pastilah   kau   akan
didustakan   orang,   akan   disiksa,  akan  diusir  dan  akan
diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup,  pasti
aku  akan  membela  yang  di pihak Allah dengan pembelaan yang
sudah diketahuiNya pula." Lalu  Waraqa  mendekatkan  kepalanya
dan  mencium  ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera merasakan
adanya kejujuran dalam kata-kata  Waraqa  itu,  dan  merasakan
pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.
 
Sekarang  ia  jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy
supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat
mempertahankan  kebatilan  itu.  Mereka bersedia berperang dan
mati untuk itu. Ditambah  lagi  mereka  masih  sekeluarga  dan
sanak famili yang dekat.
 
Sungguhpun  begitu,  tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa
yang  dianjurkannya  kepada  mereka,  itulah  yang  benar.  Ia
mengajak  mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih
tinggi sehingga dapat  berhubungan  dengan  Allah  Yang  telah
menciptakan  mereka  dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar
mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas,  dengan
jiwa  yang  bersih,  untuk  agama.  Ia  mengajak mereka supaya
mereka mendekatkan diri kepada  Allah  dengan  perbuatan  yang
baik,  dengan  memberikan  kepada  orang  berdekatan,  hak-hak
mereka, begitu juga kepada orang yang dalam  perjalanan;  agar
mereka  menjauhkan  diri  dari menyembah batu-batu yang mereka
buat jadi berhala yang menurut dugaan mereka  akan  mengampuni
segala  dosa  mereka  dari perbuatan angkara-murka yang mereka
lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta  anak  piatu.
Penyembahan  mereka  demikian itu membuat jiwa dan hati mereka
lebih keras dan  lebih  membatu  dari  patung-patung  itu.  Ia
memperingatkan  mereka  agar  mereka mau melihat ciptaan Tuhan
yang ada di langit dan  di  bumi;  supaya  semua  itu  menjadi
tamsil  dalam  jiwa  mereka  serta  kemudian  menyadari betapa
dahsyat dan agungnya  semua  itu.  Dengan  kesadaran  demikian
mereka   akan  memahami  kebesaran  undang-undang  Ilahi  yang
berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya,  dengan  ibadatnya
itu  akan  memahami  pula  kebesaran  Al  Khalik Pencipta alam
semesta ini, Yang Tunggal, tiada  bersekutu.  Dengan  demikian
mereka  akan  lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi
oleh rasa kasih-sayang terhadap  mereka  yang  belum  mendapat
petunjuk  Tuhan,  dan  akan  berusaha ke arah itu. Mereka akan
berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap  semua  orang
yang   malang   dan   lemah.   Ya!   Ke   arah   itulah  Tuhan
memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.
 
Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu  keras,  jiwa  yang
sudah  begitu  kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala
seperti yang dilakukan oleh  nenek-moyang  mereka  dahulu.  Di
tempat  itu  mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat
kunjungan penyembah berhala! Akan mereka  tinggalkankah  agama
nenek-moyang  mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka
yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak  ada  lagi  orang
yang   akan   menyembah  berhala?  Lalu  bagaimana  pula  akan
membersihkan jiwa serupa itu dan  melepaskan  diri  dari  noda
hawa-nafsu,  hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, sampai
kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingatkan
manusia  supaya  mengatasi  nafsunya, menempatkan diri di atas
berhala-berhala itu? Kalau  mereka  sudah  tidak  mau  percaya
kepadanya,  apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi
masalah besar itu.

Ia  sedang  menantikan  bimbingan   wahyu   dalam   menghadapi
masalahnya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi
jalannya. Tetapi, wahyu itu sekarang terputus! Jibrilpun tidak
datang  lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu.
Ia merasa terasing dari orang, dan dari  dirinya.  Kembali  ia
merasa  dalam  ketakutan seperti sebelum turunnya wahyu. Konon
Khadijah pernah mengatakan  kepadanya:  "Mungkin  Tuhan  tidak
menyukai engkau."
 
Ia  masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya
lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi  dalam  gua
Hira'.  Ia  ingin  membubung  tinggi  dengan  seluruh jiwanya,
menghadapkan diri kepada Tuhan,  akan  menanyakan:  Kenapa  ia
lalu  ditinggalkan  sesudah  dipilihNya? Kecemasan Khadijahpun
tidak pula kurang rasanya.
 
Ia mengharap mati benar-benar  kalau  tidak  karena  merasakan
adanya  perintah  yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi
ia kepada dirinya, kemudian kepada  Tuhannya.  Konon  katanya:
Pernah  terpikir  olehnya  akan  membuang diri dari atas Hira'
atau dari atas puncak gunung  Abu  Qubais.  Apa  gunanya  lagi
hidup  kalau  harapannya  yang  besar  ini  jadi  kering  lalu
berakhir?
 
Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian  itu  -  sesudah
sekian  lama  terhenti - tiba-tiba datang wahyu membawa firman
Tuhan:
 
"Demi pagi cerah yang gemilang. Dan  demi  malam  bila  senyap
kelam.  Tuhanmu  tidak  meninggalkan  kau,  juga  tidak merasa
benci. Dan sungguh, hari kemudian  itu  lebih  baik  buat  kau
daripada  yang  sekarang.  Dan  akan segera ada pemberian dari
Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan bersenang  hati.  Bukankah
Ia   mendapati   kau  seorang  piatu,  lalu  diberiNya  tempat
berlindung?  Dan  Ia  mendapati  kau  tak  tahu  jalan,   lalu
diberiNya  kau  petunjuk?  Karena  itu,  terhadap  anak piatu,
jangan kau bersikap bengis. Dan tentang  orang  yang  meminta,
jangan  kau  tolak.  Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau
sebarkan."(Qur'an, 93: 1-11)
 
Maha Mulia Allah.  Betapa  damainya  itu  dalam  jiwa.  Betapa
gembira  dalam  hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad
semuanya  hilang  sudah.   Terbayang   senyum   di   wajahnya.
Bibirnyapun  mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan
penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut,  bahwa  Tuhan
sudah  tidak  menyukai  Muhammad  dan  iapun tidak lagi merasa
takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua
dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang
sama sekali dari hatinya. Tak ada lagi bunuh diri.
 
Yang ada sekarang ialah hidup dan  ajakan  kepada  Allah,  dan
hanya  kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar
menundukkan kepala. Segala yang ada  di  langit  dan  di  bumi
bersujud  belaka  kepadaNya.  Hanya  Dialah Yang Hak, dan yang
selain  itu  batil  adanya.  Hanya  kepadaNya   hati   manusia
dihadapkan, seluruh hidup kesana juga bergantung dan kepadaNya
pula ruh akan kembali. "Sungguh, hari kemudian itu lebih  baik
buat kau daripada yang sekarang."
 
Ya,  hari  kemudian  tempat  berkumpulnya  jiwa  dengan segala
bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang  dan  waktu,
dan  semua  cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan
adanya.  Hari  kemudian  yang  akan  disinari   cahaya   pagi,
berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di
langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa
yang  pasrah  menyerah.  Kehidupan  inilah  yang  akan menjadi
tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu  hanya
bayangan  belaka,  yang  tiada  berguna. Kebenaran inilah yang
cahayanya disinari oleh jiwa  Muhammad,  dan  yang  baru  akan
dipantulkan  kembali  guna memikirkan bagaimana mengajak orang
ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada  Tuhan,  ia
harus   membersihkan   pakaiannya   serta  menjauhi  perbuatan
mungkar.  Ia  harus  tabah  menghadapi  segala  gangguan  demi
menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada
ilmu yang belum mereka ketahui; jangan menolak orang  meminta,
jangan  berlaku  bengis  terhadap  anak  piatu. Cukuplah Tuhan
telah memilihnya sebagai  pengemban  amanat.  Maka  katakanlah
itu.  Cukup  sudah,  bahwa  Tuhan  telah  menemukannya sebagai
seorang piatu, lalu dilindungiNya  di  bawah  asuhan  kakeknya
Abd'l-Muttalib, dan pamannya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin,
telah  diberi  kekayaan   dengan   amanat   Tuhan   kepadanya.
Dipermudah  pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya,
kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan
yang  penuh  cinta  kasih,  yang  memberi  nasehat dengan rasa
kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan, lalu
diberiNya   petunjuk   berupa  risalah.  Cukuplah  semua  itu.
Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat
mungkin.
 
Begitulah  ketentuan  Tuhan  terhadap  seorang nabi yang telah
dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak dibenciNya.
 
Tuhan  telah  mengajarkan  Nabi  bersembahyang,   maka   iapun
bersembahyang,  begitu  juga  Khadijah  ikut  pula sembahyang.
Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali  bin
Abi  Talib  sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu itu
suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luarbiasa. Abu
Talib  adalah  keluarga  yang  banyak anaknya. Muhammad sekali
berkata kepada Abbas, pamannya - yang  pada  masa  itu  adalah
yang  paling  mampu  di  antara  Keluarga  Hasyim:  "Abu Talib
saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang  yang
mengalami krisis. Baiklah kita ringankan dia dari anak-anaknya
itu.  Aku  akan  mengambilnya  seorang  kaupun  seorang  untuk
kemudian kita asuh."
 
Karena  itu  Abbas  lalu mengasuh Ja'far dan Muhammad mengasuh
Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa kerasulannya.
 
Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali
menyeruak  masuk.  Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku' dan
sujud serta membaca beberapa  ayat  Qur'an  yang  sampai  pada
waktu  itu  sudah  diwahyukan  kepadanya.  Anak  ifu  tertegun
berdiri:  "Kepada  siapa  kalian  sujud?"   tanyanya   setelah
sembahyang selesai.
 
"Kami  sujud  kepada  Allah," jawab Muhammad, "Yang mengutusku
menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia  menyembah
Allah"
 
Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah
semata tiada bersekutu serta menerima agama yang  dibawa  nabi
utusanNya  dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan
'Uzza. Muhammad lalu  membacakan  beberapa  ayat  Qur'an.  Ali
sangat terpesona karena ayat-ayat itu luarbiasa indahnya.
http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/Rasul1.html

Selasa, 07 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (6)

MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan  hati  penuh
kasih  dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi
mengajaknya bicara itu.
 
Setelah  dilihatnya  ia  tidur  nyenyak,  nyenyak  dan  tenang
sekali,  ditinggalkannya  orang itu perlahan-lahan. Ia keluar,
dengan  pikiran  masih  pada  orang  itu,  orang  yang  pernah
menggoncangkan  hatinya.  Pikirannya pada hari esok, pada hari
yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami
itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam
kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama  yang
benar  serta  akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi,
sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa
kuatir  sekali,  kuatir  akan nasib suami yang setia dan penuh
kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang  telah
diceritakan  kepadanya  itu.  Dibayangkannya itu malaikat yang
begitu indah, yang memperlihatkan  diri  di  angkasa,  setelah
menyampaikan  wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi
seluruh ruangan itu. Selalu ia  melihat  malaikat  itu  kemana
saja  ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata
yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.
 
Semua itu dibentangkan kembali oleh  Khadijah  di  depan  mata
hatinya  Kadang  terkembang  senyum  di  bibir,  karena  suatu
harapan; kadang kecut juga rasanya, karena  takut  akan  nasib
yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.
 
Tidak  tahan  ia  tinggal  seorang  diri lama-lama. Pikirannya
berpindah-pindah  dari  harapan  yang   manis   sedap   kepada
kesangsian   dan  harap-harap  cemas.  Terpikir  olehnya  akan
mencurahkan segala isi hatinya itu  kepada  orang  yang  sudah
dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.
 
Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak
paman), Waraqa b. Naufal.  Seperti  sudah  disebutkan,  Waraqa
adalah  seorang  penganut  agama  Nasrani  yang sudah mengenal
Bible dan  sudah  pula  menterjemahkannya  sebagian  ke  dalam
bahasa  Arab.  Ia  menceritakan  apa  yang  pernah dilihat dan
didengar Muhammad dan menceritakan  pula  apa  yang  dikatakan
Muhammad  kepadanya,  dengan  menyebutkan  juga rasa kasih dan
harapan yang  ada  dalam  dirinya.  Waraqa  menekur  sebentar,
kemudian  katanya:  "Maha  Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang
memegang  hidup  Waraqa.  Khadijah,  percayalah,   dia   telah
menerima  Namus  Besar1 seperti yang pernah diterima Musa. Dan
sungguh dia adalah Nabi umat  ini.  Katakan  kepadanya  supaya
tetap tabah."
 
Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya
suaminya itu dengan rasa kasih  dan  penuh  ikhlas,  bercampur
harap  dan  cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia
menggigil, napasnya terasa sesak dengan  keringat  yang  sudah
membasahi   wajahnya.   Ia   terbangun,  manakala  didengarnya
malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:
 
"O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan  peringatan.
Dan  agungkan  Tuhanmu.  Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan
perbuatan dosa. Jangan  kau  memberi,  karena  ingin  menerima
lebih  banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (Qur'an 74:
17)
 
Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa  kasih  yang  lebih
besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya
kembali ia tidur dan beristirahat.
 
"Waktu tidur dan istirahat  sudah  tak  ada  lagi,  Khadijah,"
jawabnya.   "Jibril   membawa   perintah  supaya  aku  memberi
peringatan kepada umat manusia, mengajak  mereka,  dan  supaya
mereka  beribadat  hanya  kepada  Allah.  Tapi siapa yang akan
kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"
 
Khadijah  berusaha  menenteramkan  hatinya.   Cepat-cepat   ia
menceritakan  apa  yang  didengarnya  dari Waraqa tadi. Dengan
penuh gairah dan bersemangat  sekali  kemudian  ia  menyatakan
dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila
Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia  sudah  mengenalnya
benar.  Selama  hidupnya  laki-laki  itu  selalu  jujur, orang
berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa
kasih-sayang.  Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar
kecenderungannya  kepada  kebenaran,   dan   hanya   kebenaran
semata-mata.  Ia  mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa,
kalbu  dan  pikiran  yang  sudah  begitu   tinggi,   membubung
melampaui  jangkauan  yang  akan  dapat  dibayangkan  manusia,
manusia yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban  ke
sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat
mendatangkan  bencana  dan  keuntungan.  Mereka  membayangkan,
bahwa  itu  patut  disembah  dan  diagungkan. Wanita itu sudah
melihatnya betapa benar ia  pada  tahun-tahun  masa  tahannuth
itu.  Juga  ia  melihatnya  betapa  benar  keadaannya  tatkala
pertama kali ia kembali dari gua Hira', sesudah  kerasulannya.
Ia  bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat
itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.
 
Bilamana  kemudian  Muhammad  melihat  malaikat  itu   datang,
didudukannya  ia  oleh  Khadijah  di paha kirinya, kemudian di
paha kanan dan di  pangkuannya.  Malaikat  itupun  masih  juga
dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya.
Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi  melihatnya.  Khadijah
tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.
 
Sesudah  peristiwa  itu,  pada  suatu hari Muhammad pergi akan
mengelilingi  Ka'bah.  Di  tempat   itu   Waraqa   b.   Naufal
menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqa
berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa.  Engkau  adalah
Nabi  atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti
yang  pernah  disampaikan  kepada  Musa.  Pastilah   kau   akan
didustakan   orang,   akan   disiksa,  akan  diusir  dan  akan
diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup,  pasti
aku  akan  membela  yang  di pihak Allah dengan pembelaan yang
sudah diketahuiNya pula." Lalu  Waraqa  mendekatkan  kepalanya
dan  mencium  ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera merasakan
adanya kejujuran dalam kata-kata  Waraqa  itu,  dan  merasakan
pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.
 
Sekarang  ia  jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy
supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat
mempertahankan  kebatilan  itu.  Mereka bersedia berperang dan
mati untuk itu. Ditambah  lagi  mereka  masih  sekeluarga  dan
sanak famili yang dekat.
 
Sungguhpun  begitu,  tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa
yang  dianjurkannya  kepada  mereka,  itulah  yang  benar.  Ia
mengajak  mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih
tinggi sehingga dapat  berhubungan  dengan  Allah  Yang  telah
menciptakan  mereka  dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar
mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas,  dengan
jiwa  yang  bersih,  untuk  agama.  Ia  mengajak mereka supaya
mereka mendekatkan diri kepada  Allah  dengan  perbuatan  yang
baik,  dengan  memberikan  kepada  orang  berdekatan,  hak-hak
mereka, begitu juga kepada orang yang dalam  perjalanan;  agar
mereka  menjauhkan  diri  dari menyembah batu-batu yang mereka
buat jadi berhala yang menurut dugaan mereka  akan  mengampuni
segala  dosa  mereka  dari perbuatan angkara-murka yang mereka
lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta  anak  piatu.
Penyembahan  mereka  demikian itu membuat jiwa dan hati mereka
lebih keras dan  lebih  membatu  dari  patung-patung  itu.  Ia
memperingatkan  mereka  agar  mereka mau melihat ciptaan Tuhan
yang ada di langit dan  di  bumi;  supaya  semua  itu  menjadi
tamsil  dalam  jiwa  mereka  serta  kemudian  menyadari betapa
dahsyat dan agungnya  semua  itu.  Dengan  kesadaran  demikian
mereka   akan  memahami  kebesaran  undang-undang  Ilahi  yang
berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya,  dengan  ibadatnya
itu  akan  memahami  pula  kebesaran  Al  Khalik Pencipta alam
semesta ini, Yang Tunggal, tiada  bersekutu.  Dengan  demikian
mereka  akan  lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi
oleh rasa kasih-sayang terhadap  mereka  yang  belum  mendapat
petunjuk  Tuhan,  dan  akan  berusaha ke arah itu. Mereka akan
berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap  semua  orang
yang   malang   dan   lemah.   Ya!   Ke   arah   itulah  Tuhan
memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.
 
Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu  keras,  jiwa  yang
sudah  begitu  kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala
seperti yang dilakukan oleh  nenek-moyang  mereka  dahulu.  Di
tempat  itu  mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat
kunjungan penyembah berhala! Akan mereka  tinggalkankah  agama
nenek-moyang  mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka
yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak  ada  lagi  orang
yang   akan   menyembah  berhala?  Lalu  bagaimana  pula  akan
membersihkan jiwa serupa itu dan  melepaskan  diri  dari  noda
hawa-nafsu,  hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, sampai
kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingatkan
manusia  supaya  mengatasi  nafsunya, menempatkan diri di atas
berhala-berhala itu? Kalau  mereka  sudah  tidak  mau  percaya
kepadanya,  apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi
masalah besar itu.

Ia  sedang  menantikan  bimbingan   wahyu   dalam   menghadapi
masalahnya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi
jalannya. Tetapi, wahyu itu sekarang terputus! Jibrilpun tidak
datang  lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu.
Ia merasa terasing dari orang, dan dari  dirinya.  Kembali  ia
merasa  dalam  ketakutan seperti sebelum turunnya wahyu. Konon
Khadijah pernah mengatakan  kepadanya:  "Mungkin  Tuhan  tidak
menyukai engkau."
 
Ia  masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya
lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi  dalam  gua
Hira'.  Ia  ingin  membubung  tinggi  dengan  seluruh jiwanya,
menghadapkan diri kepada Tuhan,  akan  menanyakan:  Kenapa  ia
lalu  ditinggalkan  sesudah  dipilihNya? Kecemasan Khadijahpun
tidak pula kurang rasanya.
 
Ia mengharap mati benar-benar  kalau  tidak  karena  merasakan
adanya  perintah  yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi
ia kepada dirinya, kemudian kepada  Tuhannya.  Konon  katanya:
Pernah  terpikir  olehnya  akan  membuang diri dari atas Hira'
atau dari atas puncak gunung  Abu  Qubais.  Apa  gunanya  lagi
hidup  kalau  harapannya  yang  besar  ini  jadi  kering  lalu
berakhir?
 
Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian  itu  -  sesudah
sekian  lama  terhenti - tiba-tiba datang wahyu membawa firman
Tuhan:
 
"Demi pagi cerah yang gemilang. Dan  demi  malam  bila  senyap
kelam.  Tuhanmu  tidak  meninggalkan  kau,  juga  tidak merasa
benci. Dan sungguh, hari kemudian  itu  lebih  baik  buat  kau
daripada  yang  sekarang.  Dan  akan segera ada pemberian dari
Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan bersenang  hati.  Bukankah
Ia   mendapati   kau  seorang  piatu,  lalu  diberiNya  tempat
berlindung?  Dan  Ia  mendapati  kau  tak  tahu  jalan,   lalu
diberiNya  kau  petunjuk?  Karena  itu,  terhadap  anak piatu,
jangan kau bersikap bengis. Dan tentang  orang  yang  meminta,
jangan  kau  tolak.  Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau
sebarkan."(Qur'an, 93: 1-11)
 
Maha Mulia Allah.  Betapa  damainya  itu  dalam  jiwa.  Betapa
gembira  dalam  hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad
semuanya  hilang  sudah.   Terbayang   senyum   di   wajahnya.
Bibirnyapun  mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan
penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut,  bahwa  Tuhan
sudah  tidak  menyukai  Muhammad  dan  iapun tidak lagi merasa
takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua
dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang
sama sekali dari hatinya. Tak ada lagi bunuh diri.
 
Yang ada sekarang ialah hidup dan  ajakan  kepada  Allah,  dan
hanya  kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar
menundukkan kepala. Segala yang ada  di  langit  dan  di  bumi
bersujud  belaka  kepadaNya.  Hanya  Dialah Yang Hak, dan yang
selain  itu  batil  adanya.  Hanya  kepadaNya   hati   manusia
dihadapkan, seluruh hidup kesana juga bergantung dan kepadaNya
pula ruh akan kembali. "Sungguh, hari kemudian itu lebih  baik
buat kau daripada yang sekarang."
 
Ya,  hari  kemudian  tempat  berkumpulnya  jiwa  dengan segala
bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang  dan  waktu,
dan  semua  cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan
adanya.  Hari  kemudian  yang  akan  disinari   cahaya   pagi,
berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di
langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa
yang  pasrah  menyerah.  Kehidupan  inilah  yang  akan menjadi
tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu  hanya
bayangan  belaka,  yang  tiada  berguna. Kebenaran inilah yang
cahayanya disinari oleh jiwa  Muhammad,  dan  yang  baru  akan
dipantulkan  kembali  guna memikirkan bagaimana mengajak orang
ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada  Tuhan,  ia
harus   membersihkan   pakaiannya   serta  menjauhi  perbuatan
mungkar.  Ia  harus  tabah  menghadapi  segala  gangguan  demi
menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada
ilmu yang belum mereka ketahui; jangan menolak orang  meminta,
jangan  berlaku  bengis  terhadap  anak  piatu. Cukuplah Tuhan
telah memilihnya sebagai  pengemban  amanat.  Maka  katakanlah
itu.  Cukup  sudah,  bahwa  Tuhan  telah  menemukannya sebagai
seorang piatu, lalu dilindungiNya  di  bawah  asuhan  kakeknya
Abd'l-Muttalib, dan pamannya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin,
telah  diberi  kekayaan   dengan   amanat   Tuhan   kepadanya.
Dipermudah  pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya,
kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan
yang  penuh  cinta  kasih,  yang  memberi  nasehat dengan rasa
kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan, lalu
diberiNya   petunjuk   berupa  risalah.  Cukuplah  semua  itu.
Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat
mungkin.
 
Begitulah  ketentuan  Tuhan  terhadap  seorang nabi yang telah
dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak dibenciNya.
 
Tuhan  telah  mengajarkan  Nabi  bersembahyang,   maka   iapun
bersembahyang,  begitu  juga  Khadijah  ikut  pula sembahyang.
Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali  bin
Abi  Talib  sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu itu
suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luarbiasa. Abu
Talib  adalah  keluarga  yang  banyak anaknya. Muhammad sekali
berkata kepada Abbas, pamannya - yang  pada  masa  itu  adalah
yang  paling  mampu  di  antara  Keluarga  Hasyim:  "Abu Talib
saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang  yang
mengalami krisis. Baiklah kita ringankan dia dari anak-anaknya
itu.  Aku  akan  mengambilnya  seorang  kaupun  seorang  untuk
kemudian kita asuh."
 
Karena  itu  Abbas  lalu mengasuh Ja'far dan Muhammad mengasuh
Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa kerasulannya.
 
Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali
menyeruak  masuk.  Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku' dan
sujud serta membaca beberapa  ayat  Qur'an  yang  sampai  pada
waktu  itu  sudah  diwahyukan  kepadanya.  Anak  ifu  tertegun
berdiri:  "Kepada  siapa  kalian  sujud?"   tanyanya   setelah
sembahyang selesai.
 
"Kami  sujud  kepada  Allah," jawab Muhammad, "Yang mengutusku
menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia  menyembah
Allah"
 
Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah
semata tiada bersekutu serta menerima agama yang  dibawa  nabi
utusanNya  dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan
'Uzza. Muhammad lalu  membacakan  beberapa  ayat  Qur'an.  Ali
sangat terpesona karena ayat-ayat itu luarbiasa indahnya.
http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/Rasul1.html
 

Thinkmii Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez