Bilamana kemudian ia kembali lagi kepada masyarakatnya sendiri
diajaknya mereka itu menerima Islam. Merekapun ada yang segera
menerima, tapi ada juga yang masih lambat-lambat. Dalam pada
itu, beberapa tahun berikutnya sebagian besar mereka sudah
pula menerima Islam. Setelah pembebasan Mekah dan sesudah
susunan politik dengan bentuk tertentu sudah mulai terarah,
merekapun menggabungkan diri kepada Nabi.
Peristiwa Tufail ad-Dausi ini tidak lebih adalah sebuah contoh
saja dari sekian-banyak peristiwa. Yang telah menerima ajakan
Muhammad ini bukan terdiri dari hanya penyembah-penyembah
berhala saja. Sewaktu dia di Mekah dulu pernah datang
kepadanya duapuluh orang Nasrani, setelah mereka mendengar
berita itu. Lalu mereka menanyainya, mendengarkan
kata-katanya. Merekapun menerima,mereka beriman dan
mempercayainya. Inilah pula yang membuat Quraisy makin geram,
sehingga mereka juga dimaki-maki.
"Kamu utusan yang gagal. Kamu sekalian disuruh oleh masyarakat
seagamamu mencari berita tentang orang itu. Sebelum kamu kenal
benar-benar siapa dia agama kamu sudah kamu tinggalkan dan
lalu percaya saja apa yang dikatakannya."
Tetapi kata-kata Quraisy itu tidak membuat utusan itu mundur
menjadi pengikut Muhammad, juga tidak lalu meninggalkan Islam.
Bahkan imannya kepada Allah lebih kuat daripada ketika mereka
masih dalam agama Nasrani. Mereka sudah menyerahkan diri
kepada Tuhan sebelum mereka mendengarkan Muhammad.
Tetapi apa yang terjadi terhadap diri Muhammad lebih hebat
lagi dari itu. Orang Quraisy yang paling keras memusuhinya
sudah mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri: benarkah ia
mengajak orang kepada agama yang benar? Dan apa yang
dijanjikan dan diperingatkan kepada mereka, itu pula yang
benar?
Abu Sufyan b. Harb, Abu Jahl b. Hisyam dan al-Akhnas b. Syariq
malam itu pergi ingin mendengarkan Muhammad ketika sedang
membaca Qur'an di rumahnya. Mereka masing-masing mengambil
tempat sendiri-sendiri untuk mendengarkan, dan tempat satu
sama lain tidak saling diketahui. Muhammad yang biasa bangun
tengah malam, malam itu juga ia sedang membaca Qur'an dengan
tenang dan damai. Dengan suaranya yang sedap itu ayat-ayat
suci bergema ke dalam telinga dan kalbu.
Tetapi sesudah fajar tiba, mereka yang mendengarkan itu
terpencar pulang ke rumah masing-masing. Di tengah jalan,
ketika mereka bertemu, masing-masing mau saling menyalahkan:
Jangan terulang lagi. Kalau kita dilihat oleh orang-orang yang
masih bodoh, ini akan melemahkan kedudukan kita dan mereka
akan berpihak kepada Muhammad.
Tetapi pada malam kedua, masing-masing mereka membawa perasaan
yang sama seperti pada malam kemarin. Tanpa dapat menolak,
seolah kakinya membawanya kembali ke tempat yang semalam itu
juga, untuk mendengarkan lagi Muhammad membaca Qur'an. Hampir
fajar, ketika mereka pulang, bertemu lagi mereka satu sama
lain dan saling menyalahkan pula. Tetapi sikap mereka demikian
itu tidak mengalangi mereka untuk pergi lagi pada malam
ketiga.
Setelah kemudian mereka menyadari, bahwa dalam menghadapi
dakwah Muhammad itu mereka merasa lemah, berjanjilah mereka
untuk tidak saling mengulangi lagi perbuatan mereka demikian
itu. Apa yang sudah mereka dengar dari Muhammad itu, dalam
jiwa mereka tertanam suatu kesan, sehingga mereka satu sama
lain saling menanyakan pendapat mengenai yang sudah mereka
dengar itu. Dalam hati mereka timbul rasa takut. Mereka kuatir
akan jadi lemah, mengingat masing-masing adalah pemimpin
masyarakat, sehingga dikuatirkan masyarakatnyapun akan jadi
lemah pula dan menjadi pengikut Muhammad juga.
Gerangan apa keberatan mereka menjadi pengikut-pengikut
Muhammad? Padahal ia tidak mengharapkan harta dari mereka,
tidak ingin menjadi pemimpin mereka, menjadi raja mereka atau
penguasa di atas mereka? Disamping itu dia adalah laki-laki
yang sungguh rendah hati, sangat mencintai masyarakatnya,
setia kepada mereka dan ingin sekali membimbing mereka. Sangat
halus perasaannya, sehingga kalau akan merugikan orang miskin
atau yang lemahpun ia merasa takut. Setiap ia mengalami
penderitaan, hatinya baru merasa tenang bila ia sudah merasa
mendapat pengampunan. Bukankah tatkala suatu hari ia sedang
dengan al-Walid bin'l-Mughira, salah seorang pemimpin Quraisy
yang diharapkan keislamannya, tiba-tiba lewat Ibn Umm Maktum
yang buta, dan minta diajarkan Qur'an kepadanya. Begitu
mendesak ia, sehingga Muhammad merasa kesal karenanya,
mengingat ia sedang sibuk menghadapi Walid. Ditinggalkannya
orang buta itu dengan muka masam.
Tetapi setelah ia kembali seorang diri hati kecilnya
memperhitungkan perbuatannya tadi itu sambil bertanya-tanya
kepada dirinya sendiri: Salahkah aku? Tiba-tiba datang wahyu
dengan ayat-ayat berikut:
"Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya.
Dan apa yang memberitahukan kau, barangkali ia orang yang
bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna
baginya. Tetapi kepada orang yang serba cukup itu. Engkau
menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia tidak
bersih hati. Tetapi orang yang bersungguh-sungguh datang
kepadamu. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu
adalah sebuah peringatan. Barangsiapa yang sudi, biarlah
memperhatikan peringatan itu. Dalam kitab-kitab yang
dimuliakan. Dijunjung tinggi dan disucikan. Yang ditulis
dengan tangan. Orang-orang terhormat, orang-orang yang
bersih." (Qur'an: 80: 1-16)
Kalau memang itu soalnya, apalagi yang mengalangi Quraisy
menjadi pengikutnya dan mendukung dakwahnya? Terutama sesudah
hati mereka jadi lembut, sesudah mereka melupakan masa masa
silam dengan bertahan pada warisan lapuk yang membuat jiwa
mereka jadi beku, dan sesudah mereka melihat bahwa ajaran
Muhammad itu sempurna, dan penuh keagungan?
Tetapi! Benarkah masa yang sudah bertahun-tahun itu membuat
orang lupa akan kebekuan jiwanya, akan sikapnya yang
konservatif terhadap masa lampau yang sudah lapuk? Ini dapat
terjadi pada orang-orang istimewa, yang dalam hatinya selalu
terdapat kerinduan pada yang sempurna. Dalam hidup mereka,
mereka masih mau mempelajari adanya kebenaran yang sebelumnya
sudah mereka percayai untuk kemudian membuang segala kepalsuan
yang masih melekat, betapapun tingginya tingkat kebudayaan
orang itu. Hati dan pikiran mereka sudah seperti kuali tempat
melebur logam yang selalu mendidih, menerima setiap pendapat
baru yang dilemparkan kedalamnya, lalu dilebur dan disaring.
Mana yang bernoda dibuang, dan tinggal yang baik, yang benar
dan yang indah. Mereka itu mencari kebenaran tentang apa saja,
di mana saja dan dari siapa saja. Oleh karena pada setiap
bangsa, setiap zaman, mereka ini merupakan inti yang terpilih,
maka jumlah mereka selalu sedikit. Mereka selalu mendapat
perlawanan, yang datangnya terutama dari orang-orang kaya,
orang orang berkedudukan dan orang-orang berkuasa. Mereka
takut setiap corak pembaruan itu akan menelan harta mereka,
akan menghilangkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Selain
dengan cara hidup mereka yang demikian itu, kenyataan lain
yang sudah begitu jelas tidak mereka kenal. Semua itu bagi
mereka adalah benar apabila ia dapat menambah kekuatan mereka,
dan tidak benar apabila ia dapat menimbulkan kesangsian,
sedikit sekalipun. Pemilik harta menganggap, bahwa moral itu
benar adanya bilamana ia dapat memberikan tambahan ke dalam
hartanya, dan tidak benar bilamana ia merintanginya. Agama
adalah benar, bilamana ia dapat membukakan jalan buat
hawa-nafsunya, dan tidak benar kalau ia menjadi penghalang
hawa-nafsu itu. Yang memiliki kedudukan, yang memiliki
kekuasaan dalam hal ini sama saja seperti pemilik harta itu.
Dalam perlawanan mereka terhadap segala pembaharuan yang
mereka takuti itu, mereka menghasut orang awam yang rejekinya
tergantung kepada mereka, supaya memusuhi penganjur
pembaharuan itu. Mereka minta bantuan awam supaya menyucikan
bangunan-bangunan kuno yang sudah dimakan kutu setelah minggat
ruh yang ada di dalamnya. Benteng-benteng itu mereka jadikan
kuil-kuil dari batu, untuk menimbulkan kesan kepada awam yang
tak bersalah itu, bahwa ruh suci yang mereka bungkus dengan
kain putih, masih dalam keagungannya dalam kurungan kuil-kuil
itu. Pada umumnya awam itu membela mereka, sebab, yang penting
ia melihat pencariannya. Baginya tidak mudah akan dapat
memahami, bahwa kebenaran itu tidak akan tahan tinggal
terkurung dalam tembok-tembok kuil betapapun indah dan
agungnya tempat itu, dan bahwa sifat kebenaran itu akan selalu
bebas menyerbu dan mengisi jiwa orang. Baginya tidak beda jiwa
seorang tuan atau jiwa seorang budak. Juga tak ada sebuah
peraturan betapapun kerasnya yang dapat merintangi hal itu.
Bagaimana orang dapat mengharapkan dari mereka, mereka yang
pernah datang sembunyi-sembunyi mendengarkan pembacaan Qur'an
itu, akan mau beriman kepadanya, karena ia menegur mereka yang
banyak melakukan pelanggaran itu, karena ia tidak
membeda-bedakan si buta miskin dengan orang yang hartanya
berlimpah-limpah, kecuali dari kebersihan jiwanya. Kepada
seluruh umat manusia diserukannya, bahwa:
"Yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah
yang paling dapat menjaga diri (yang paling takwa)." (Qur' an,
49: 13)
Kalaupun Abu Sufyan dan kawan-kawannya masih bertahan dengan
kepercayaan leluhur mereka, bukanlah hal itu karena dilandasi
oleh iman atau kebenaran yang ada, tapi karena mereka sudah
terlalu mencintai pada cara lama yang mereka adakan itu.
Kemudian nasib membantu mereka pula. Mereka bertahan hanya
karena kedudukan dan harta yang sudah berlimpah-limpah, dan
untuk itu pula mereka bertempur mati-matian.
Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan
persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi
pengikut Nabi. Sebelum kedatangan Muhammad, Umayya b.
Abi'sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang pernah bicara
tentang seorang nabi yang akan tampil di tengah-tengah
masyarakat Arab itu, dan dia sendiri berhasrat sekali ingin
jadi nabi. Perasaan dengki itu rasa membakar jantungnya
tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang kepadanya. Jadi
dia tidak mau menjadi pengikut orang yang dianggapnya
saingannya. Apalagi, karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya
penuh berisi pikiran, sehingga pernah suatu hari Nabi .a.s.
menyatakan ketika sajaknya dibacakan di hadapannya: "Umayya,
sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar."
Atau seperti kata al-Walid bin'l-Mughira: "Wahyu didatangkan
kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku kepala dan
pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas'ud 'Amr b. 'Umair
ath-Thaqafi sebagai pemimpin Thaqif. Kami adalah
pembesar-pembesar dua kota."
Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:
"Dan mereka berkata: 'Kenapa Qur'an ini tidak diturunkan
kepada orang besar dari dua kota itu?' Adakah mereka
membagi-bagikan kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan
penghidupan mereka itu, dalam hidup dunia ini." (Qur'an 43:
13-32)
Setelah Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam
berturut-turut mendengarkan pembacaan Qur'an, seperti dalam
cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu Jahl di
rumahnya. "Abu'l-Hakam,2 bagaimana pendapatmu tentang yang
kita dengar dari Muhammad?" tanyanya kepada Abu Jahl.
"Apa yang kaudengar?" kata Abu Jahl. "Kami sudah saling
memperebutkan kehormatan itu dengan Keluarga 'Abd Manaf.
Mereka memberi makan, kamipun memberi makan, mereka menanggung
kamipun begitu, mereka memberi kami juga memberi sehingga kami
dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlumbaan itu. Tiba-tiba
kata mereka: "Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima
"wahyu dari langit." Kapan kita akan menjumpai yang semacam
itu? Tidak! Kami sama sekali tidak akan percaya dan tidak akan
membenarkannya."
Jadi yang dalam sekali berpengaruh dalam jiwa orang-orang
badui itu ialah rasa dengki, saling bersaing dan saling
bertentangan. Dalam hal ini salah sekali bila orang mencoba
mau menutup mata atau tidak menilainya sebagaimana mestinya.
Cukup kalau kita sebutkan saja adanya kekuasaan nafsu yang
begitu besar dalam jiwa tiap orang. Untuk dapat mengatasi
pengaruh ini memang diperlukan suatu latihan yang cukup
panjang, latihan jiwa dengan mengutamakan hukum akal diatas
dorongan nafsu, jiwa dan pikiran kita harus cukup tinggi
sehingga dapat ia melihat bahwa kebenaran yang datang dari
lawan bahkan dari musuh itu, itu jugalah kebenaran yang datang
dari kawan karibnya. Ia harus yakin, bahwa dengan kebenaran
yang dimilikinya itu kekayaannya sudah lebih besar dari harta
karun, dari kebesaran Iskandar (Agung) dan dari kerajaan
seorang kaisar. Tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkat
ini kalau tidak karena Tuhan sudah membukakan hatinya untuk
kebenaran itu.
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah