Minggu, 04 Maret 2012

Thaawus Ibn Kaisan

Diposting oleh Rahmi Andriyani Syam di 08.48
“Aku melihatmu wahai Abu Abdirrahman dalam mimpi, engkau shalat di Ka’bah dan Nabi berada di pintunya, beliau bersabda kepadamu, ‘Bukalah penutup mukamu dan terangkanlah bacaanmu wahai Thaawus’” (Mujahid)
Hampir saja khalifah muslimin Sulaiman ibn Abdul Malik sampai dan menetap di ujung al-Baitul ‘Atiq (Ka’bah) dan membasahi kerinduannya kepada Ka’bah yang agung hingga ia menoleh kepada penjaganya dan berkata, “Carilah seorang alim untuk kita yang dapat memberikan pemahaman agama kepada kita dan mengingatkan kita pada hari yang mulia dari hari-hari Allah ini.”
Penjaga tersebut pergi memandangi wajah-wajah Ahlul Mausim (kumpulan orang yang berhaji), dan mulai menanyai mereka tentang keinginan amirul mukminin, lalu ada yang memberitahukan kepadanya, “Ini Thaawus ibn Kaisan, Ahli fiqih masanya, orang yang paling jujur bahasanya dalam berdakwah kepada Allah, ambillah ia.!”
Penjaga tersebut menemui Thaawus dan berkata, “Penuhilah undangan amirul mukminin wahai syaikh.”
Thaawus memenuhi undangan tanpa berlambat-lambat, hal itu karena ia meyakini bahwa wajib bagi para dai kepada Allah ta’ala agar memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan kepadanya di mana mereka pasti sesegera mungkin mengambil kesempatan itu. Ia meyakini bahwa kalimat yang paling afdhal (utama) adalah Kalimatul Haq (Perkataan benar) yang diharapkan dapat meluruskan kebengkokan para pemimpin dan menjauhkan mereka dari kezhaliman serta mendekatkan mereka kepada Allah ta’ala.
Thaawus pun pergi bersama penjaga. Ketika masuk menemui amirul mukminin, ia menyalaminya. Khalifah membalas salamnya dengan yang lebih baik dari itu dan memuliakan penyambutannya dan mendekatkan majlisnya.
Ia (khalifah) mulai menanyainya tentang apa yang musykil (pelik) dari manasik-manasik haji dan ia (Thaawus) mendengarkannya dengan penuh penghormatan dan pengagungan.
Thaawus berkata, “Ketika aku merasa bahwa amirul mukminin telah sampai kepada keinginannya dan tidak tersisa apa yang akan ditanyakannya. Aku berkata dalam diriku, ‘Sesungguhnya majlis ini adalah majlis yang Allah akan menanyaimu tentangnya wahai Thaawus.!” Kemudian aku menghadap kepadanya dan berkata, ‘Wahai amirul mukminin, sesungguhnya ada batu besar berada di tepi sumur di jurang Jahannam. Ia terus menggelinding di sumur tersebut selama tujuh puluh tahun hingga sampai pada dasarnya. Tahukah anda untuk siapa Allah menyiapkan satu sumur dari sumur-sumur Jahannam ini wahai amirul mukminin?.”
Tanpa berpikir, ia pun menjawab, “Tidak.” Kemudian ia kembali kepada dirinya dan berkata, “Aduh celaka, untuk siapa Allah menyiapkannya.?”
Aku menjawab, “Allah telah menyiapkannya untuk orang yang telah Dia jadikan sebagai wali dalam hukum-Nya kemudian ia berbuat aniaya.!”
Sulaiman terkejut ketakutan dibuatnya. Aku mengira bahwa nyawanya akan keluar dari badannya. Ia mulai menangis tersedu-sedu mengiris urat jantung. Aku meninggalkannya dan beranjak pergi sementara ia mengucapkan terima kasih kepadaku. Ketika Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, ia mengirim surat kepada Thaawus ibn Kaisan dan berkata kepadanya, “Wasiatilah aku wahai Abu Abdirrahman.”
Thaawus menulis risalah kepadanya dalam satu baris yang isinya, “Apabila engkau menginginkan agar seluruh amalanmu baik, maka pekerjakanlah Ahlul Khair (orang-orang yang baik), wassalam.” Ketika Umar membaca risalah tersebut, ia berkata, “Cukuplah ini sebagai mauidzah…cukuplah ini sebagai mau’izhah.!!”
Ketika khilafah berpindah kepada Hisyam ibn Abdul Malik, ada kejadian-kejadian masyhur yang diriwayatkan antara Thaawus dengannya.
Di antarnya adalah bahwa Hisyam datang ke Baitul Haram menunaikan haji. Sesampainya di al-Haram, berkatalah ia kepada orang-orang terdekatnya dari penduduk Mekkah, “Carilah untuk kami seseorang dari sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam.” Mereka menjawab, “Sesungguhnya para sahabat -wahai Amirul Mukminin- telah bertemu dengan Rabb mereka satu demi satu hingga tidak tersisa seorang pun dari mereka.”
“Kalau demikian, maka dari tabi’inm,” katanya. Lalu didatangkanlah Thaawus ibn Kaisan.Ketika masuk menemuinya, ia melepas kedua sandalnya di ujung permadaninya. Kemudian ia menyalami sang khalifah tanpa memanggilnya dengan sapaan Amirul Mukminin tapi memanggilnya dengan namanya tanpa menggunakan kunyah-nya. Ia juga duduk sebelum diizinkan untuk duduk.
Kemarahan menyala dalam diri Hisyam hingga terlihat di kedua matanya. Yang demikian itu karena ia melihat tingkah laku Thaawus yang begitu berani terhadapnya dan merendahkan wibawanya di hadapan anggota majlis serta para bawahannya. Hanya saja ia langsung teringat bahwa ia sedang berada di tanah haram Allah . Ia menenangkan dirinya dan berkata kepada Thaawus, “Apa yang membuatmu melakukan hal tersebut wahai Thaawus.?!” “Apa yang telah aku lakukan,?” katanya. Khalifah kembali marah dan murka seraya berkata, “Kamu melepaskan sandallmu di ujung karpetku. Kamu tidak menyalamiku dengan sapaan amirul mukminin tapi kamu memanggilku dengan namaku bukan dengan kunyah-ku, lalu kamu duduk tanpa izin dariku.!”
Dengan tenang Thaawus menjawab, “Adapun kenapa aku melepas sandalku di ujung karpetmu, maka aku melepaskannya di hadapan Rabbul ‘Izzah setiap hari lima kali sedangkan Dia tidak mencelaku dan marah kepadaku.!? Adapun ucapanmu bahwa aku tidak menyalamimu dengan sapaan amirul mukminin, karena tidak seluruh muslimin ridha dengan kepemimpinanmu sehingga aku takut berdusta bila memanggilmu dengan amirul mukminin. Adapun celaanmu terhadapku bahwa aku memanggilmu dengan namam, bukan dengan julukanmu, maka sesungguhnya Allah memangggil para nabi-Nya menggunakan nama-nama mereka, Allah berfirman, “Wahai Daud…wahai Yahya…wahai ‘Isa!!” namun Dia malah memberikan julukan kepada para musuh-Nya, Dia berfirman, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab (paman Nabi) dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS.al-Masad:1) Adapun perkataanmu bahwa aku duduk sebelum engkau mengizinkan, sesungguhnya aku mendengar amirul mukminin, ‘Ali ibn Abi Thalib berkata, ‘Apabila engkau ingin melihat kepada seseorang dari ahli neraka, maka lihatlah kepada orang yang duduk sedangkan di sekelilingnya orang-orang berdiri di hadapannya,” maka aku tidak mau kalau engkau menjadi orang yang termasuk dari ahli neraka itu.!!”
Hisyam lalu menundukkan pandangannya ke tanah karena malu, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, “Nasihati aku wahai Abu Abdirrahman.” Ia menjawab, “Aku mendengar ‘Ali ibn Abi Thalib berkata, ‘Sesungguhnya di Jahannam ada ular-ular yang seperti tiang yang tinggi kokoh dan kalajengking-kalajengking yang besarnya seperti Bighal (hasil dari perkawinan antara kuda dengan keledai, penj). Ia menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya.!!”
Kemudian ia bangkit dan pergi. Sebagaimana Thaawus mendatangi sebagian ulil amri untuk mengingatkan dan mengarahkan mereka. Ia juga berpaling dari sebagian yang lain untuk merendahkan dan mencela mereka. Putranya menceritakan, “Pada suatu tahun kami keluar bersama ayah untuk menunaikan haji dari Yaman, kami singgah di beberapa kota. Kota tersebut memiliki seorang pejabat yang dikenal dengan sebutan ‘Ibn Nujaih.’ Ia adalah pejabat yang paling busuk, orang yang paling berani terhadap kebenaran dan orang yang demikian banyak terjerumus ke dalam kebathilan.
Kami mendatangi masjid negeri tersebut untuk melaksanakan shalat fardhu. Ternyata Ibn Nujaih telah mengetahui kedatangan ayahku. Ia datang ke masjid dan duduk di hadapannya serta menyalaminya. Ayahku tidak menjawabnya dan memalingkan punggungnya.!? Ia mendatangi daru sebelah kanannya dan mengajaknya berbicara, namun ayahku tetap berpaling darinya. Ia berpindah ke sebelah kirinya dan mengajaknya bicara, tetapi ia berpaling juga darinya. Ketika melihat hal tersebut, aku bangkit kepadanya dan menjulurkan tanganku ke arahnya. Aku menyalaminya dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya ayahku belum mengenalmu.’ Ia menjawab, ‘Bahkan, sesungguhnya ayahmu telah mengenalku. Dan sesungguhnya lantaran begitu kenal denganku membuatnya berbuat seperti apa yang kamu lihat tadi.!’ Ia kemudian pergi, diam dan tidak berkata sepatah pun.
Ketika kami kembali ke persinggahan, ayahku menoleh kepadaku dan berkata, ‘Wahai dung.! (mengapa) kamu mencela mereka dengan lidah tajammu di saat mereka tidak ada. Dan bila mereka datang, kamu lembutkan perkataanmu kepada mereka!! Bukankah ini benar-benar nifak?!.’”
Demikianlah, Thaawus ibn Kaisan tidaklah mengkhususkan para khalifah dan umara dengan mauidzah-mauidzahnya, akan tetapi mencurahkannya kepada setiap orang yang merasa memiliki hajat dan raghbah (kecintaan) kepadanya.
Di antaranya yang diriwayatkan oleh ‘Athaa ibn Abi Rabbah, ia berkata, “Thaawus ibn Kaisan melihatku di suatu tempat yang ia tidak merasa senang. Ia berkata, ‘Wahai ‘Athaa, jauhi olehmu untuk mengangkat hajat-hajatmu kepada orang yang menutup pintunya di wajahmu serta menempatkan para penjaganya di depanmu. Akan tetapi mintalah hajatmu dari Dzat yang membuka pintu-pintuNya untukmu dan menuntutmu untuk berdoa kepada-Nya dan berjanji akan mengabulkan untukmu.!”
Ia pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, temanilah orang-orang yang berakal, niscaya kamu akan dinasabkan kepada mereka, walaupun engkau tidak termasuk dari mereka (bukan seperti mereka). Janganlah engkau berteman dengan orang-orang yang jahil, karena sesungguhnya bila engkau bersahabat dengan mereka, engkau akan dinisbatkan kepada mereka walaupun engkau tidak termasuk dari golongan mereka (bukan seperti mereka).
Ketahuilah bahwa segala sesuatu memiliki tujuan dan sesungguhnya tujuan seorang manusia adalah kesempurnaan agamanya dan kesempurnaan akhlaknya.” Putra beliau, Abdullah telah tumbuh di bawahan asuhan dan didikan sang orang tua, berakhlak seperti akhlaknya dan mengikuti jejak perjalanan hidupnya. Di antaranya, bahwa Khalifah al-‘Abbasi (khalifah Bani Abbasiyah), Abu Ja’far al-Manshur telah memanggil putra Thawus, yakni Abdullah ibn Thaawus serta (memanggil) Malik ibn Anas* untuk menziarahinya. Ketika keduanya masuk menemuinya dan mengambil tempat duduknya di dekatnya, khalifah menoleh kepada Abdullah ibn Thaawus dan berkata, “Riwayatkan kepadaku sesuatu dari hadits yang telah disampaikan ayahmu kepadamu.”
Ia menjawab, “Ayahku telah bercerita kepadaku bahwa manusia yang peling keras adzabnya pada hari kiamat adalah seseorang yang telah Allah jadikan sebagai pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslimin dalam kekuasaannya, kemudian ia memasukkan kezhaliman dalam putusannya.”
Malik ibn Anas berkata, “Ketika mendengar perkataannya ini, aku mendekap pakaianku takut darahnya menimpaku. Hanya saja Abu Ja’far terdiam sesaat dan tidak berkata. Kemudian kami berlalu dari situ dengan selamat.
Thaawus ibn Kaisan telah diberi umur panjang hingga mencapai seratus tahun atau lebih sedikit. Hanya saja ketuaan dan usia yang lanjut tidak sedikitpun mempengaruhi kejernihan akalnya dan ketajaman pikirannya serta kecepatan dalam menjawab.
Abdullah asy-Syaami menceritakan, “Aku mendatangi Thaawus di rumahnya untuk menimba ilmu darinya padahal aku tidak mengenalnya. Maka ketika aku mengetuk pintu, keluarlah seorang syaikh tua menemuiku. Aku mengucapkan salam kepadanya dan aku berkata, ‘Apakah anda Thaawus ibn Kaisan.?” Ia menjawab, “Bukan, aku adalah putranya.’ Aku berkata, ‘Bila kamu adalah putranya, aku tidak merasa aman bila syaikh menjadi pikun dan rusak akalnya (karena ketuaan), sesungguhnya aku menujunya dari tempat yang jauh untuk menimba ilmunya.’ Ia menjawab, ‘Celaka engkau! Sesesungguhnya para pengemban kitab Allah tidak rusak akalnya! Masuklah menemuinya.”
Aku masuk menemui Thaawus dan menyalaminya seraya berkata, ’Sungguh, aku telah mendatangimu untuk menimba ilmumu dan cinta kepada nasehatmu.’ Ia (Thaawus) berkata, ‘Tanyakanlah dan ringkaslah. ’Aku menjawab, ‘Aku akan menyingkatnya semampuku, insya Allah.’ Ia berkata, ‘Apakah kamu ingin agar aku mengumpulkan untukmu inti dari apa yang ada dalam Taurat, Zabur (kitab Nabi Daud AS), Injil dan al-Qur’an?’ ‘Ya,’ jawabku.
Ia berkata, ‘Takutlah kepada Allah ta’ala dengan penuh rasa takut dimana tidak ada sesuatupun yang lebih kamu takuti dari-Nya. Dan berharaplah dari Dia dengan pengharapan yang lebih besar dari rasa takutmu kepada-Nya. Cintailah untuk manusia apa-apa yang kamu cintai untuk dirimu.!!’”
Pada malam kesepuluh dari bulan Dzulhijjah tahun 106 H, bertolaklah syaikh yang telah berusia lanjut, Thaawus ibn Kaisan bersama para jema’ah haji dari Arafah menuju Muzdalifah untuk yang keempat puluh kalinya. Ketika ia menjejakkan kakinya di tanahnya yang suci dan melaksanakan shalat Maghrib bersama Isya (jamak takdim). Ia merebahkan punggungnya ke tanah dan ingin istirahat sebentar. Sesaat kemudian, kematian menjemput beliau.
Ia menemui kematiannya jauh dari sanak keluarga dan kampung halaman, dalam keadaan bertaqarrub kepada Allah. Bertalbiyah dan berihram mengharapkan pahala Allah, keluar dari dosa-dosanya seperti ia dilahirkan oleh ibunya berkat karunia Allah.
Ketika subuh telah muncul dan orang-orang ingin menguburnya. Mereka tidak mampu mengeluarkan jenazahnya karena saking banyaknya orang yang berdesak-desakan terhadapnya. Maka Emir Mekkah mengarahkan penjaga untuk menggiring kerumunan manusia itu dari jenazahnya hingga memudahkan prosesi penguburannya.
Begitu banyak orang yang menyalatinya sehingga tidak ada yang bisa menghitung jumlahnya kecuali Allah. Dan di antara kelompok yang menyhalatinya itu adalah khalifah kaum muslimin, Hisyam ibn Abdul Malik.

Minggu, 04 Maret 2012

Thaawus Ibn Kaisan

“Aku melihatmu wahai Abu Abdirrahman dalam mimpi, engkau shalat di Ka’bah dan Nabi berada di pintunya, beliau bersabda kepadamu, ‘Bukalah penutup mukamu dan terangkanlah bacaanmu wahai Thaawus’” (Mujahid)
Hampir saja khalifah muslimin Sulaiman ibn Abdul Malik sampai dan menetap di ujung al-Baitul ‘Atiq (Ka’bah) dan membasahi kerinduannya kepada Ka’bah yang agung hingga ia menoleh kepada penjaganya dan berkata, “Carilah seorang alim untuk kita yang dapat memberikan pemahaman agama kepada kita dan mengingatkan kita pada hari yang mulia dari hari-hari Allah ini.”
Penjaga tersebut pergi memandangi wajah-wajah Ahlul Mausim (kumpulan orang yang berhaji), dan mulai menanyai mereka tentang keinginan amirul mukminin, lalu ada yang memberitahukan kepadanya, “Ini Thaawus ibn Kaisan, Ahli fiqih masanya, orang yang paling jujur bahasanya dalam berdakwah kepada Allah, ambillah ia.!”
Penjaga tersebut menemui Thaawus dan berkata, “Penuhilah undangan amirul mukminin wahai syaikh.”
Thaawus memenuhi undangan tanpa berlambat-lambat, hal itu karena ia meyakini bahwa wajib bagi para dai kepada Allah ta’ala agar memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan kepadanya di mana mereka pasti sesegera mungkin mengambil kesempatan itu. Ia meyakini bahwa kalimat yang paling afdhal (utama) adalah Kalimatul Haq (Perkataan benar) yang diharapkan dapat meluruskan kebengkokan para pemimpin dan menjauhkan mereka dari kezhaliman serta mendekatkan mereka kepada Allah ta’ala.
Thaawus pun pergi bersama penjaga. Ketika masuk menemui amirul mukminin, ia menyalaminya. Khalifah membalas salamnya dengan yang lebih baik dari itu dan memuliakan penyambutannya dan mendekatkan majlisnya.
Ia (khalifah) mulai menanyainya tentang apa yang musykil (pelik) dari manasik-manasik haji dan ia (Thaawus) mendengarkannya dengan penuh penghormatan dan pengagungan.
Thaawus berkata, “Ketika aku merasa bahwa amirul mukminin telah sampai kepada keinginannya dan tidak tersisa apa yang akan ditanyakannya. Aku berkata dalam diriku, ‘Sesungguhnya majlis ini adalah majlis yang Allah akan menanyaimu tentangnya wahai Thaawus.!” Kemudian aku menghadap kepadanya dan berkata, ‘Wahai amirul mukminin, sesungguhnya ada batu besar berada di tepi sumur di jurang Jahannam. Ia terus menggelinding di sumur tersebut selama tujuh puluh tahun hingga sampai pada dasarnya. Tahukah anda untuk siapa Allah menyiapkan satu sumur dari sumur-sumur Jahannam ini wahai amirul mukminin?.”
Tanpa berpikir, ia pun menjawab, “Tidak.” Kemudian ia kembali kepada dirinya dan berkata, “Aduh celaka, untuk siapa Allah menyiapkannya.?”
Aku menjawab, “Allah telah menyiapkannya untuk orang yang telah Dia jadikan sebagai wali dalam hukum-Nya kemudian ia berbuat aniaya.!”
Sulaiman terkejut ketakutan dibuatnya. Aku mengira bahwa nyawanya akan keluar dari badannya. Ia mulai menangis tersedu-sedu mengiris urat jantung. Aku meninggalkannya dan beranjak pergi sementara ia mengucapkan terima kasih kepadaku. Ketika Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, ia mengirim surat kepada Thaawus ibn Kaisan dan berkata kepadanya, “Wasiatilah aku wahai Abu Abdirrahman.”
Thaawus menulis risalah kepadanya dalam satu baris yang isinya, “Apabila engkau menginginkan agar seluruh amalanmu baik, maka pekerjakanlah Ahlul Khair (orang-orang yang baik), wassalam.” Ketika Umar membaca risalah tersebut, ia berkata, “Cukuplah ini sebagai mauidzah…cukuplah ini sebagai mau’izhah.!!”
Ketika khilafah berpindah kepada Hisyam ibn Abdul Malik, ada kejadian-kejadian masyhur yang diriwayatkan antara Thaawus dengannya.
Di antarnya adalah bahwa Hisyam datang ke Baitul Haram menunaikan haji. Sesampainya di al-Haram, berkatalah ia kepada orang-orang terdekatnya dari penduduk Mekkah, “Carilah untuk kami seseorang dari sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam.” Mereka menjawab, “Sesungguhnya para sahabat -wahai Amirul Mukminin- telah bertemu dengan Rabb mereka satu demi satu hingga tidak tersisa seorang pun dari mereka.”
“Kalau demikian, maka dari tabi’inm,” katanya. Lalu didatangkanlah Thaawus ibn Kaisan.Ketika masuk menemuinya, ia melepas kedua sandalnya di ujung permadaninya. Kemudian ia menyalami sang khalifah tanpa memanggilnya dengan sapaan Amirul Mukminin tapi memanggilnya dengan namanya tanpa menggunakan kunyah-nya. Ia juga duduk sebelum diizinkan untuk duduk.
Kemarahan menyala dalam diri Hisyam hingga terlihat di kedua matanya. Yang demikian itu karena ia melihat tingkah laku Thaawus yang begitu berani terhadapnya dan merendahkan wibawanya di hadapan anggota majlis serta para bawahannya. Hanya saja ia langsung teringat bahwa ia sedang berada di tanah haram Allah . Ia menenangkan dirinya dan berkata kepada Thaawus, “Apa yang membuatmu melakukan hal tersebut wahai Thaawus.?!” “Apa yang telah aku lakukan,?” katanya. Khalifah kembali marah dan murka seraya berkata, “Kamu melepaskan sandallmu di ujung karpetku. Kamu tidak menyalamiku dengan sapaan amirul mukminin tapi kamu memanggilku dengan namaku bukan dengan kunyah-ku, lalu kamu duduk tanpa izin dariku.!”
Dengan tenang Thaawus menjawab, “Adapun kenapa aku melepas sandalku di ujung karpetmu, maka aku melepaskannya di hadapan Rabbul ‘Izzah setiap hari lima kali sedangkan Dia tidak mencelaku dan marah kepadaku.!? Adapun ucapanmu bahwa aku tidak menyalamimu dengan sapaan amirul mukminin, karena tidak seluruh muslimin ridha dengan kepemimpinanmu sehingga aku takut berdusta bila memanggilmu dengan amirul mukminin. Adapun celaanmu terhadapku bahwa aku memanggilmu dengan namam, bukan dengan julukanmu, maka sesungguhnya Allah memangggil para nabi-Nya menggunakan nama-nama mereka, Allah berfirman, “Wahai Daud…wahai Yahya…wahai ‘Isa!!” namun Dia malah memberikan julukan kepada para musuh-Nya, Dia berfirman, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab (paman Nabi) dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS.al-Masad:1) Adapun perkataanmu bahwa aku duduk sebelum engkau mengizinkan, sesungguhnya aku mendengar amirul mukminin, ‘Ali ibn Abi Thalib berkata, ‘Apabila engkau ingin melihat kepada seseorang dari ahli neraka, maka lihatlah kepada orang yang duduk sedangkan di sekelilingnya orang-orang berdiri di hadapannya,” maka aku tidak mau kalau engkau menjadi orang yang termasuk dari ahli neraka itu.!!”
Hisyam lalu menundukkan pandangannya ke tanah karena malu, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, “Nasihati aku wahai Abu Abdirrahman.” Ia menjawab, “Aku mendengar ‘Ali ibn Abi Thalib berkata, ‘Sesungguhnya di Jahannam ada ular-ular yang seperti tiang yang tinggi kokoh dan kalajengking-kalajengking yang besarnya seperti Bighal (hasil dari perkawinan antara kuda dengan keledai, penj). Ia menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya.!!”
Kemudian ia bangkit dan pergi. Sebagaimana Thaawus mendatangi sebagian ulil amri untuk mengingatkan dan mengarahkan mereka. Ia juga berpaling dari sebagian yang lain untuk merendahkan dan mencela mereka. Putranya menceritakan, “Pada suatu tahun kami keluar bersama ayah untuk menunaikan haji dari Yaman, kami singgah di beberapa kota. Kota tersebut memiliki seorang pejabat yang dikenal dengan sebutan ‘Ibn Nujaih.’ Ia adalah pejabat yang paling busuk, orang yang paling berani terhadap kebenaran dan orang yang demikian banyak terjerumus ke dalam kebathilan.
Kami mendatangi masjid negeri tersebut untuk melaksanakan shalat fardhu. Ternyata Ibn Nujaih telah mengetahui kedatangan ayahku. Ia datang ke masjid dan duduk di hadapannya serta menyalaminya. Ayahku tidak menjawabnya dan memalingkan punggungnya.!? Ia mendatangi daru sebelah kanannya dan mengajaknya berbicara, namun ayahku tetap berpaling darinya. Ia berpindah ke sebelah kirinya dan mengajaknya bicara, tetapi ia berpaling juga darinya. Ketika melihat hal tersebut, aku bangkit kepadanya dan menjulurkan tanganku ke arahnya. Aku menyalaminya dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya ayahku belum mengenalmu.’ Ia menjawab, ‘Bahkan, sesungguhnya ayahmu telah mengenalku. Dan sesungguhnya lantaran begitu kenal denganku membuatnya berbuat seperti apa yang kamu lihat tadi.!’ Ia kemudian pergi, diam dan tidak berkata sepatah pun.
Ketika kami kembali ke persinggahan, ayahku menoleh kepadaku dan berkata, ‘Wahai dung.! (mengapa) kamu mencela mereka dengan lidah tajammu di saat mereka tidak ada. Dan bila mereka datang, kamu lembutkan perkataanmu kepada mereka!! Bukankah ini benar-benar nifak?!.’”
Demikianlah, Thaawus ibn Kaisan tidaklah mengkhususkan para khalifah dan umara dengan mauidzah-mauidzahnya, akan tetapi mencurahkannya kepada setiap orang yang merasa memiliki hajat dan raghbah (kecintaan) kepadanya.
Di antaranya yang diriwayatkan oleh ‘Athaa ibn Abi Rabbah, ia berkata, “Thaawus ibn Kaisan melihatku di suatu tempat yang ia tidak merasa senang. Ia berkata, ‘Wahai ‘Athaa, jauhi olehmu untuk mengangkat hajat-hajatmu kepada orang yang menutup pintunya di wajahmu serta menempatkan para penjaganya di depanmu. Akan tetapi mintalah hajatmu dari Dzat yang membuka pintu-pintuNya untukmu dan menuntutmu untuk berdoa kepada-Nya dan berjanji akan mengabulkan untukmu.!”
Ia pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, temanilah orang-orang yang berakal, niscaya kamu akan dinasabkan kepada mereka, walaupun engkau tidak termasuk dari mereka (bukan seperti mereka). Janganlah engkau berteman dengan orang-orang yang jahil, karena sesungguhnya bila engkau bersahabat dengan mereka, engkau akan dinisbatkan kepada mereka walaupun engkau tidak termasuk dari golongan mereka (bukan seperti mereka).
Ketahuilah bahwa segala sesuatu memiliki tujuan dan sesungguhnya tujuan seorang manusia adalah kesempurnaan agamanya dan kesempurnaan akhlaknya.” Putra beliau, Abdullah telah tumbuh di bawahan asuhan dan didikan sang orang tua, berakhlak seperti akhlaknya dan mengikuti jejak perjalanan hidupnya. Di antaranya, bahwa Khalifah al-‘Abbasi (khalifah Bani Abbasiyah), Abu Ja’far al-Manshur telah memanggil putra Thawus, yakni Abdullah ibn Thaawus serta (memanggil) Malik ibn Anas* untuk menziarahinya. Ketika keduanya masuk menemuinya dan mengambil tempat duduknya di dekatnya, khalifah menoleh kepada Abdullah ibn Thaawus dan berkata, “Riwayatkan kepadaku sesuatu dari hadits yang telah disampaikan ayahmu kepadamu.”
Ia menjawab, “Ayahku telah bercerita kepadaku bahwa manusia yang peling keras adzabnya pada hari kiamat adalah seseorang yang telah Allah jadikan sebagai pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslimin dalam kekuasaannya, kemudian ia memasukkan kezhaliman dalam putusannya.”
Malik ibn Anas berkata, “Ketika mendengar perkataannya ini, aku mendekap pakaianku takut darahnya menimpaku. Hanya saja Abu Ja’far terdiam sesaat dan tidak berkata. Kemudian kami berlalu dari situ dengan selamat.
Thaawus ibn Kaisan telah diberi umur panjang hingga mencapai seratus tahun atau lebih sedikit. Hanya saja ketuaan dan usia yang lanjut tidak sedikitpun mempengaruhi kejernihan akalnya dan ketajaman pikirannya serta kecepatan dalam menjawab.
Abdullah asy-Syaami menceritakan, “Aku mendatangi Thaawus di rumahnya untuk menimba ilmu darinya padahal aku tidak mengenalnya. Maka ketika aku mengetuk pintu, keluarlah seorang syaikh tua menemuiku. Aku mengucapkan salam kepadanya dan aku berkata, ‘Apakah anda Thaawus ibn Kaisan.?” Ia menjawab, “Bukan, aku adalah putranya.’ Aku berkata, ‘Bila kamu adalah putranya, aku tidak merasa aman bila syaikh menjadi pikun dan rusak akalnya (karena ketuaan), sesungguhnya aku menujunya dari tempat yang jauh untuk menimba ilmunya.’ Ia menjawab, ‘Celaka engkau! Sesesungguhnya para pengemban kitab Allah tidak rusak akalnya! Masuklah menemuinya.”
Aku masuk menemui Thaawus dan menyalaminya seraya berkata, ’Sungguh, aku telah mendatangimu untuk menimba ilmumu dan cinta kepada nasehatmu.’ Ia (Thaawus) berkata, ‘Tanyakanlah dan ringkaslah. ’Aku menjawab, ‘Aku akan menyingkatnya semampuku, insya Allah.’ Ia berkata, ‘Apakah kamu ingin agar aku mengumpulkan untukmu inti dari apa yang ada dalam Taurat, Zabur (kitab Nabi Daud AS), Injil dan al-Qur’an?’ ‘Ya,’ jawabku.
Ia berkata, ‘Takutlah kepada Allah ta’ala dengan penuh rasa takut dimana tidak ada sesuatupun yang lebih kamu takuti dari-Nya. Dan berharaplah dari Dia dengan pengharapan yang lebih besar dari rasa takutmu kepada-Nya. Cintailah untuk manusia apa-apa yang kamu cintai untuk dirimu.!!’”
Pada malam kesepuluh dari bulan Dzulhijjah tahun 106 H, bertolaklah syaikh yang telah berusia lanjut, Thaawus ibn Kaisan bersama para jema’ah haji dari Arafah menuju Muzdalifah untuk yang keempat puluh kalinya. Ketika ia menjejakkan kakinya di tanahnya yang suci dan melaksanakan shalat Maghrib bersama Isya (jamak takdim). Ia merebahkan punggungnya ke tanah dan ingin istirahat sebentar. Sesaat kemudian, kematian menjemput beliau.
Ia menemui kematiannya jauh dari sanak keluarga dan kampung halaman, dalam keadaan bertaqarrub kepada Allah. Bertalbiyah dan berihram mengharapkan pahala Allah, keluar dari dosa-dosanya seperti ia dilahirkan oleh ibunya berkat karunia Allah.
Ketika subuh telah muncul dan orang-orang ingin menguburnya. Mereka tidak mampu mengeluarkan jenazahnya karena saking banyaknya orang yang berdesak-desakan terhadapnya. Maka Emir Mekkah mengarahkan penjaga untuk menggiring kerumunan manusia itu dari jenazahnya hingga memudahkan prosesi penguburannya.
Begitu banyak orang yang menyalatinya sehingga tidak ada yang bisa menghitung jumlahnya kecuali Allah. Dan di antara kelompok yang menyhalatinya itu adalah khalifah kaum muslimin, Hisyam ibn Abdul Malik.

 

Thinkmii Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez