Rabu, 07 Maret 2012

Sejarah Hidup Muhammad (30)

Diposting oleh Rahmi Andriyani Syam di 06.33
SEJAK terjadinya perang Badr pihak Quraisy sudah tidak  pernah
tenang  lagi.  Juga  penstiwa  Sawiq  tidak membawa keuntungan
apa-apa buat  mereka.  Lebih-lebih  karena  kesatuan  Zaid  b.
Haritha  telah  berhasil  mengambil  perdagangan mereka ketika
mereka hendak pergi  ke  Syam  melalui  jalan  Irak.  Hal  ini
mengingatkan mereka pada korban-korban Badr dan menambah besar
keinginan mereka hendak  membalas  dendam.  Bagaimana  Quraisy
akan  dapat  melupakan  peristiwa  itu,  sedang  mereka adalah
bangsawan-bangsawan     dan      pemimpin-pemimpin      Mekah,
pembesar-pembesar  yang  angkuh dan punya kedudukan terhormat?
Bagaimana   mereka   akan    dapat    melupakannya,    padahal
wanita-wanita  Mekah  selalu  ingat  akan  korban-korban  yang
terdiri dari anak,  atau  saudara,  bapak,  suami  atau  teman
sejawat?   Mereka   selalu  berkabung,  selalu  menangisi  dan
meratapi.
 
Demikianlah keadaannya. Orang-orang Quraisy sejak  Abu  Sufyan
b.  Harb  datang  membawa  kafilahnya  dari  Syam,  yang telah
menyebabkan timbulnya perang Badr,  begitu  juga  mereka  yang
selamat  kembali  dan  Badr, telah menghentikan kafilah dagang
itu di Dar'n-Nadwa. Pembesar-pembesar mereka yang terdiri dari
Jubair  b.  Mut'im,  Shafwan  b.  Umayya' 'Ikrima b. Abi Jahl,
Harith b. Hisyam, Huaitib b. Abd'l-'Uzza dan yang lain,  telah
mencapai  kata  sepakat, bahwa kafilah dagang itu akan dijual,
keuntungannya akan  disisihkan  dan  akan  dipakai  menyiapkan
angkatan  perang  guna  memerangi Muhammad, dengan memperbesar
jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah
akan  dikerahkan  dan  supaya  ikut  serta bersama-sama dengan
Quraisy menuntut  balas  terhadap  kaum  Muslimin.  Ikut  pula
dikerahkan di antaranya Abu 'Azza penyair yang telah dimaafkan
oleh Nabi dan antara tawanan perang Badr. Begitu juga  kabilah
Ahabisy2  yang  mau ikut mereka dikerahkan pula. Wanita-wanita
pun mendesak akan ikut pergi berperang.
 
Mereka berunding lagi. Ada yang berpendapat supaya kaum wanita
juga ikut serta.
 
"Biar   mereka   bertugas   merangsang   kemarahan  kamu,  dan
mengingatkan  kamu  kepada  korban-korban  Badr.  Kita  adalah
masyarakat yang sudah bertekad mati, tidak akan pulang sebelum
sempat melihat mangsa kita, atau kita sendiri mati untuk itu."
 
"Saudara-saudara  dari  Quraisy,"   kata   yang   lain   lagi.
"Melepaskan  wanita-wanita  kita  kepada musuh, bukanlah suatu
pendapat  yang  baik.  Apabila  kalian  mengalami   kekalahan,
wanita-wanita kitapun akan tercemar."
 
Sementara mereka sedang dalam perundingan itu tiba-tiba Hindun
bt. 'Utba, isteri Abu  Sufyan  berteriak  kepada  mereka  yang
menentang ikut sertanya kaum wanita itu:
 
"Kamu  yang  selamat  dari  perang  Badr  kamu  kembali kepada
isterimu. Ya. Kita berangkat dan ikut menyaksikan  peperangan.
Jangan   ada   orang   yang   menyuruh  kami  pulang,  seperti
gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badr disuruh kembali
ketika  sudah  sampai  di  Juhfa.3  Kemudian  orang-orang yang
menjadi kesayangan kita waktu itu  terbunuh,  karena  tak  ada
orang yang dapat memberi semangat kepada mereka."

Akhirnya pihak Quraisy berangkat dengan membawa kaum wanitanya
juga, dipimpin oleh Hindun. Dialah  orang  paling  panas  hati
ingin   membalas  dendam,  karena  dalam  peristiwa  Badr  itu
ayahnya, saudaranya dan  orang-orang  yang  dicintainya  telah
mati  terbunuh.  Keberangkatan  Quraisy  dengan tujuan Medinah
yang disiapkan dari Dar'n-Nadwa itu terdiri dan tiga  brigade.
Brigade terbesar dipimpin oleh Talha b. Abi Talha terdiri dari
3000 orang. Kecuali 100 orang saja  dari  Thaqif,4  selebihnya
semua  dari Mekah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta
golongan Ahabisynya. Perlengkapan dan  senjata  tidak  sedikit
yang mereka bawa, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000 unta, di
antaranya 700 orang berbaju besi.
 
Sesudah ada kata sepakat,  sekarang  sudah  siap  mereka  akan
berangkat. Sementara itu 'Abbas b. Abd'l-Muttalib, paman Nabi,
yang juga berada di tengah-tengah mereka,  dengan  teliti  dan
saksama  sekali  memperhatikan  semua  kejadian itu. Disamping
kesayangannya pada agama nenek-moyangnya dan agama golongannya
sendiri,   juga   Abbas  mempunyai  rasa  solider  dan  sangat
mengagumi Muhammad. Masih ingat ia  perlakuannya  yang  begitu
baik  ketika  perang  Badr.  Mungkin  karena  rasa  kagum  dan
solidernya itu yang  membuat  dia  ikut  Muhammad  menyaksikan
Ikrar  'Aqaba dan berbicara kepada Aus dan Khazraj bahwa kalau
mereka  tidak  akan  dapat  mempertahankan  kemenakannya   itu
seperti  mempertahankan  isteri  dan anak-anak mereka sendiri,
biarkan  sajalah  keluarganya  sendiri   yang   melindunginya,
seperti yang sudah-sudah.
 
Hal  inilah yang mendorongnya - tatkala diketahuinya keputusan
Quraisy akan berangkat dengan kekuatan  yang  begitu  besar  -
sampai   ia   menulis  surat  menggambarkan  segala  tindakan,
persiapan dan perlengkapan mereka itu. Surat itu diserahkannya
kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya disampaikan kepada
Nabi. Dan orang inipun sampai di Medinah dalam tiga hari,  dan
surat itupun diserahkan.
 
Dalam  pada itu pasukan Quraisypun sudah pula berangkat sampai
di Abwa'. Ketika melalui makam Aminah bt.  Wahb,  timbul  rasa
panas  hati  beberapa orang yang pendek pikiran. Terpikir oleh
mereka akan membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak
perbuatan  demikian;  supaya  jangan  kelak  menjadi kebiasaan
Arab.
 
"Jangan menyebut-nyebut soal ini,"  kata  mereka.  "Kalau  ini
kita  lakukan, Banu Bakr dan Banu Khuza'a akan membongkar juga
kuburan mayat-mayat kita."
 
Quraisy  meneruskan  perjalanan  sampai  di  'Aqiq,  kemudian;
mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil dari
Medinah.

Orang dari Ghifar yang diutus  oleh  Abbas  b.  Abd'l-Muttalib
membawa   surat   ke   Medinah   itu   telah  sampai.  Setelah
diketahuinya berada di Quba', ia langsung pergi  ke  sana  dan
dijumpainya  Muhammad  di depan pintu mesjid sedang menunggang
keledai
 
Diserahkannya surat itu  kepadanya,  yang  kemudian  dibacakan
oleh  Ubay  b.  Ka'b.  Muhammad  minta  isi  surat  itu supaya
dirahasiakan, dan ia kembali ke Medinah langsung menemui  Sa'd
ibn'l-Rabi'   di   rumahnya.  Diceritakannya  apa  yang  telah
disampaikan 'Abbas kepadanya itu dan  juga  dimintanya  supaya
hal  itu  dirahasiakan.  Akan  tetapi  isteri Sa'd yang sedang
dalam rumah waktu itu mendengar juga  percakapan  mereka,  dan
dengan  demikian  sudah  tentu  tidak  lagi  hal  itu  menjadi
rahasia.
 
Dua orang anak-anak  Fudzala,  yaitu  Anas  dan  Mu'nis,  oleh
Muhammad   ditugaskan  menyelidiki  keadaan  Quraisy.  Menurut
pengamatan mereka kemudian ternyata  Quraisy  sudah  mendekati
Medinah.  Kuda  dan  unta  mereka  dilepaskan di padang rumput
sekeliling Medinah. Di samping dua orang itu kemudian Muhammad
mengutus lagi Hubab ibn'l-Mundhir bin'l-Jamuh. Setelah keadaan
mereka  itu  disampaikan  kepadanya  seperti  dikabarkan  oleh
'Abbas,  Nabi  s.a.w.  jadi  terkejut  sekali. Ketika kemudian
Salama b. Salama keluar, ia melihat barisan depan pasukan kuda
Quraisy  sudah mendekati Medinah, bahkan sudah hampir memasuki
kota.  Ia  segera  kembali  dan  apa   yang   dilihatnya   itu
disampaikannya kepada masyarakatnya. Sudah tentu pihak Aus dan
Khazraj, begitu juga  semua  penduduk  Medinah  merasa  kuatir
sekali  akan  akibat  serbuan  ini, yang dalam sejarah perang,
Quraisy  belum  pernah  mengadakan   persiapan   sebaik   itu.
Pemuka-pemuka   Muslimin   dari  penduduk  Medinah  malam  itu
berjaga-jaga dengan senjata di mesjid guna menjaga keselamatan
Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga ketat.

Keesokan  harinya orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin
dan mereka yang pura-pura Islam  -  atau  orang-orang  munafik
seperti  disebutkan waktu itu dan seperti dilukiskan pula oleh
Qur'an - oleh Nabi diminta berkumpul;  lalu  mereka  sama-sama
bermusyawarah,  bagaimana  seharusnya  menghadapi  musuh  Nabi
'alaihi's-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan
membiarkan  Quraisy  di  luar  kota.  Apabila  mereka  mencoba
menyerbu masuk kota maka penduduk kota ini  akan  lebih  mampu
menangkis  dan  mengalahkan  mereka. Abdullah b. Ubay b. Salul
mendukung pendapat Nabi itu dengan mengatakan:
 
"Rasulullah, biasanya  kami  bertempur  di  tempat  ini,  kaum
wanita  dan  anak-anak  sebagai  benteng  kami lengkapi dengan
batu. Kota kami sudah terjalin  dengan  bangunan  sehingga  ia
merupakan  benteng  dari  segenap penjuru. Apabila musuh sudah
muncul, maka  wanita-wanita  dan  anak-anak  melempari  mereka
dengan  batu.  Kami  sendiri  menghadapi mereka di jalan-jalan
dengan pedang. Rasulullah, kota kami ini masih perawan,  belum
pernah  diterobos  orang.  Setiap  ada  musuh menyerbu kami ke
dalam kota ini kami selalu dapat menguasainya, dan setiap kami
menyerbu   musuh  keluar,  maka  selalu  kami  yang  dikuasai.
Biarkanlah mereka itu. Rasulullah. Ikutlah pendapat saya dalam
hal   ini.   Saya   mewarisi   pendapat   demikian   ini  dari
pemuka-pemuka dan ahli-ahli pikir golongan kami."
 
Apa yang dikatakan oleh Abdullah b. Ubayy itu adalah merupakan
pendapat  terbesar sahabat-sahabat Rasulullah - baik Muhajirin
ataupun Anshar,  mereka  sependapat  dengan  Rasul  a.s.  Akan
tetapi  pemuda-pemuda  yang  bersemangat  yang belum mengalami
perang Badr - juga orang-orang  yang  sudah  pernah  ikut  dan
mendapat  kemenangan  disertai hati yang penuh iman, bahwa tak
ada sesuatu kekuatan yang dapat  mengalahkan  mereka  -  lebih
suka  berangkat  keluar  menghadapi  musuh  di  tempat  mereka
berada. Mereka kuatir  akan  disangka  segan  keluar  dan  mau
bertahan  di Medinah karena takut menghadapi musuh. Seterusnya
apabila mereka ini di pinggiran dan di dekat kota  akan  lebih
kuat  dari  musuh.  Ketika  dulu mereka di Badr penduduk tidak
mengenal mereka samasekali.
 
Salah seorang diantara mereka ada yang berkata:
 
"Saya tidak  ingin  melihat  Quraisy  kembali  ketengah-tengah
golongannya  lalu mengatakan: Kami telah mengepung Muhammad di
dalam benteng dan kubu-kubu Yathrib. Ini akan membuat  Quraisy
lebih  berani. Mereka sekarang sudah menginjak-injak daun palm
kita. Kalau tidak kita usir mereka dari kebun kita, kebun kita
tidak akan dapat ditanami lagi. Orang-orang Quraisy yang sudah
tinggal selama setahun dapat mengumpulkan orang, dapat menarik
orang-orang  Arab,  dari  badwinya  sampai  kepada Ahabisynya.
Kemudian, dengan membawa kuda  dan  mengendarai  unta,  mereka
kini  telah sampai ke halaman kita. Mereka akan mengurung kita
di dalam rumah kita sendiri?  Didalam  benteng  kita  sendiri?
Lalu  mereka  pulang  kembali  dengan kekayaan tanpa mengalami
luka samasekali. Kalau kita turuti, mereka akan lebih  berani.
Mereka akan menyerang kita dan menaklukkan daerah-daerah kita.
Kota kita akan  berada  dibawah  pengawasan  mereka.  Kemudian
jalan kitapun akan mereka potong."
 
Selanjutnya penganjur-penganjur yang menghendaki supaya keluar
menyongsong    musuh     masing-masing     telah     berbicara
berturut-turut.  Mereka  semua  mengatakan,  bahwa  bila Tuhan
memberikan kemenangan kepada mereka  atas  musuh  itu,  itulah
yang  mereka  harapkan,  dan  itu  pula  kebenaran  yang telah
dijanjikan Tuhan kepada RasulNya.  Kalaupun  mereka  mengalami
kekalahan dan mati syahid pula, mereka akan mendapat surga.
 
Kata-kata  yang menanamkan semangat keberanian dan mati syahid
ini, sangat menggetarkan hati  mereka.  Jiwa  mereka  tergugah
semua  untuk  sama-sama  menempuh  arus  ini,  untuk berbicara
dengan nada yang sama. Waktu itu, bagi orang-orang  yang  kini
sedang  berhadap-hadapan  dengan  Muhammad,  orang-orang  yang
hatinya sudah penuh dengan iman  kepada  Allah  dan  RasulNya,
kepada Qur'an dan Hari Kemudian, yang tampak di hadapan mereka
hanyalah  wajah  kemenangan  terhadap   musuh   agresor   itu.
Pedang-pedang  mereka  akan  mencerai-beraikan musuh itu, akan
membuat mereka. centang-perenang,  dan  rampasan  perang  akan
mereka  kuasai. Lukisan surga adalah bagi mereka yang terbunuh
di jalan agama.  Di  tempat  itu  akan  terdapat  segala  yang
menyenangkan  hati  dan mata, akan bertemu dengan kekasih yang
juga sudah turut berperang dan mati syahid.
 
"Ucapan yang sia-sia tidak mereka dengar di tempat  itu,  juga
tidak yang akan membawa dosa. Yang ada hanyalah ucapan "Damai!
Damai!" (Qur'an, 56: 25-26)
 
"Mudah-mudahan Tuhan memberikan kemenangan kepada  kita,  atau
sebaliknya  kita  mati  syahid,"  kata  Khaithama  Abu Sa'd b.
Khaithama. "Dalam perang Badr saya telah meleset. Saya  sangat
mendambakannya sekali, sehingga begitu besarnya kedambaan saya
sampai  saya  bersama  anak  saya  turut  ambil  bagian  dalam
pertempuran  itu.  Tapi  kiranya  dia yang beruntung; ia telah
gugur, mati syahid. Semalam saya bermimpi bertemu dengan  anak
saya,  dan  dia  berkata:  Susullah  kami,  kita bertemu dalam
surga. Sudah saya terima  apa  yang  dijanjikan  Tuhan  kepada
saya.  Ya Rasulullah, sungguh rindu saya akan menemuinya dalam
surga. Saya sudah tua, tulang sudah rapuh. Saya ingin  bertemu
Tuhan."

Setelah  jelas  sekali suara terbanyak ada pada pihak yang mau
menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Muhammad  berkata
kepada mereka:
 
"Saya kuatir kamu akan kalah."
 
Tetapi  mereka  ingin berangkat juga. Tak ada jalan lain iapun
menyerah kepada pendapat mereka.  Cara  musyawarah  ini  sudah
menjadi   undang-undang   dalam  kehidupannya.  Dalam  sesuatu
masalah ia tidak mau bertindak  sendiri,  kecuali  yang  sudah
diwahyukan Tuhan kepadanya.
 
Hari  itu  hari  Jum'at.  Nabi memimpin sembahyang jamaah, dan
kepada mereka diberitahukan, bahwa atas ketabahan hati  mereka
itu,  mereka  akan  beroleh kemenangan. Lalu dimintanya mereka
bersiap-siap menghadapi musuh.
 
Selesai  sembahyang  Asar  Muhammad  masuk  kedalam   rumahnya
diikuti  oleh  Abu  Bakr  dan Umar. Kedua orang ini memakaikan
sorban dan baju besinya  dan  ia  mengenakan  pula  pedangnya.
Sementara  ia tak ada di tempat itu orang di luar sedang ramai
bertukar pikiran. Usaid  b.  Hudzair  dan  Sa'd  b.  Mu'adh  -
keduanya  termasuk  orang  yang berpendapat mau bertahan dalam
kota berkata kepada  mereka  yang  berpendapat  mau  menyerang
musuh di luar:
 
"Tuan-tuan  mengetahui,  Rasulullah  berpendapat  mau bertahan
dalam  kota,  lalu  tuan-tuan  berpendapat  lain   lagi,   dan
memaksanya  bertempur  ke  luar.  Dia  sendiri  enggan berbuat
demikian. Serahkan sajalah soal ini  di  tangannya.  Apa  yang
diperintahkan  kepadamu, jalankanlah. Apabila ada sesuatu yang
disukainya atau ada pendapatnya, taatilah."
 
Mendengar  keterangan  itu  mereka  yang   menyerukan   supaya
menyerang  saja,  jadi  lebih  lunak.  Mereka menganggap telah
menentang Rasul mengenai sesuatu yang mungkin itu datang  dari
Tuhan.  Setelah  kemudian Nabi datang kembali ke tengah-tengah
mereka, dengan memakai baju besi  dan  sudah  pula  mengenakan
pedangnya,  mereka  yang tadinya menghendaki supaya mengadakan
serangan berkata:
 
"Rasulullah,  bukan  maksud  kami   hendak   menentang   tuan.
Lakukanlah  apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud
memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan."
 
"Kedalam pembicaraan yang semacam inilah saya  ajak  tuan-tuan
tapi  tuan-tuan  menolak,"  kata  Muhammad. "Tidak layak bagi
seorang nabi yang apabila  sudah  mengenakan  pakaian  besinya
lalu  akan  menanggalkannya  kembali, sebelum Tuhan memberikan
putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang
saya   perintahkan  kepada  kamu  sekalian,  dan  ikuti.  Atas
ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu."
 
Demikianlah  prinsip  musyawarah  itu  oleh   Muhammad   sudah
dijadikan  undang-undang  dalam  kehidupannya. Apabila sesuatu
masalah yang dibahas telah diterima  dengan  suara  terbanyak,
maka  hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau
karena  ada  maksud-maksud  tertentu.  Sebaliknya   ia   harus
dilaksanakan,  tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula
dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran
yang yang akan mencapai sukses.

Sekarang  Muhammad  berangkat  memimpin  kaum  Muslimin menuju
Uhud. Di Syaikhan5 ia berhenti. Dilihatnya di tempat  itu  ada
sepasukan  tentara  yang  identitasnya  belum  dikenal. Ketika
ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan,  bahwa  mereka  itu
orang-orang  Yahudi  sekutu  Abdullah b. Ubayy. Lalu kata Nabi
'alaihi'ssalam: "Jangan minta pertolongan orang-orang  musyrik
dalam melawan orang musyrik, - sebelum mereka masuk Islam."
 
                                    
 
---------------------------------------------
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Rabu, 07 Maret 2012

Sejarah Hidup Muhammad (30)

SEJAK terjadinya perang Badr pihak Quraisy sudah tidak  pernah
tenang  lagi.  Juga  penstiwa  Sawiq  tidak membawa keuntungan
apa-apa buat  mereka.  Lebih-lebih  karena  kesatuan  Zaid  b.
Haritha  telah  berhasil  mengambil  perdagangan mereka ketika
mereka hendak pergi  ke  Syam  melalui  jalan  Irak.  Hal  ini
mengingatkan mereka pada korban-korban Badr dan menambah besar
keinginan mereka hendak  membalas  dendam.  Bagaimana  Quraisy
akan  dapat  melupakan  peristiwa  itu,  sedang  mereka adalah
bangsawan-bangsawan     dan      pemimpin-pemimpin      Mekah,
pembesar-pembesar  yang  angkuh dan punya kedudukan terhormat?
Bagaimana   mereka   akan    dapat    melupakannya,    padahal
wanita-wanita  Mekah  selalu  ingat  akan  korban-korban  yang
terdiri dari anak,  atau  saudara,  bapak,  suami  atau  teman
sejawat?   Mereka   selalu  berkabung,  selalu  menangisi  dan
meratapi.
 
Demikianlah keadaannya. Orang-orang Quraisy sejak  Abu  Sufyan
b.  Harb  datang  membawa  kafilahnya  dari  Syam,  yang telah
menyebabkan timbulnya perang Badr,  begitu  juga  mereka  yang
selamat  kembali  dan  Badr, telah menghentikan kafilah dagang
itu di Dar'n-Nadwa. Pembesar-pembesar mereka yang terdiri dari
Jubair  b.  Mut'im,  Shafwan  b.  Umayya' 'Ikrima b. Abi Jahl,
Harith b. Hisyam, Huaitib b. Abd'l-'Uzza dan yang lain,  telah
mencapai  kata  sepakat, bahwa kafilah dagang itu akan dijual,
keuntungannya akan  disisihkan  dan  akan  dipakai  menyiapkan
angkatan  perang  guna  memerangi Muhammad, dengan memperbesar
jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah
akan  dikerahkan  dan  supaya  ikut  serta bersama-sama dengan
Quraisy menuntut  balas  terhadap  kaum  Muslimin.  Ikut  pula
dikerahkan di antaranya Abu 'Azza penyair yang telah dimaafkan
oleh Nabi dan antara tawanan perang Badr. Begitu juga  kabilah
Ahabisy2  yang  mau ikut mereka dikerahkan pula. Wanita-wanita
pun mendesak akan ikut pergi berperang.
 
Mereka berunding lagi. Ada yang berpendapat supaya kaum wanita
juga ikut serta.
 
"Biar   mereka   bertugas   merangsang   kemarahan  kamu,  dan
mengingatkan  kamu  kepada  korban-korban  Badr.  Kita  adalah
masyarakat yang sudah bertekad mati, tidak akan pulang sebelum
sempat melihat mangsa kita, atau kita sendiri mati untuk itu."
 
"Saudara-saudara  dari  Quraisy,"   kata   yang   lain   lagi.
"Melepaskan  wanita-wanita  kita  kepada musuh, bukanlah suatu
pendapat  yang  baik.  Apabila  kalian  mengalami   kekalahan,
wanita-wanita kitapun akan tercemar."
 
Sementara mereka sedang dalam perundingan itu tiba-tiba Hindun
bt. 'Utba, isteri Abu  Sufyan  berteriak  kepada  mereka  yang
menentang ikut sertanya kaum wanita itu:
 
"Kamu  yang  selamat  dari  perang  Badr  kamu  kembali kepada
isterimu. Ya. Kita berangkat dan ikut menyaksikan  peperangan.
Jangan   ada   orang   yang   menyuruh  kami  pulang,  seperti
gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badr disuruh kembali
ketika  sudah  sampai  di  Juhfa.3  Kemudian  orang-orang yang
menjadi kesayangan kita waktu itu  terbunuh,  karena  tak  ada
orang yang dapat memberi semangat kepada mereka."

Akhirnya pihak Quraisy berangkat dengan membawa kaum wanitanya
juga, dipimpin oleh Hindun. Dialah  orang  paling  panas  hati
ingin   membalas  dendam,  karena  dalam  peristiwa  Badr  itu
ayahnya, saudaranya dan  orang-orang  yang  dicintainya  telah
mati  terbunuh.  Keberangkatan  Quraisy  dengan tujuan Medinah
yang disiapkan dari Dar'n-Nadwa itu terdiri dan tiga  brigade.
Brigade terbesar dipimpin oleh Talha b. Abi Talha terdiri dari
3000 orang. Kecuali 100 orang saja  dari  Thaqif,4  selebihnya
semua  dari Mekah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta
golongan Ahabisynya. Perlengkapan dan  senjata  tidak  sedikit
yang mereka bawa, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000 unta, di
antaranya 700 orang berbaju besi.
 
Sesudah ada kata sepakat,  sekarang  sudah  siap  mereka  akan
berangkat. Sementara itu 'Abbas b. Abd'l-Muttalib, paman Nabi,
yang juga berada di tengah-tengah mereka,  dengan  teliti  dan
saksama  sekali  memperhatikan  semua  kejadian itu. Disamping
kesayangannya pada agama nenek-moyangnya dan agama golongannya
sendiri,   juga   Abbas  mempunyai  rasa  solider  dan  sangat
mengagumi Muhammad. Masih ingat ia  perlakuannya  yang  begitu
baik  ketika  perang  Badr.  Mungkin  karena  rasa  kagum  dan
solidernya itu yang  membuat  dia  ikut  Muhammad  menyaksikan
Ikrar  'Aqaba dan berbicara kepada Aus dan Khazraj bahwa kalau
mereka  tidak  akan  dapat  mempertahankan  kemenakannya   itu
seperti  mempertahankan  isteri  dan anak-anak mereka sendiri,
biarkan  sajalah  keluarganya  sendiri   yang   melindunginya,
seperti yang sudah-sudah.
 
Hal  inilah yang mendorongnya - tatkala diketahuinya keputusan
Quraisy akan berangkat dengan kekuatan  yang  begitu  besar  -
sampai   ia   menulis  surat  menggambarkan  segala  tindakan,
persiapan dan perlengkapan mereka itu. Surat itu diserahkannya
kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya disampaikan kepada
Nabi. Dan orang inipun sampai di Medinah dalam tiga hari,  dan
surat itupun diserahkan.
 
Dalam  pada itu pasukan Quraisypun sudah pula berangkat sampai
di Abwa'. Ketika melalui makam Aminah bt.  Wahb,  timbul  rasa
panas  hati  beberapa orang yang pendek pikiran. Terpikir oleh
mereka akan membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak
perbuatan  demikian;  supaya  jangan  kelak  menjadi kebiasaan
Arab.
 
"Jangan menyebut-nyebut soal ini,"  kata  mereka.  "Kalau  ini
kita  lakukan, Banu Bakr dan Banu Khuza'a akan membongkar juga
kuburan mayat-mayat kita."
 
Quraisy  meneruskan  perjalanan  sampai  di  'Aqiq,  kemudian;
mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil dari
Medinah.

Orang dari Ghifar yang diutus  oleh  Abbas  b.  Abd'l-Muttalib
membawa   surat   ke   Medinah   itu   telah  sampai.  Setelah
diketahuinya berada di Quba', ia langsung pergi  ke  sana  dan
dijumpainya  Muhammad  di depan pintu mesjid sedang menunggang
keledai
 
Diserahkannya surat itu  kepadanya,  yang  kemudian  dibacakan
oleh  Ubay  b.  Ka'b.  Muhammad  minta  isi  surat  itu supaya
dirahasiakan, dan ia kembali ke Medinah langsung menemui  Sa'd
ibn'l-Rabi'   di   rumahnya.  Diceritakannya  apa  yang  telah
disampaikan 'Abbas kepadanya itu dan  juga  dimintanya  supaya
hal  itu  dirahasiakan.  Akan  tetapi  isteri Sa'd yang sedang
dalam rumah waktu itu mendengar juga  percakapan  mereka,  dan
dengan  demikian  sudah  tentu  tidak  lagi  hal  itu  menjadi
rahasia.
 
Dua orang anak-anak  Fudzala,  yaitu  Anas  dan  Mu'nis,  oleh
Muhammad   ditugaskan  menyelidiki  keadaan  Quraisy.  Menurut
pengamatan mereka kemudian ternyata  Quraisy  sudah  mendekati
Medinah.  Kuda  dan  unta  mereka  dilepaskan di padang rumput
sekeliling Medinah. Di samping dua orang itu kemudian Muhammad
mengutus lagi Hubab ibn'l-Mundhir bin'l-Jamuh. Setelah keadaan
mereka  itu  disampaikan  kepadanya  seperti  dikabarkan  oleh
'Abbas,  Nabi  s.a.w.  jadi  terkejut  sekali. Ketika kemudian
Salama b. Salama keluar, ia melihat barisan depan pasukan kuda
Quraisy  sudah mendekati Medinah, bahkan sudah hampir memasuki
kota.  Ia  segera  kembali  dan  apa   yang   dilihatnya   itu
disampaikannya kepada masyarakatnya. Sudah tentu pihak Aus dan
Khazraj, begitu juga  semua  penduduk  Medinah  merasa  kuatir
sekali  akan  akibat  serbuan  ini, yang dalam sejarah perang,
Quraisy  belum  pernah  mengadakan   persiapan   sebaik   itu.
Pemuka-pemuka   Muslimin   dari  penduduk  Medinah  malam  itu
berjaga-jaga dengan senjata di mesjid guna menjaga keselamatan
Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga ketat.

Keesokan  harinya orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin
dan mereka yang pura-pura Islam  -  atau  orang-orang  munafik
seperti  disebutkan waktu itu dan seperti dilukiskan pula oleh
Qur'an - oleh Nabi diminta berkumpul;  lalu  mereka  sama-sama
bermusyawarah,  bagaimana  seharusnya  menghadapi  musuh  Nabi
'alaihi's-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan
membiarkan  Quraisy  di  luar  kota.  Apabila  mereka  mencoba
menyerbu masuk kota maka penduduk kota ini  akan  lebih  mampu
menangkis  dan  mengalahkan  mereka. Abdullah b. Ubay b. Salul
mendukung pendapat Nabi itu dengan mengatakan:
 
"Rasulullah, biasanya  kami  bertempur  di  tempat  ini,  kaum
wanita  dan  anak-anak  sebagai  benteng  kami lengkapi dengan
batu. Kota kami sudah terjalin  dengan  bangunan  sehingga  ia
merupakan  benteng  dari  segenap penjuru. Apabila musuh sudah
muncul, maka  wanita-wanita  dan  anak-anak  melempari  mereka
dengan  batu.  Kami  sendiri  menghadapi mereka di jalan-jalan
dengan pedang. Rasulullah, kota kami ini masih perawan,  belum
pernah  diterobos  orang.  Setiap  ada  musuh menyerbu kami ke
dalam kota ini kami selalu dapat menguasainya, dan setiap kami
menyerbu   musuh  keluar,  maka  selalu  kami  yang  dikuasai.
Biarkanlah mereka itu. Rasulullah. Ikutlah pendapat saya dalam
hal   ini.   Saya   mewarisi   pendapat   demikian   ini  dari
pemuka-pemuka dan ahli-ahli pikir golongan kami."
 
Apa yang dikatakan oleh Abdullah b. Ubayy itu adalah merupakan
pendapat  terbesar sahabat-sahabat Rasulullah - baik Muhajirin
ataupun Anshar,  mereka  sependapat  dengan  Rasul  a.s.  Akan
tetapi  pemuda-pemuda  yang  bersemangat  yang belum mengalami
perang Badr - juga orang-orang  yang  sudah  pernah  ikut  dan
mendapat  kemenangan  disertai hati yang penuh iman, bahwa tak
ada sesuatu kekuatan yang dapat  mengalahkan  mereka  -  lebih
suka  berangkat  keluar  menghadapi  musuh  di  tempat  mereka
berada. Mereka kuatir  akan  disangka  segan  keluar  dan  mau
bertahan  di Medinah karena takut menghadapi musuh. Seterusnya
apabila mereka ini di pinggiran dan di dekat kota  akan  lebih
kuat  dari  musuh.  Ketika  dulu mereka di Badr penduduk tidak
mengenal mereka samasekali.
 
Salah seorang diantara mereka ada yang berkata:
 
"Saya tidak  ingin  melihat  Quraisy  kembali  ketengah-tengah
golongannya  lalu mengatakan: Kami telah mengepung Muhammad di
dalam benteng dan kubu-kubu Yathrib. Ini akan membuat  Quraisy
lebih  berani. Mereka sekarang sudah menginjak-injak daun palm
kita. Kalau tidak kita usir mereka dari kebun kita, kebun kita
tidak akan dapat ditanami lagi. Orang-orang Quraisy yang sudah
tinggal selama setahun dapat mengumpulkan orang, dapat menarik
orang-orang  Arab,  dari  badwinya  sampai  kepada Ahabisynya.
Kemudian, dengan membawa kuda  dan  mengendarai  unta,  mereka
kini  telah sampai ke halaman kita. Mereka akan mengurung kita
di dalam rumah kita sendiri?  Didalam  benteng  kita  sendiri?
Lalu  mereka  pulang  kembali  dengan kekayaan tanpa mengalami
luka samasekali. Kalau kita turuti, mereka akan lebih  berani.
Mereka akan menyerang kita dan menaklukkan daerah-daerah kita.
Kota kita akan  berada  dibawah  pengawasan  mereka.  Kemudian
jalan kitapun akan mereka potong."
 
Selanjutnya penganjur-penganjur yang menghendaki supaya keluar
menyongsong    musuh     masing-masing     telah     berbicara
berturut-turut.  Mereka  semua  mengatakan,  bahwa  bila Tuhan
memberikan kemenangan kepada mereka  atas  musuh  itu,  itulah
yang  mereka  harapkan,  dan  itu  pula  kebenaran  yang telah
dijanjikan Tuhan kepada RasulNya.  Kalaupun  mereka  mengalami
kekalahan dan mati syahid pula, mereka akan mendapat surga.
 
Kata-kata  yang menanamkan semangat keberanian dan mati syahid
ini, sangat menggetarkan hati  mereka.  Jiwa  mereka  tergugah
semua  untuk  sama-sama  menempuh  arus  ini,  untuk berbicara
dengan nada yang sama. Waktu itu, bagi orang-orang  yang  kini
sedang  berhadap-hadapan  dengan  Muhammad,  orang-orang  yang
hatinya sudah penuh dengan iman  kepada  Allah  dan  RasulNya,
kepada Qur'an dan Hari Kemudian, yang tampak di hadapan mereka
hanyalah  wajah  kemenangan  terhadap   musuh   agresor   itu.
Pedang-pedang  mereka  akan  mencerai-beraikan musuh itu, akan
membuat mereka. centang-perenang,  dan  rampasan  perang  akan
mereka  kuasai. Lukisan surga adalah bagi mereka yang terbunuh
di jalan agama.  Di  tempat  itu  akan  terdapat  segala  yang
menyenangkan  hati  dan mata, akan bertemu dengan kekasih yang
juga sudah turut berperang dan mati syahid.
 
"Ucapan yang sia-sia tidak mereka dengar di tempat  itu,  juga
tidak yang akan membawa dosa. Yang ada hanyalah ucapan "Damai!
Damai!" (Qur'an, 56: 25-26)
 
"Mudah-mudahan Tuhan memberikan kemenangan kepada  kita,  atau
sebaliknya  kita  mati  syahid,"  kata  Khaithama  Abu Sa'd b.
Khaithama. "Dalam perang Badr saya telah meleset. Saya  sangat
mendambakannya sekali, sehingga begitu besarnya kedambaan saya
sampai  saya  bersama  anak  saya  turut  ambil  bagian  dalam
pertempuran  itu.  Tapi  kiranya  dia yang beruntung; ia telah
gugur, mati syahid. Semalam saya bermimpi bertemu dengan  anak
saya,  dan  dia  berkata:  Susullah  kami,  kita bertemu dalam
surga. Sudah saya terima  apa  yang  dijanjikan  Tuhan  kepada
saya.  Ya Rasulullah, sungguh rindu saya akan menemuinya dalam
surga. Saya sudah tua, tulang sudah rapuh. Saya ingin  bertemu
Tuhan."

Setelah  jelas  sekali suara terbanyak ada pada pihak yang mau
menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Muhammad  berkata
kepada mereka:
 
"Saya kuatir kamu akan kalah."
 
Tetapi  mereka  ingin berangkat juga. Tak ada jalan lain iapun
menyerah kepada pendapat mereka.  Cara  musyawarah  ini  sudah
menjadi   undang-undang   dalam  kehidupannya.  Dalam  sesuatu
masalah ia tidak mau bertindak  sendiri,  kecuali  yang  sudah
diwahyukan Tuhan kepadanya.
 
Hari  itu  hari  Jum'at.  Nabi memimpin sembahyang jamaah, dan
kepada mereka diberitahukan, bahwa atas ketabahan hati  mereka
itu,  mereka  akan  beroleh kemenangan. Lalu dimintanya mereka
bersiap-siap menghadapi musuh.
 
Selesai  sembahyang  Asar  Muhammad  masuk  kedalam   rumahnya
diikuti  oleh  Abu  Bakr  dan Umar. Kedua orang ini memakaikan
sorban dan baju besinya  dan  ia  mengenakan  pula  pedangnya.
Sementara  ia tak ada di tempat itu orang di luar sedang ramai
bertukar pikiran. Usaid  b.  Hudzair  dan  Sa'd  b.  Mu'adh  -
keduanya  termasuk  orang  yang berpendapat mau bertahan dalam
kota berkata kepada  mereka  yang  berpendapat  mau  menyerang
musuh di luar:
 
"Tuan-tuan  mengetahui,  Rasulullah  berpendapat  mau bertahan
dalam  kota,  lalu  tuan-tuan  berpendapat  lain   lagi,   dan
memaksanya  bertempur  ke  luar.  Dia  sendiri  enggan berbuat
demikian. Serahkan sajalah soal ini  di  tangannya.  Apa  yang
diperintahkan  kepadamu, jalankanlah. Apabila ada sesuatu yang
disukainya atau ada pendapatnya, taatilah."
 
Mendengar  keterangan  itu  mereka  yang   menyerukan   supaya
menyerang  saja,  jadi  lebih  lunak.  Mereka menganggap telah
menentang Rasul mengenai sesuatu yang mungkin itu datang  dari
Tuhan.  Setelah  kemudian Nabi datang kembali ke tengah-tengah
mereka, dengan memakai baju besi  dan  sudah  pula  mengenakan
pedangnya,  mereka  yang tadinya menghendaki supaya mengadakan
serangan berkata:
 
"Rasulullah,  bukan  maksud  kami   hendak   menentang   tuan.
Lakukanlah  apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud
memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan."
 
"Kedalam pembicaraan yang semacam inilah saya  ajak  tuan-tuan
tapi  tuan-tuan  menolak,"  kata  Muhammad. "Tidak layak bagi
seorang nabi yang apabila  sudah  mengenakan  pakaian  besinya
lalu  akan  menanggalkannya  kembali, sebelum Tuhan memberikan
putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang
saya   perintahkan  kepada  kamu  sekalian,  dan  ikuti.  Atas
ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu."
 
Demikianlah  prinsip  musyawarah  itu  oleh   Muhammad   sudah
dijadikan  undang-undang  dalam  kehidupannya. Apabila sesuatu
masalah yang dibahas telah diterima  dengan  suara  terbanyak,
maka  hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau
karena  ada  maksud-maksud  tertentu.  Sebaliknya   ia   harus
dilaksanakan,  tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula
dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran
yang yang akan mencapai sukses.

Sekarang  Muhammad  berangkat  memimpin  kaum  Muslimin menuju
Uhud. Di Syaikhan5 ia berhenti. Dilihatnya di tempat  itu  ada
sepasukan  tentara  yang  identitasnya  belum  dikenal. Ketika
ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan,  bahwa  mereka  itu
orang-orang  Yahudi  sekutu  Abdullah b. Ubayy. Lalu kata Nabi
'alaihi'ssalam: "Jangan minta pertolongan orang-orang  musyrik
dalam melawan orang musyrik, - sebelum mereka masuk Islam."
 
                                    
 
---------------------------------------------
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 

Thinkmii Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez