“Bulan februari ini kuniatkan diriku melamarmu duhai gadis pujaanku… itulah niat muliaku kepadamu. Bukan karena bulan ini dikatakan sebagai bulan cinta tetapi karena aku tak ingin kehilangan gadi seperti dirimu...” ucap sahabatku kepadaku
Cerita ini adalah cerita tentang Fatih. Aku hanyalah seorang sahabat yang juga sebagai pendengarnya. Smoga kisah ini bermanfaat bagi kalian yang membacanya.
Namaku fatih. Aku bukanlah sosok lelaki yang mampu merayu seorang wanita (gombal) seperti yang sedang marak saat ini. Aku hanya lelaki biasa tak mempunyai bekal apapun untuk memberanikan diri datang melamar seorang gadis kepada kedua orang tuanya. Aku seorang lelaki yang serba kekurangan. Pekerjaanku biasa-biasa saja, tampangku juga biasa-biasa saja, aku berasal dari keluarga yang biasa-biasa pula. Lantas apa yang dapat kubawa di depan orang tua gadis itu???
Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan hal tersebut, apa lagi ibu dan ayahku di kampung sudah tidak sabar melihat aku membawa seorang istri ke hadapan mereka. Dalam kegelapan, aku menemukan sebuah titik terang. Kuucapkan istigfar karena melupakan hal terpenting di dunia ini yaitu Allah swt. Pencipta langit dan bumi. Aku bahkan tidak meminta izin kepada Allah untuk niatku melamar gadis itu.
Setelah pikiran ini terbuka, ku ambil air wudhu, ku laksanakan shalat sunnah 2 rakaat untuk memohon petunjuk dan meminta kemudahan atas segala urusanku ini. Setelah itu akupun dapat tidur dengan tenang.
Keesokan harinya aku bangun, dan aku mulai mengingat sebuah kejadian yang rasanya terjadi di saat aku tertidur. Ternyata semalam aku bermimpi. Dan semoga inilah jawaban atas doaku kepada Allah swt.
Kuberanikan diri datang ke rumah gadis itu. Ku bertemu dengan kedua orang tuanya, kemudian dengan suara lantangnya ayahnya bertanya kepadaku “apa tujuanmu kesini anak muda?? Mengapa engkau begitu berani datang menemuiku??” ucapnya
Akupun menjawab “aku berniat melamar anak bapak… aku memberanikan diri datang disini karena niat ikhlas ini semakin berkobar di dalam dadaku “
“apa yang kau punya yang dapat mebahagiaakan anakku kelak??”
“hanya satu yang kupunya pak”
“apakah gerangan itu”
“aku punya iman”
“kau pikir dengan iman saja anakku bisa hidup?? Dia butuh materi juga untuk kehidupan kalian kelak. “
“dengan iman yang kumiliki tentunya aku akan berusaha untuk menghidupi keluargaku dengan layak. Coba bapak bayangkan jika aku tak mempunyai iman, pastinya aku acuh pada anak bapak dan takkan memikirkan kelayakan hidup kami nantinya”
“apa pekerjaanmu?”
“saya pekerja di sebuah perusahaan pak”
“berapa mahar yang kan kau berikan kepada anakku”
“ini tabanas saya pak, bapak boleh liat. Ini semua yang akan saya berikan”
“baiklah, 2 hari lagi kau kembalilah ke sini mendengar jawabanku, aku dan anakku akan berunding dulu”
“baik pak”
Akupun kembali ke rumah dengan rasa harap-harap cemas. Di tengah jalan kutemukan seorang bapak tua yang sedang meringis kesakitan karena ditabrak sebuah mobil dan mobil tersebut kabur saja. Ia dalam keadaan terbaring berlumuran darah.akupun membawanya ke sebuah rumah sakit. Ia dimasukkan ke dalam ICU, setelah bebrapa menit kmudian dokter menghampiriku bahwa bapak tua tadi harus segera dioperasi karena lukanya sudah parah. Dan dokter memintaku agar aku segera ke ruang administrasi untuk melakukan pembayaran untuk operasinya.
Saat itu aku tak berpikir apapun, aku hanya ingin menyelamatkan bapak tua tadi. Di ruang administrasi langsung kuberikan atmku. Hanya 500rb yang tersisa di dalam atmku. Setelah membayar biaya operasi aku langsung pulang. Aku takut niat tulusku ini berubah menjadi kesombongan dan meminta imbalan kepada keluarga bapak tua tadi.
Sesampai di rumah aku terus meningat bapak tua tadi. Bahkan dalam mimpiku aku bermimpi brtemu dengannya. Dalam mimpiku ia mengucap terima kasih dan selamat tinggal.
Karena mimpi semalam itu aku mencoba menelpon rumah sakit kemarin dan menanyakan keadaan bapak tua itu. Ternyata kondisi bapak tadi makin kritis. Ia memerlukan cukup banyak darah untuk tetap bertahan. Dan kondisi stock darah di rumah sakit tidak cukup untuknya.
Dengan bergegas aku segera ke rumah sakit. Aku ke rumah sakit ditemani dengan sahabatku Jaya. Dokter mengatakan kalau bapak tua tadi memerlukan darah AB.
Akupun berkata “darahku AB dokter, ambillah sebanyak mungkin untuk bapak tua itu”
Jaya langsung membisikkanku “kamu gila, kamu sendiri saat ini dalam keadaan kurang sehat. Kamupun sebenarnya memerlukan bantuan darah itu”
“gak papa kok, aku pasti bisa bertahan” ucapku pada Jaya
Darahkupun langsung di ambil. Sehari aku tak sadarkan diri karena hal itu. Jaya sangat panic karenanya.
Ternyata selama aku pingsan, bapak tua mengalami peningkatan. “beliau tidak kritis lagi” ucap dokter.
“Alhamdulillah” ucapku. “kamu adalah pahlawan untuk bapak tua itu Fatih” ucap lagi sang dokter.
Mendengar kata pahlawan, ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatiku. Kata-kata itu tak ingin kudengar karena aku takut jika keilklasanku berubah menjadi kesombongan.
“pak dokter, bisaka aku minta tolong. Aku mohon, jika bapak tua tadi sudah sadar atapun keluarganya telah datang. Jangan pernah sebut namaku di hadapan mereka. Cukuplah Allah, aku, pak dokter dan sahabatku Jaya yang mengetahuinya” ucapku pada dokter.
“baiklah kalo begitu”.
Saat itu aku tiba-tiba ingat janjiku kepada ayah gadis yang sedang kupinang. Akupun bingung. Kubertanya kepada Jaya “jay, Maharku untuk gadis itu telah ludes. Sementara saat ini aku belum dibolehkan keluar dari rumah sakit. Sedangkan hari ini aku sudah berjanji akan datang kembali mendengar jawaban mereka. Apa yang harus kulakukan??”
Jaya menjawab “sekarang kau istirahat saja. Kalo memang jodoh tak lari kemana”.
Ketika Jaya berkata seperti itu, ada yang ada pada pandangannya. Dia tampangnya sedih seakan kehilangan seseorang.
“Jay, bapak tua tadi bagaimana keadaanya sekarang??”
“Alhamdulillah, dia sudah sadar. Dan keluarganyapun telah datang menemuinya.”
“Alhamdulillah Ya Rabb”
Entah ada apa denganku, tiba-tiba kepalaku sangat pusing. Akupun tak sadarkan diri selama 6 jam.
Saat aku terbangun, aku melihat sahabatku Jaya menangis. Ku tanyakan kepadanya
“ada apa Jay??”
Dengan penuh kecurigaan aku bertanya kepadanya. Dalam pikiranku terbesit sebuah kata “ada apa denganku?? Kenapa dengan Jaya?? Dia selalu tampang murung. Dia tersenyum namun di balik senyumnya ada sebuah kesdihan mendalang”
“aku membaca novel ini. Sangat sedih” kata Jaya
Tiba-tiba dokter datang, dan memanggil Jaya. Saat dokter datang aku berpura-pura untuk tak sadarkan diri lagi. Kudengar percakapan Jaya dan dokter jikalau umurku sebentar lagi. Katanya suatu keajaiban jika aku bisa bertahan seminggu ini.
Entahlah apa yang kurasakan saat itu juga. Aku ingin marah, aku bahagia, aku sedih bercampur adu. Setelah dokter pergi, aku langsung berkata kepada Jaya “Umur itu di tangan Allah” jayapun terkaget karenanya.
Kucoba tegarkan diriku. Berserah diri pada Allah. Pikirankupun sekrang menjadi tenang. Aku tak ingin detik-detik terakhir ini tak bahagia. Akupun meyuruh sahabatku Jaya untuk membawaku pulang kekampung. Aku ingin bertemu dengan Ayah Ibuku. Tapi sebelum itu aku ingin melihat keadaan sang bapak tua yang masih terbaring pula di rumah sakit. Walaupun dari kejauhan aku sudah sangat senang.
Indahnya detk-detik terakhir ini. Aku dikelilingi oleh orang-orang yang sayang kepadaku dan begitupun sebaliknya. 2hari bersama keluargaku tercinta, aku langsung dilarikan kembali ke rumah sakit itu karena mendadak kondisiku drop.
Di rumah sakit itu tanpa sengaja aku melihat gadis pujaanku bersama dengan ayah dan ibunya. Namun tiba-tiba pandangan itu hilang seketika.
Fatih,,, aku bangga menjadi bagian dari hidupmu. Aku adalah sahabatmu sampai kapanpun. Cerpen ini selanjutnya akan kuceritakan sesuai dengan yang kurasakan saat itu.
Aku jaya. Sahabat fatih. Gadis pujaan sahabatku saat itu melihat kondisi pria yang melamarnya tersebut. Akupun tak menyangka. Ternyata bapak tua yang Fatih tolong adalah kakek dari gadis tadi. Sehari kami menunggu kesadaran Fatih namun hal itu tidak bisa lagi kami harapkan.dokter dengan berat hati mengatakan kalau sahabatku Fatih telah diambil kembali Allah.
by : @rahmisyam
by : @rahmisyam