Selasa, 07 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (5)

Diposting oleh Rahmi Andriyani Syam di 12.30
Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu  ternyata  tenteram
adanya.  Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya itu tentu
itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan  bersama  Khadijah,
yang  setia  dan  penuh  kasih,  hidup sebagai ayah-bunda yang
bahagia  dan  rela.  Oleh  karena  itu  wajar  sekali  apabila
Muhammad  membiarkan dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya,
bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan  percakapan
masyarakatnya  tentang  berhala-berhala,  serta  apa pula yang
dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang  diri  mereka
itu.  Ia  berpikir  dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya
dialah orang yang paling banyak berpikir  dan  merenung.  Jiwa
yang   kuat  dan  berbakat  ini,  jiwa  yang  sudah  mempunyai
persiapan kelak akan menyampaikan risalah  Tuhan  kepada  umat
manusia,  serta  mengantarkannya  kepada kehidupan rohani yang
hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja  melihat
manusia  yang  sudah  hanyut  ke dalam lembah kesesatan. Sudah
seharusnya  ia  mencari  petunjuk  dalam  alam  semesta   ini,
sehingga  Tuhan  nanti  menentukannya  sebagai orang yang akan
menerima risalahNya. Begitu besar  dan  kuatnya  kecenderungan
rohani  yang  ada  padanya,  ia tidak ingin menjadikan dirinya
sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli  pikir
seperti  ,  dilakukan  oleh  Waraqa b. Naufal dan sebangsanya.
Yang dicarinya hanyalah  kebenaran  semata.  Pikirannya  penuh
untuk  itu,  banyak  sekali ia bermenung. Pikiran dan renungan
yang berkecamuk dalam hatinya itu  sedikit  sekali  dinyatakan
kepada orang lain.

Sudah  menjadi  kebiasaan  orang-orang  Arab  masa  itu  bahwa
golongan berpikir mereka  selama  beberapa  waktu  tiap  tahun
menjauhkan   diri   dari   keramaian   orang,  berkhalwat  dan
mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa  dan
berdoa,    mengharapkan   diberi   rejeki   dan   pengetahuan.
Pengasingan  untuk  beribadat  semacam  ini   mereka   namakan
tahannuf dan tahannuth.6

Di  tempat  ini  rupanya  Muhammad mendapat tempat yang paling
baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam
dirinya.  Juga  di  tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam
dinnya serta obat penawar hasrat hati yang  ingin  menyendiri,
ingin  mencari  jalan  memenuhi kerinduannya yang selalu makin
besar, ingin mencapai ma'rifat serta mengetahui  rahasia  alam
semesta.

Di  puncak  Gunung  Hira,  - sejauh dua farsakh7 sebelah utara
Mekah -terletak  sebuah  gua  yang  baik  sekali  buat  tempat
menyendiri  dan  tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun
ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan
bekal  sedikit  yang  dibawanya.  Ia  tekun dalam renungan dan
ibadat,  jauh  dari  segala  kesibukan  hidup  dan   keributan
manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.

Demikian  kuatnya  ia  merenung mencari hakikat kebenaran itu,
sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan,  lupa  segala  yang
ada  dalam  hidup  ini.  Sebab,  segala  yang dilihatnya dalam
kehidupan manusia sekitarnya,  bukanlah  suatu  kebenaran.  Di
situ  ia  mengungkapkan  dalam  kesadaran batinnya segala yang
disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan  segala  prasangka
yang pernah dikejar-kejar orang.

Ia  tidak  berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat
dalam  kisah-kisah  lama  atau  dalam   tulisan-tulisan   para
pendeta,  melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit
dan bintang-bintang, dalam bulan dan  matahari,  dalam  padang
pasir  di  kala  panas  membakar  di bawah sinar matahari yang
berkilauan.  Atau  di  kala  langit  yang  jernih  dan  indah,
bermandikan  cahaya  bulan  dan bintang yang sedap dan lembut,
atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala  yang  ada
di  balik  itu,  yang  ada hubungannya dengan wujud ini, serta
diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia  mencari
Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia
menyendiri demikian jiwanya  membubung  tinggi  akan  mencapai
hubungan   dengan  alam  semesta  ini,  menembusi  tabir  yang
menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan  yang
panjang  guna  mengetahui  bahwa  apa  yang oleh masyarakatnya
dipraktekkan dalam soal-soal  hidup  dan  apa  yang  disajikan
sebagai  kurban-kurban  untuk  tuhan-tuhan  mereka  itu, tidak
membawa  kebenaran  samasekali.  Berhala-berhala  yang   tidak
berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki,
tak dapat memberi perlindungan kepada  siapapun  yang  ditimpa
bahaya.  Hubal,  Lat  dan  'Uzza,  dan semua patung-patung dan
berhala-berhala  yang  terpancang  di  dalam  dan  di  sekitar
Ka'bah,  tak  pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau
akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.

Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan  di  mana
kebenaran  dalam  alam  semesta  yang  luas  ini,  luas dengan
buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya?
Adakah  barangkali  dalam  bintang  yang  berkelip-kelip, yang
memancarkan cahaya dan kehangatan kepada  manusia,  dari  sana
pula  hujan  diturunkan,  sehingga karenanya manusia dan semua
makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari  cahaya
dan  kehangatan  udara?  Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain
adalah  benda-benda  langit  seperti  bumi  ini   juga.   Atau
barangkali  di  balik  benda-benda  itu terdapat eter yang tak
terbatas, tak berkesudahan?

Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami  sekarang,  dan
besok  akan  berkesudahan?  Apa  asalnya,  dan  apa sumbernya?
Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan  pula  kita
di  dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai
ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak  mungkin
bila  dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia,
kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri,
ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia
memilih yang lain?

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu,  itu  juga
yang  dipikirkan  Muhammad  selama  ia  mengasingkan  diri dan
bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran  itu  dan
melihat   hidup  itu  seluruhnya.  Pemikirannya  itu  memenuhi
jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya.
Siang  dan  malam  hal  ini menderanya terus menerus. Bilamana
bulan Ramadan sudah berlalu dan ia  kembali  kepada  Khadijah,
pengaruh  pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah
menanyakannya selalu, karena diapun ingin  lega  hatinya  bila
sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.

Dalam  melakukan  ibadat  selama  dalam  tahannuth  itu adakah
Muhammad menganut sesuatu  syariat  tertentu?  Dalam  hal  ini
ulama-ulama  berlainan  pendapat.  Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir
menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai
syariat  yang  digunakannya  melakukan  ibadat  itu:  Ada yang
mengatakan menurut syariat Nuh, ada  yang  mengatakan  menurut
Ibrahim,  yang  lain  berkata  menurut  syariat Musa, ada yang
mengatakan menurut Isa dan  ada  pula  yang  mengatakan,  yang
lebih  dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan
diamalkannya. Barangkali  pendapat  yang  terakhir  ini  lebih
tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar
renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.

Tahun telah berganti tahun dan  kini  telah  tiba  pula  bulan
Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi
sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah
beberapa  tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu
dalam tidurnya bertemu dengan mimpi  hakiki  yang  memancarkan
cahaya  kebenaran  yang  selama ini dicarinya Bersamaan dengan
itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan
segala macam kemewahan yang tiada berguna.

Ketika  itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari
jalan yang benar, dan  hidup  kerohanian  mereka  telah  rusak
karena    tunduk    kepada    khayal   berhala-berhala   serta
kepercayaan-kepercayaan  semacamnya  yang  tidak  kurang  pula
sesatnya.  Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi
dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu.
Apa  yang  disebutkan  mereka  itu masing masing memang benar;
tapi masih mengandung  bermacam-macam  takhayul  dan  pelbagai
macam  cara  paganisma,  yang  tidak  mungkin  sejalan  dengan
kebenaran  sejati,  kebenaran  mutlak  yang  sederhana,  tidak
mengenal   segala  macam  spekulasi  perdebatan  kosong,  yang
menjadi pusat perhatian kedua golongan  Ahli  Kitab  itu.  Dan
Kebenaran  itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan
selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam.
Dialah  Maha  Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa
manusia   dinilai   berdasarkan   perbuatannya.   "Barangsiapa
mengerjakan  kebaikan  seberat  atompun  akan  dilihatNya. Dan
barangsiapa  mengerjakan  kejahatan   seberat   atompun   akan
dilihatNya  pula."  (Qur'an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar
adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan
selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan
kediaman yang paling durhaka.

Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh tahun.  Pergi  ia  ke
Hira'  melakukan  tahannuth.  Jiwanya  sudah  penuh  iman atas
segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi  hakiki  itu.  Ia
telah  membebaskan  diri  dari  segala  kebatilan. Tuhan telah
mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh  kalbu
ia  menghadapkan  diri  ke  jalan lurus, kepada Kebenaran yang
Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan  seluruh
jiwanya  agar  dapat  memberikan  hidayah dan bimbingan kepada
masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah  malam,
kalbu  dan  kesadarannya  dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa,
dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia  turun  dari
gua  itu,  melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali
ke tempatnya berkhalwat,  hendak  menguji  apa  gerangan  yang
berkecamuk  dalam  perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat
dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan  selama  enam  bulan,
sampai-sampai  ia  merasa  kuatir  akan  membawa  akibat  lain
terhadap  dirinya.  Oleh  karena  itu   ia   menyatakan   rasa
kekuatirannya  itu  kepada  Khadijah dan menceritakan apa yang
telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau  itu  adalah  gangguan
jin.

Tetapi  isteri  yang  setia  itu  dapat menenteramkan hatinya.
dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin  akan
mendekatinya,  sekalipun  memang tidak terlintas dalam pikiran
isteri  atau  dalam  pikiran  suami  itu,  bahwa  Allah  telah
mempersiapkan  pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani
sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang
dahsyat,  yaitu  saat  datangnya  wahyu pertama. Dengan itu ia
dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.

Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam  gua  itu,  ketika
itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata
kepadanya: "Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya
tak   dapat   membaca".   Ia   merasa   seolah  malaikat  itu
mencekiknya, kemudian dilepaskan  lagi  seraya  katanya  lagi:
"Bacalah!"  Masih  dalam  ketakutan akan dicekik lagi Muhammad
menjawab: "Apa yang akan saya baca." Seterusnya  malaikat  itu
berkata:  "Bacalah!  Dengan  nama  Tuhanmu  Yang  menciptakan.
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan  Tuhanmu
Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada
manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)

Lalu ia mengucapkan bacaan  itu.  Malaikatpun  pergi,  setelah
kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8

Tetapi  kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya
kepada dirinya:  Gerangan  apakah  yang  dilihatnya?!  Ataukah
kesurupan  yang  ditakutinya  itu  kini  telah menimpanya?! Ia
menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi  tak  melihat  apa-apa.  Ia
diam  sebentar,  gemetar  ketakutan.  Kuatir  ia akan apa yang
terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba
membingungkan.   Tak  dapat  ia  menafsirkan  apa  yang  telah
dilihatnya itu.

Cepat-cepat ia  pergi  menyusuri  celah-celah  gunung,  sambil
bertanya-tanya  dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya
membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara
dia  dalam  tahannuth,  ialah  mimpi hakiki yang memancar dari
sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di
hadapannya  jadi  terang-benderang,  menunjukkan kepadanya, di
mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu  menjerumuskan
masyarakat  Quraisy  ke dalam lembah paganisma dan penyembahan
berhala, jadi terbuka.

Sinar  terang-benderang  yang  memancar  di   hadapannya   dan
kebenaran  yang  telah  menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah
Yang Tunggal Maha Esa.  Tetapi  siapakah  yang  telah  memberi
peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan manusia
dan bahwa Dia  Yang  Maha  Pemurah,  Yang  mengajarkan  kepada
manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?

Ia  memasuki  pegunungan  itu  masih  dalam  ketakutan,  masih
bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya.
Dahsyat   sekali  terasa.  Ia  melihat  ke  permukaan  langit.
Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk  manusia.
Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun
ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu.
Tetapi  dia  masih  juga  melihatnya  di  seluruh ufuk langit.
Sebentar  melangkah  maju  ia,  sebentar  mundur,  tapi   rupa
malaikat  yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya.
Seketika lamanya ia dalam keadaan  demikian.  Dalam  pada  itu
Khadijah  telah  mengutus  orang  mencarinya ke dalam gua tapi
tidak menjumpainya.

Setelah rupa malaikat itu  menghilang  Muhammad  pulang  sudah
berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut,
hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah  sambil
ia  berkata:  "Selimuti  aku!"  Ia segera diselimuti. Tubuhnya
menggigil seperti dalam  demam.  Setelah  rasa  ketakutan  itu
berangsur  reda  dipandangnya  isterinya dengan pandangan mata
ingin mendapat kekuatan.

"Khadijah, kenapa aku?" katanya. Kemudian  diceritakannya  apa
yang  telah  dilihatnya,  dan dinyatakannya rasa kekuatirannya
akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi  seperti  juru
nujum saja.

Seperti  juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana
ketakutannya  akan  kesurupan   Khadijah   yang   penuh   rasa
kasih-sayang,  adalah  tempat  ia  melimpahkan  rasa damai dan
tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang  sedang  dalam
kekuatiran  dan  dalam  gelisah.  Ia tidak memperlihatkan rasa
kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan
penuh hormat, seraya berkata:

"O  putera  pamanku.9 Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi
Dia Yang  memegang  hidup  Khadijah,10  aku  berharap  kiranya
engkau  akan  menjadi  Nabi  atas  umat  ini. Samasekali Allah
takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat  tali
kekeluargaan,  jujur  dalam  kata-kata,  kau  yang mau memikul
beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang
dalam kesulitan atas jalan yang benar."

Muhammad  sudah  merasa  tenang kembali. Dipandangnya Khadijah
dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya
sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun
tidur, tidur  untuk  kemudian  bangun  kembali  membawa  suatu
kehidupan  rohani  yang  kuat,  yang  luarbiasa kuatnya. Suatu
kellidupan  yang  sungguh  dahsyat  dan  mempesonakan.  Tetapi
kehidupan  yang  penuh  pengorbanan,  yang tulus-ikhlas semata
untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah
Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat
manusia dengan cara  yang  lebih  baik,  sehingga  sempurnalah
cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.

Catatan kaki:

 1 Berdasarkan pada sebagian besar ahli genekologi,
   bahwa putera-putera Nabi s.a.w. dari Khadijah dua
   orang: al-Qasim dan Abdullah, yang diberi julukan
   at-Tahir dan at-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga,
   ada pula yang mengatakan empat orang.
   
 2 Mungkin nama ini sudah diarabkan (A)
   
 3 Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal dengan
   nama-nama sudut utara, ar-rukn'l-iraqi (Irak), sudut
   selatan, ar-rukn'l-yamani, sudut barat, ar-rukn'l-syami
   dan sudut timur, ar-rukn'l-aswad (A)
   
 4 Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat adalah berhala-berhala
   sembahan Arab pagan. Konon kabarnya Hubal berhala
   terbesar yang tinggal dalam Ka'bah, dibuat dari batu
   akik dalam bentuk manusia (lihat halaman 21-22).
   Keterangan tentang tuhan-tuhan wanita Lat. 'Uzza dan
   Manat berbeda-beda mengenai bentuknya. Katanya Lat
   dalam bentuk manusia juga, 'Uzza berhala kaum Thaqif.
   'Uzza pada mulanya adalah pohon suci, terletak di
   antara Mekah dengan Ta'if. Manat merupakan batu putih,
   berhala kaum Hudhail dan Khuza'a. Ketiga-tiganya itu
   berbentuk wanita. (A)
   
 5 Usman b. 'Affan, Khalifah ketiga. Setelah Ruqayya
   diceraikan oleh 'Utba diambil isteri oleh Usman b.
   'Affan. Setelah Umm Kulthum dewasa kawin dengan
   'Utaiba, lalu diceraikan pula. Sesudah dalam tahun ke-2
   H. Ruqayya wafat, Usman kawin dcngan Umm Kulthum. Ia
   meninggal dalam tahun ke-9 H. di Medinah (A).
   
 6 Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar
   dengan hanif, yang berarti 'cenderung kepada kebenaran'
   'meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah' (LA)
   atau sebaliknya dari perbuatan syirik. (Bandingkan
   Qur'an, 2: 135; 10: 105). Tahannuth atau tahannatha,
   beribadat dan menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada
   Tuhan' (N). 'Beribadat dan menjauhi berhala, seperti
   tahannatha (LA). Dalam terjemahan selanjutnya kedua
   kata ini tidak diterjemahkan (A).
   
 7 Bahasa Persia, parsang, ukuran panjang dahulu kala,
   kira-kira 3.5 mil atau hampir 6 km. (A).
   
 8 Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula
   menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya. Demikian
   juga yang datang kemudian banyak yang menceritakan
   begitu. Hanya saja sebagian mereka berpendapat bahwa
   permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di
   waktu siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan
   melalui Jibril yang menenteramkan hati Muhammad ketika
   dilihatnya dalam ketakutan. Ibn Kathir dalam Tarikh-nya
   menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na'im
   al-Ashbahani dalam bukunya Dala'il'n-Nubawa dari
   'Alqama bin Qais, bahwa "Yang mula-mula didatangkan
   kepada para nabi itu mereka dalam keadaan tidur (dengan
   maksud) supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu
   kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan: "Ini yang
   dikatakan 'Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan
   yang baik, diperkuat oleh yang datang sebelum dan
   sesudahnya."
   
 9 Suatu kebiasaan orang Arab memanggil orang yang
   dianggap seturunan. Muhammad dan Khadijah dari nenek
   moyang yang sama, yakni Qushayy (A).

10 Suatu pernyataan sumpah yang biasa diucapkan pada
   masa itu, maksudnya "Demi Allah" (A)
 
http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/Kawin2.html

Selasa, 07 Februari 2012

Sejarah Hidup Muhammad (5)

Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu  ternyata  tenteram
adanya.  Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya itu tentu
itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan  bersama  Khadijah,
yang  setia  dan  penuh  kasih,  hidup sebagai ayah-bunda yang
bahagia  dan  rela.  Oleh  karena  itu  wajar  sekali  apabila
Muhammad  membiarkan dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya,
bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan  percakapan
masyarakatnya  tentang  berhala-berhala,  serta  apa pula yang
dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang  diri  mereka
itu.  Ia  berpikir  dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya
dialah orang yang paling banyak berpikir  dan  merenung.  Jiwa
yang   kuat  dan  berbakat  ini,  jiwa  yang  sudah  mempunyai
persiapan kelak akan menyampaikan risalah  Tuhan  kepada  umat
manusia,  serta  mengantarkannya  kepada kehidupan rohani yang
hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja  melihat
manusia  yang  sudah  hanyut  ke dalam lembah kesesatan. Sudah
seharusnya  ia  mencari  petunjuk  dalam  alam  semesta   ini,
sehingga  Tuhan  nanti  menentukannya  sebagai orang yang akan
menerima risalahNya. Begitu besar  dan  kuatnya  kecenderungan
rohani  yang  ada  padanya,  ia tidak ingin menjadikan dirinya
sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli  pikir
seperti  ,  dilakukan  oleh  Waraqa b. Naufal dan sebangsanya.
Yang dicarinya hanyalah  kebenaran  semata.  Pikirannya  penuh
untuk  itu,  banyak  sekali ia bermenung. Pikiran dan renungan
yang berkecamuk dalam hatinya itu  sedikit  sekali  dinyatakan
kepada orang lain.

Sudah  menjadi  kebiasaan  orang-orang  Arab  masa  itu  bahwa
golongan berpikir mereka  selama  beberapa  waktu  tiap  tahun
menjauhkan   diri   dari   keramaian   orang,  berkhalwat  dan
mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa  dan
berdoa,    mengharapkan   diberi   rejeki   dan   pengetahuan.
Pengasingan  untuk  beribadat  semacam  ini   mereka   namakan
tahannuf dan tahannuth.6

Di  tempat  ini  rupanya  Muhammad mendapat tempat yang paling
baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam
dirinya.  Juga  di  tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam
dinnya serta obat penawar hasrat hati yang  ingin  menyendiri,
ingin  mencari  jalan  memenuhi kerinduannya yang selalu makin
besar, ingin mencapai ma'rifat serta mengetahui  rahasia  alam
semesta.

Di  puncak  Gunung  Hira,  - sejauh dua farsakh7 sebelah utara
Mekah -terletak  sebuah  gua  yang  baik  sekali  buat  tempat
menyendiri  dan  tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun
ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan
bekal  sedikit  yang  dibawanya.  Ia  tekun dalam renungan dan
ibadat,  jauh  dari  segala  kesibukan  hidup  dan   keributan
manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.

Demikian  kuatnya  ia  merenung mencari hakikat kebenaran itu,
sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan,  lupa  segala  yang
ada  dalam  hidup  ini.  Sebab,  segala  yang dilihatnya dalam
kehidupan manusia sekitarnya,  bukanlah  suatu  kebenaran.  Di
situ  ia  mengungkapkan  dalam  kesadaran batinnya segala yang
disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan  segala  prasangka
yang pernah dikejar-kejar orang.

Ia  tidak  berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat
dalam  kisah-kisah  lama  atau  dalam   tulisan-tulisan   para
pendeta,  melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit
dan bintang-bintang, dalam bulan dan  matahari,  dalam  padang
pasir  di  kala  panas  membakar  di bawah sinar matahari yang
berkilauan.  Atau  di  kala  langit  yang  jernih  dan  indah,
bermandikan  cahaya  bulan  dan bintang yang sedap dan lembut,
atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala  yang  ada
di  balik  itu,  yang  ada hubungannya dengan wujud ini, serta
diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia  mencari
Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia
menyendiri demikian jiwanya  membubung  tinggi  akan  mencapai
hubungan   dengan  alam  semesta  ini,  menembusi  tabir  yang
menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan  yang
panjang  guna  mengetahui  bahwa  apa  yang oleh masyarakatnya
dipraktekkan dalam soal-soal  hidup  dan  apa  yang  disajikan
sebagai  kurban-kurban  untuk  tuhan-tuhan  mereka  itu, tidak
membawa  kebenaran  samasekali.  Berhala-berhala  yang   tidak
berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki,
tak dapat memberi perlindungan kepada  siapapun  yang  ditimpa
bahaya.  Hubal,  Lat  dan  'Uzza,  dan semua patung-patung dan
berhala-berhala  yang  terpancang  di  dalam  dan  di  sekitar
Ka'bah,  tak  pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau
akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.

Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan  di  mana
kebenaran  dalam  alam  semesta  yang  luas  ini,  luas dengan
buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya?
Adakah  barangkali  dalam  bintang  yang  berkelip-kelip, yang
memancarkan cahaya dan kehangatan kepada  manusia,  dari  sana
pula  hujan  diturunkan,  sehingga karenanya manusia dan semua
makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari  cahaya
dan  kehangatan  udara?  Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain
adalah  benda-benda  langit  seperti  bumi  ini   juga.   Atau
barangkali  di  balik  benda-benda  itu terdapat eter yang tak
terbatas, tak berkesudahan?

Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami  sekarang,  dan
besok  akan  berkesudahan?  Apa  asalnya,  dan  apa sumbernya?
Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan  pula  kita
di  dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai
ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak  mungkin
bila  dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia,
kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri,
ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia
memilih yang lain?

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu,  itu  juga
yang  dipikirkan  Muhammad  selama  ia  mengasingkan  diri dan
bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran  itu  dan
melihat   hidup  itu  seluruhnya.  Pemikirannya  itu  memenuhi
jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya.
Siang  dan  malam  hal  ini menderanya terus menerus. Bilamana
bulan Ramadan sudah berlalu dan ia  kembali  kepada  Khadijah,
pengaruh  pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah
menanyakannya selalu, karena diapun ingin  lega  hatinya  bila
sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.

Dalam  melakukan  ibadat  selama  dalam  tahannuth  itu adakah
Muhammad menganut sesuatu  syariat  tertentu?  Dalam  hal  ini
ulama-ulama  berlainan  pendapat.  Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir
menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai
syariat  yang  digunakannya  melakukan  ibadat  itu:  Ada yang
mengatakan menurut syariat Nuh, ada  yang  mengatakan  menurut
Ibrahim,  yang  lain  berkata  menurut  syariat Musa, ada yang
mengatakan menurut Isa dan  ada  pula  yang  mengatakan,  yang
lebih  dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan
diamalkannya. Barangkali  pendapat  yang  terakhir  ini  lebih
tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar
renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.

Tahun telah berganti tahun dan  kini  telah  tiba  pula  bulan
Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi
sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah
beberapa  tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu
dalam tidurnya bertemu dengan mimpi  hakiki  yang  memancarkan
cahaya  kebenaran  yang  selama ini dicarinya Bersamaan dengan
itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan
segala macam kemewahan yang tiada berguna.

Ketika  itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari
jalan yang benar, dan  hidup  kerohanian  mereka  telah  rusak
karena    tunduk    kepada    khayal   berhala-berhala   serta
kepercayaan-kepercayaan  semacamnya  yang  tidak  kurang  pula
sesatnya.  Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi
dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu.
Apa  yang  disebutkan  mereka  itu masing masing memang benar;
tapi masih mengandung  bermacam-macam  takhayul  dan  pelbagai
macam  cara  paganisma,  yang  tidak  mungkin  sejalan  dengan
kebenaran  sejati,  kebenaran  mutlak  yang  sederhana,  tidak
mengenal   segala  macam  spekulasi  perdebatan  kosong,  yang
menjadi pusat perhatian kedua golongan  Ahli  Kitab  itu.  Dan
Kebenaran  itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan
selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam.
Dialah  Maha  Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa
manusia   dinilai   berdasarkan   perbuatannya.   "Barangsiapa
mengerjakan  kebaikan  seberat  atompun  akan  dilihatNya. Dan
barangsiapa  mengerjakan  kejahatan   seberat   atompun   akan
dilihatNya  pula."  (Qur'an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar
adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan
selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan
kediaman yang paling durhaka.

Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh tahun.  Pergi  ia  ke
Hira'  melakukan  tahannuth.  Jiwanya  sudah  penuh  iman atas
segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi  hakiki  itu.  Ia
telah  membebaskan  diri  dari  segala  kebatilan. Tuhan telah
mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh  kalbu
ia  menghadapkan  diri  ke  jalan lurus, kepada Kebenaran yang
Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan  seluruh
jiwanya  agar  dapat  memberikan  hidayah dan bimbingan kepada
masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah  malam,
kalbu  dan  kesadarannya  dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa,
dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia  turun  dari
gua  itu,  melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali
ke tempatnya berkhalwat,  hendak  menguji  apa  gerangan  yang
berkecamuk  dalam  perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat
dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan  selama  enam  bulan,
sampai-sampai  ia  merasa  kuatir  akan  membawa  akibat  lain
terhadap  dirinya.  Oleh  karena  itu   ia   menyatakan   rasa
kekuatirannya  itu  kepada  Khadijah dan menceritakan apa yang
telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau  itu  adalah  gangguan
jin.

Tetapi  isteri  yang  setia  itu  dapat menenteramkan hatinya.
dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin  akan
mendekatinya,  sekalipun  memang tidak terlintas dalam pikiran
isteri  atau  dalam  pikiran  suami  itu,  bahwa  Allah  telah
mempersiapkan  pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani
sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang
dahsyat,  yaitu  saat  datangnya  wahyu pertama. Dengan itu ia
dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.

Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam  gua  itu,  ketika
itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata
kepadanya: "Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya
tak   dapat   membaca".   Ia   merasa   seolah  malaikat  itu
mencekiknya, kemudian dilepaskan  lagi  seraya  katanya  lagi:
"Bacalah!"  Masih  dalam  ketakutan akan dicekik lagi Muhammad
menjawab: "Apa yang akan saya baca." Seterusnya  malaikat  itu
berkata:  "Bacalah!  Dengan  nama  Tuhanmu  Yang  menciptakan.
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan  Tuhanmu
Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada
manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)

Lalu ia mengucapkan bacaan  itu.  Malaikatpun  pergi,  setelah
kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8

Tetapi  kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya
kepada dirinya:  Gerangan  apakah  yang  dilihatnya?!  Ataukah
kesurupan  yang  ditakutinya  itu  kini  telah menimpanya?! Ia
menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi  tak  melihat  apa-apa.  Ia
diam  sebentar,  gemetar  ketakutan.  Kuatir  ia akan apa yang
terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba
membingungkan.   Tak  dapat  ia  menafsirkan  apa  yang  telah
dilihatnya itu.

Cepat-cepat ia  pergi  menyusuri  celah-celah  gunung,  sambil
bertanya-tanya  dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya
membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara
dia  dalam  tahannuth,  ialah  mimpi hakiki yang memancar dari
sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di
hadapannya  jadi  terang-benderang,  menunjukkan kepadanya, di
mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu  menjerumuskan
masyarakat  Quraisy  ke dalam lembah paganisma dan penyembahan
berhala, jadi terbuka.

Sinar  terang-benderang  yang  memancar  di   hadapannya   dan
kebenaran  yang  telah  menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah
Yang Tunggal Maha Esa.  Tetapi  siapakah  yang  telah  memberi
peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan manusia
dan bahwa Dia  Yang  Maha  Pemurah,  Yang  mengajarkan  kepada
manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?

Ia  memasuki  pegunungan  itu  masih  dalam  ketakutan,  masih
bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya.
Dahsyat   sekali  terasa.  Ia  melihat  ke  permukaan  langit.
Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk  manusia.
Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun
ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu.
Tetapi  dia  masih  juga  melihatnya  di  seluruh ufuk langit.
Sebentar  melangkah  maju  ia,  sebentar  mundur,  tapi   rupa
malaikat  yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya.
Seketika lamanya ia dalam keadaan  demikian.  Dalam  pada  itu
Khadijah  telah  mengutus  orang  mencarinya ke dalam gua tapi
tidak menjumpainya.

Setelah rupa malaikat itu  menghilang  Muhammad  pulang  sudah
berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut,
hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah  sambil
ia  berkata:  "Selimuti  aku!"  Ia segera diselimuti. Tubuhnya
menggigil seperti dalam  demam.  Setelah  rasa  ketakutan  itu
berangsur  reda  dipandangnya  isterinya dengan pandangan mata
ingin mendapat kekuatan.

"Khadijah, kenapa aku?" katanya. Kemudian  diceritakannya  apa
yang  telah  dilihatnya,  dan dinyatakannya rasa kekuatirannya
akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi  seperti  juru
nujum saja.

Seperti  juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana
ketakutannya  akan  kesurupan   Khadijah   yang   penuh   rasa
kasih-sayang,  adalah  tempat  ia  melimpahkan  rasa damai dan
tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang  sedang  dalam
kekuatiran  dan  dalam  gelisah.  Ia tidak memperlihatkan rasa
kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan
penuh hormat, seraya berkata:

"O  putera  pamanku.9 Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi
Dia Yang  memegang  hidup  Khadijah,10  aku  berharap  kiranya
engkau  akan  menjadi  Nabi  atas  umat  ini. Samasekali Allah
takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat  tali
kekeluargaan,  jujur  dalam  kata-kata,  kau  yang mau memikul
beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang
dalam kesulitan atas jalan yang benar."

Muhammad  sudah  merasa  tenang kembali. Dipandangnya Khadijah
dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya
sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun
tidur, tidur  untuk  kemudian  bangun  kembali  membawa  suatu
kehidupan  rohani  yang  kuat,  yang  luarbiasa kuatnya. Suatu
kellidupan  yang  sungguh  dahsyat  dan  mempesonakan.  Tetapi
kehidupan  yang  penuh  pengorbanan,  yang tulus-ikhlas semata
untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah
Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat
manusia dengan cara  yang  lebih  baik,  sehingga  sempurnalah
cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.

Catatan kaki:

 1 Berdasarkan pada sebagian besar ahli genekologi,
   bahwa putera-putera Nabi s.a.w. dari Khadijah dua
   orang: al-Qasim dan Abdullah, yang diberi julukan
   at-Tahir dan at-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga,
   ada pula yang mengatakan empat orang.
   
 2 Mungkin nama ini sudah diarabkan (A)
   
 3 Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal dengan
   nama-nama sudut utara, ar-rukn'l-iraqi (Irak), sudut
   selatan, ar-rukn'l-yamani, sudut barat, ar-rukn'l-syami
   dan sudut timur, ar-rukn'l-aswad (A)
   
 4 Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat adalah berhala-berhala
   sembahan Arab pagan. Konon kabarnya Hubal berhala
   terbesar yang tinggal dalam Ka'bah, dibuat dari batu
   akik dalam bentuk manusia (lihat halaman 21-22).
   Keterangan tentang tuhan-tuhan wanita Lat. 'Uzza dan
   Manat berbeda-beda mengenai bentuknya. Katanya Lat
   dalam bentuk manusia juga, 'Uzza berhala kaum Thaqif.
   'Uzza pada mulanya adalah pohon suci, terletak di
   antara Mekah dengan Ta'if. Manat merupakan batu putih,
   berhala kaum Hudhail dan Khuza'a. Ketiga-tiganya itu
   berbentuk wanita. (A)
   
 5 Usman b. 'Affan, Khalifah ketiga. Setelah Ruqayya
   diceraikan oleh 'Utba diambil isteri oleh Usman b.
   'Affan. Setelah Umm Kulthum dewasa kawin dengan
   'Utaiba, lalu diceraikan pula. Sesudah dalam tahun ke-2
   H. Ruqayya wafat, Usman kawin dcngan Umm Kulthum. Ia
   meninggal dalam tahun ke-9 H. di Medinah (A).
   
 6 Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar
   dengan hanif, yang berarti 'cenderung kepada kebenaran'
   'meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah' (LA)
   atau sebaliknya dari perbuatan syirik. (Bandingkan
   Qur'an, 2: 135; 10: 105). Tahannuth atau tahannatha,
   beribadat dan menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada
   Tuhan' (N). 'Beribadat dan menjauhi berhala, seperti
   tahannatha (LA). Dalam terjemahan selanjutnya kedua
   kata ini tidak diterjemahkan (A).
   
 7 Bahasa Persia, parsang, ukuran panjang dahulu kala,
   kira-kira 3.5 mil atau hampir 6 km. (A).
   
 8 Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula
   menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya. Demikian
   juga yang datang kemudian banyak yang menceritakan
   begitu. Hanya saja sebagian mereka berpendapat bahwa
   permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di
   waktu siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan
   melalui Jibril yang menenteramkan hati Muhammad ketika
   dilihatnya dalam ketakutan. Ibn Kathir dalam Tarikh-nya
   menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na'im
   al-Ashbahani dalam bukunya Dala'il'n-Nubawa dari
   'Alqama bin Qais, bahwa "Yang mula-mula didatangkan
   kepada para nabi itu mereka dalam keadaan tidur (dengan
   maksud) supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu
   kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan: "Ini yang
   dikatakan 'Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan
   yang baik, diperkuat oleh yang datang sebelum dan
   sesudahnya."
   
 9 Suatu kebiasaan orang Arab memanggil orang yang
   dianggap seturunan. Muhammad dan Khadijah dari nenek
   moyang yang sama, yakni Qushayy (A).

10 Suatu pernyataan sumpah yang biasa diucapkan pada
   masa itu, maksudnya "Demi Allah" (A)
 
http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/Kawin2.html
 

Thinkmii Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez