Sabtu, 10 Maret 2012

Sejarah Hidup Muhammad (32)

Diposting oleh Rahmi Andriyani Syam di 06.35
ABU SUFYAN telah kembali dari  Uhud  ke  Mekah.  Berita-berita
kemenangannya  sudah lebih dulu sampai, yang disambut penduduk
dengan rasa gembira, karena  dianggap  sudah  dapat  menghapus
cemar yang dialami Quraisy selama di Badr. Begitu sampai ia ke
Mekah, langsung menuju Ka'bah  sebelum  ia  pulang  ke  rumah.
Kepada  Hubal  dewa  terbesar  ia  menyatakan puji dan syukur.
Dicukurnya lebih dulu rambut yang di bawah telinganya, lalu ia
pulang  ke rumah sebagai orang yang sudah memenuhi janji bahwa
ia  takkan  mendekati  isterinya  sebelum  dapat   mengalahkan
Muhammad.
 
Sebaliknya  kalangan  Muslimin,  mereka  melihat  kota Medinah
sudah  banyak  terasa  aneh  sekali,  meskipun   musuh   tetap
mengejar-ngejar  mereka. Selama tiga hari terus-menerus mereka
tetap  tabah  menghadapi  musuh  yang  masih  tidak  mempunyai
keberanian   menghadapi   mereka  itu.  Padahal  belum  selang
duapuluh empat jam yang lalu musuh telah merasa sebagai  pihak
yang menang.
 
Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah itu sudah terasa banyak
sekali mengalami perubahan,  meskipun  kekuasaan  Muhammad  di
kota  itu tetap di atas. Dalam pada itu Nabi as. merasa, bahwa
keadaan memang sudah sangat genting dan  gawat  sekali,  bukan
hanya  dalam  kota  Medinah  saja, bahkan juga sudah melampaui
sampai kepada kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang  sudah
merasa  ketakutan. Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada
mereka, sehingga terpikir oleh mereka itu hendak  menentangnya
lagi  dan  mengadakan  perlawanan.  Oleh  karena  itu ia ingin
sekali mengikuti berita-berita sekitar  penduduk  Medinah  dan
kalangan  Arab  umumnya,  yang  kiranya  akan memberikan suatu
kemungkinan  menempatkan  kembali  kedudukan,   kekuatan   dan
kewibawaan Muslimin kedalam hati mereka.
 
Berita  pertama  yang sampai kepadanya sesudah peristiwa Uhud,
ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua  bersaudara  -
dan  keduanya  waktu  itu  yang  memimpin  Banu  Asad - sedang
mengerahkan masyarakatnya dan  mereka  yang  mau  mentaatinya,
untuk  menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam
rumahnya  sendiri  dengan  maksud  memperoleh  keuntungan  dan
merampas  ternak  Muslimin  yang  dipelihara  di ladang-ladang
sekeliling kota itu. Yang menyebabkan  mereka  berani  berbuat
begitu ialah karena anggapan bahwa Muhammad dan teman-temannya
masih menderita karena telah mengalami pukulan hebat selama di
Uhud.

Berita  itu  terbetik  juga oleh Nabi. Ia segera memanggil Abu
Salama b. Abd'l-Asad yang lalu diserahi pimpinan pasukan  yang
terdiri  dari  150  orang,  termasuk Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah,
Sa'd b. Abi Waqqash dan Usaid b. Hudzair. Mereka diperintahkan
supaya  berjalan  pada  malam  hari  dan  siangnya bersembunyi
dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui  orang,  supaya
jangan  ada  orang yang mengenal jejak mereka. Dengan demikian
mereka akan dapat menyergap musuh dengan cara  yang  tiba-tiba
sekali. Perintah ini oleh Abu Salama dilaksanakan. Ia berhasil
menyerbu musuh dalam  keadaan  tidak  siap.  Dalam  pagi  buta
mereka  sudah  terkepung.  Dikalahkannya  anak  buahnya  dalam
menghadapi perjuangan itu.  Tetapi  pihak  musyrik  sudah  tak
dapat  bertahan  lagi.  Dua  pasukan  segera  dikirim mengejar
mereka dan merebut rampasan  perang  yang  ada.  Ia  dan  anak
buahnya  menunggu  di  tempat  itu  sambil  menantikan pasukan
pengejar itu kembali membawa rampasan perang.
 
Setelah seperlima rampasan itu dikeluarkan untuk Tuhan,  untuk
Rasul,   orang   miskin   dan  orang  yang  dalam  perjalanan,
selebihnya mereka bagi sesama mereka, lalu mereka  kembali  ke
Medinah  dengan  sudah  membawa  kemenangan.  Kewibawaan  yang
karena peristiwa Uhud itu terasa sudah  agak  berkuramg,  kini
mulai  kembali lagi. Hanya saja Abu Salama sendiri hidup tidak
lama lagi sesudah ekspedisi itu. Ia menderita luka-luka akibat
perang  Uhud  dan  luka-lukanya itu belum sembuh benar kecuali
yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah  ia  bekerja  keras
lukanya  itu  terbuka  dan  kembali  mengucurkan  darah,  yang
diderita terus sampai meninggalnya.

Sesudah itu kemudian sampai pula berita kepada Muhammad  bahwa
Khalid  b.  Sufyan b. Nubaih al-Hudhali yang tinggal di Nakhla
atau  di  'Urana  telah   mengumpulkan   orang   pula   hendak
menyerangnya.  Mendengar ini Muhammad segera mengutus Abdullah
b.  Unais  meneliti  dan  mencek  kebenaran  berita  tersebut.
Abdullah  berjalan  menuju  ke  tempat Khalid, yang ketika itu
dijumpainya  ia  sedang  berada  di   rumah   bersama   dengan
isteri-isterinya.
 
"Siapa kamu," tanya Khalid setelah Abdullah sampai.
 
"Saya  dari  golongan  Arab  juga,"  jawabnya. "Mendengar tuan
mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya  datang
kemari."
 
Khalid  berterus-terang,  bahwa  ia memang sedang mengumpulkan
orang  hendak  menyerang  Medinah.  Setelah  Abdullah  melihat
sekarang  ia  seorang  diri  jauh  dari anak-buahnya - kecuali
isteri-isterinya - dicarinya  jalan  supaya  ia  mau  berjalan
bersama-sama.  Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang
itu dengan pedangnya dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya
dia  di  tangan isteri-isterinya yang berkerumun menangisinya.
Sekembalinya  ke  Medinah  disampaikannya  berita  itu  kepada
Rasul.
 
Setelah  kematian  pemimpinnya itu, Banu Lihyan sebagai cabang
Hudhail  yang  selama  beberapa  waktu   tenang-tenang   saja,
sekarang  mulai  terpikir  akan  mengadakan  pembalasan dengan
suatu tipu-muslihat.
 
Pada  waktu  itulah  kabilah  yang  berdekatan  itu   mengutus
rombongan  kepada Muhammad dengan mengatakan: Di kalangan kami
ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa  orang  sahabat
tuan  bersama  kami,  yang  akan dapat kelak mengajarkan hukum
agama dan Qur'an kepada kami.

Untuk menunaikan tugas agama yang mulia itu, setiap diperlukan
pada    waktu    itu    Muhammad    selalu    siap    mengutus
sahabat-sahabatnya untuk  memberikan  bimbingan  kepada  orang
dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi
pengikut Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya  menghadapi  lawan,
seperti  yang  sudah  kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke
Medinah sesudah Ikrar 'Aqaba kedua. Oleh karena itu enam orang
sahabat besar kemudian diutusnya berangkat bersama-sama dengan
rombongan utusan itu. Tetapi sesampainya  di  suatu  pangkalan
air  kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang
disebut ar-Raji', ternyata  mereka  telah  dikhianati,  dengan
tindakan rombongan itu yang sudah tentu dengan meminta bantuan
Hudhail. Tetapi ini tidak membuat keenam  orang  Muslimin  itu
jadi  gugup  ketakutan,  yang dalam perlengkapannya itu mereka
hanya membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang
hendak  mempertahankan  diri.  Tetapi  pihak  Hudhail  berkata
kepada mereka:
 
"Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kamu. Tapi dengan  kamu
ini kami ingin memperoleh keuntungan dari penduduk Mekah. Kami
berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak  bermaksud  membunuh
kamu."
 
Keenam  orang  Muslim  itu  berpandang-pandangan. Mereka sadar
sudah bahwa dibawanya mereka satu-satu ke  Mekah  itu  berarti
suatu  penghinaan yang sebenarnya lebih jahat dari pembunuhan.
Mereka menolak  janji  Hudhail  itu,  dan  mereka  tetap  akan
mengadakan  perlawanan, meskipun mereka sudah menyadari, bahwa
dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang
dari  mereka  ini  dibunuh  oleh Hudhail, sedang sisanya sudah
makin tak berdaya. Mereka semua ditangkap dan  dibawa  sebagai
tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah b.
Tariq, salah seorang dari ketiga orang  Islam  itu  di  tengah
jalan  berhasil  melepaskan  belenggu  dari  tangannya lalu ia
mencabut pedang. Oleh karena rombongan  yang  lain  berada  di
belakangnya,  dihujaninya  ia  dengan  batu  dan  ia  puntewas
karenanya.
 
Kedua orang tawanan lainnya  sempat  dibawa  oleh  Hudhail  ke
Mekah,  lalu dijual. Zaid bin'd-Dathinna dijual kepada Shafwan
b. Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan
kepada  Nastas,  budaknya  supaya  membunuhnya sebagai balasan
atas kematian ayahnya Umayya b. Khalaf.  Ketika  dibawa,  oleh
Abu Sufyan ia ditanya:
 
 "Zaid,   sangat   kuharapkan   sekali.   Bersediakah   engkau
memberikan tempatmu itu kepada Muhammad?  Dialah  yang  harus
dipenggal   lehernya,   sedang  engkau  dapat  kembali  kepada
keluargamu."
 
"Tidak," jawab Zaid. "Sekiranya Muhammad ditempatnya  sekarang
ini  akan  menderita karena tusukan duri sekalipun, sedang aku
di tempat keluarga, aku tidak sudi."
 
Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya:
 
"Belum  pernah  aku  melihat  seseorang   mencintai   kawannya
demikian   rupa  seperti  sahabat-sahabat  Muhammad  mencintai
Muhammad."
 
Zaid lalu dibunuh oleh  Nastas.  Maka  ia  pun  gugur  sebagai
syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi.

Adapun  Khubaib  waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa
keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka:
 
"Dapatkah kamu membiarkan  aku  sekadar  melakukan  salat  dua
raka'at?"
 
Permintaan  demikian  itu  dikabulkan.  Iapun  sembahyang  dua
raka'at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap mereka
lagi:
 
"Kalau   tidak   karena   kamu  akan  menyangka  saya  sengaja
memperlambat karena takut dibunuh,  niscaya  saya  masih  akan
sembahyang lebih banyak lagi."
 
Setelah   ia  dinaikkan  dan  diikat  di  atas  tonggak  kayu,
dipandangnya mereka itu dengan mata sayu seraya katanya:
 
"Ya Allah, hitungkan bilangan  mereka  itu,  binasakan  mereka
dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan seorangpun dari
mereka itu."
 
Mendengar  suara  yang  keras  itu  mereka   gemetar,   mereka
merebahkan  diri  takut terkena kutukannya. Sesudah itu ia pun
dibunuh. Seperti Zaid yang telah gugur sebagai syahid, Khubaib
juga  kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan untuk
Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang  pula.  Padahal,
sebenarnya   mereka   akan   dapat   menyelamatkan  diri  dari
pembunuhan itu kalau saja mereka mau jadi murtad  meninggalkan
agamanya.  Tetapi  demi  keyakinan mereka kepada Tuhan, kepada
keluhuran rohani dan hari kemudian - tatkala setiap jiwa hanya
akan  mendapat  balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada
orang yang akan memikul beban orang lain - mereka melihat maut
itu  -  sebagai  tujuan hidup - adalah tujuan yang paling baik
dalam hidupnya demi akidah,  demi  iman  dan  demi  kebenaran.
Mereka  pun yakin bahwa darah mereka, yang kini ditumpahkan di
atas  bumi  Mekah,  akan  memanggil  saudara-saudaranya   kaum
Muslimin  supaya  memasuki kota itu sebagai pihak yang menang,
yang akan  menghancurkan  berhala-berhala,  akan  membersihkan
segala  noda  paganisma  dan  kehidupan  syirik.  Dan kesucian
Ka'bah sebagai Baitullah akan  dikembalikan  juga  sebagaimana
mestinya,  bersih  dari  segala  sebutan nama-nama selain asma
Allah.

Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis  tidak  bicara
apa-apa  seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang
dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk  memandang
jijik  perbuatan  khianat yang diiakukan Banu Hudhail terhadap
dua orang yang tidak berdosa  itu,  yang  bukan  ditawan  dari
medan  perang,  tapi  diambil  dengan cara tipu-muslihat, yang
berangkat  karena  perintah   Rasul   dengan   maksud   supaya
mengajarkan  agama kepada orang-orang yang mengkhianati mereka
itu,  orang-orang  yang  menyerahkan  mereka  kepada  Quraisy,
setelah  kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan
licik.  Kaum  Orientalis  tidak  menganggap  jijik   perbuatan
Quraisy  terhadap  dua  orang yang tak bersenjata itu, padahal
apa yang mereka lakukan adalah suatu  perbuatan  pengecut  dan
tindakan  permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya prinsip
kejujuran yang harus menjadi pegangan  kaum  Orientalis,  yang
merasa  tidak  dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin
terhadap dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa  jijik
sekali terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan
dua orang untuk dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya  yang
didatangkan  atas  permintaan  mereka untuk mengajarkan agama,
telah lebih dulu pula mereka bunuh.
 
Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga merasa sedih sekali
atas  malapetaka  yang  telah  menimpa keenam orang yang gugur
sebagai syahid di jalan  Tuhan  karena  pengkhianatan  Hudhail
itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit mengirimkan sajak-sajaknya
sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.
 
Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad  memikirkan  keadaan
umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam itu terulang
lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan mereka.
 
Sementara ia  sedang  berpikir-pikir  demikian  itu  tiba-tiba
datang Abu Bara' 'Amir b. Malik. Muhammad menawarkan kepadanya
supaya ia sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu
juga  ia tidak menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam.
Bahkan katanya: "Muhammad, kalau  ada  sahabat-sahabatmu  yang
dapat diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima ajaranmu
saya harap mereka itu akan menerima."
 
Tetapi    Muhammad    masih     kuatir     akan     melepaskan
sahabat-sahabatnya  itu  ke  Najd dan takut ia penduduk daerah
itu nanti akan mengkhianati mereka  seperti  pernah  dilakukan
Hudhail  terhadap  Khubaib dan kawan-kawan. Ia tidak yakin dan
tidak dapat mengabulkan permintaan Abu Bara'.
 
"Saya menjamin  mereka,"  katanya  lagi.  "Kirimkanlah  utusan
kesana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu."
 
Abu  Bara' adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya
dan  didengar  orang  perkataannya.  Barangsiapa  yang   sudah
diberinya  perlindungan ia tidak kuatir akan mendapat serangan
pihak lain.
 
Dengan demikian Muhammad mengutus al-Mundhir b. 'Amr dari Banu
Sa'ida  dengan  memimpin 40 orang Muslimin pilihan. Mereka pun
berangkat. Sampai di Bi'ir Masuna - antara daerah  Banu  'Amir
dan  Banu  Sulaim - mereka berhenti. Dari sana mereka mengutus
Haram  b.  Milhan  membawa   surat   Muhammad   kepada   'Amir
bin't-Tufail.  Tetapi  oleh  'Amir  surat itu tidak dibacanya,
malah orang yang membawanya dibunuh,  dan  dia  minta  bantuan
Banu  'Amir  supaya  membunuhi  kaum  Muslimin. Tetapi setelah
mereka    menolak    untuk    melakukan    pelanggaran    atas
pertanggung-jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh
Abu  Bara'  'Amir  meminta   bantuan   kabilah-kabilah   lain.
Permintaan  ini oleh mereka dipenuhi dan kemudian bersama-sama
dia mereka  berangkat  dan  mengepung  rombongan  Muslimin  di
tempat  itu.  Melihat  keadaan  ini  pihak Muslimin pun segera
mencabut  pedang.  Mereka  mengadakan  perlawanan  mati-matian
sampai akhirnya mereka terbunuh semua.
 
Hanya  Ka'b  b. Zaid yang masih selamat, yang dibiarkan begitu
saja oleh Ibn't-Tufail. Ternyata ia belum  mati.  Kemudian  ia
pun  pergi  pulang  ke  Madinah. Demikian juga 'Amr b. Umayya,
yang oleh 'Amir bin't-Tufail dimerdekakan karena dikiranya  ia
masih  terikat  dengan  suatu  niat  ibunya.  Dalam perjalanan
pulang di tengah jalan 'Amr  bertemu  dengan  dua  orang  yang
dikiranya  turut  menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua
orang itu sampai tidur lebih dulu,  kemudian  diserangnya  dan
dibunuhnya.  Sesudah  itu  ia  melanjutkan lagi perjalanannya.
Sesampainya  di  Medinah  diberitahukannya  perbuatannya   itu
kepada  Rasul  a.s.  Ternyata kedua orang itu dari Banu 'Amir,
dari golongan Abu Bara'  dan  yang  juga  terikat  oleh  suatu
perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan Rasulullah, dan ini
berarti harus diselesaikan dengan diat.
 
Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu karena pembunuhan di
Bi'ir  Ma'una itu. Sungguh berat hatinya menahan dukacita atas
sahabat-sahabatnya itu. Ia berkata: "Ini adalah perbuatan  Abu
Bara'. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali."
 
Abu Bara' juga merasa sangat terpukul karena pelanggaran 'Amir
bin't-Tufail atas dirinya itu. Karena itu, Rabi'a anaknya lalu
bertindak  menghantam 'Amir dengan tombak sebagai balasan atas
perbuatannya terhadap ayahnya. Begitu dalamnya  rasa  dukacita
Muhammad  sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia
berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang
telah  membunuh  sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga seluruh
umat Muslimin turut merasa pilu karena malapetaka  yang  telah
menimpa  saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan
penuh iman bahwa  mereka  semua  gugur  sebagai  syuhada,  dan
mereka semua akan mendapat surga.

Malapetaka  yang  telah  menimpa kaum Muslimin di Raji' dan di
Bi'ir Ma'una mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan
kemenangan  Quraisy  di  Uhud,  dan  membuat  mereka lupa akan
kemenangan Muslimin atas Banu Asad, juga mengurangi  pandangan
mereka  terhadap  kewibawaan  Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi  a.s.  berpikir  dengan
suatu  pemikiran  politik  yang  cermat sekali serta pandangan
yang jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar mengancam  kaum
Muslimin  ialah  sikap  penduduk  Medinah  yang  kiranya  akan
merendahkan  kewibawaan  mereka.  Begitu  juga   yang   sangat
diharapkan   oleh  kabilah-kabilah  Arab,  mereka  akan  dapat
menanamkan  perpecahan  didalam,  yang  berarti   akan   dapat
menimbulkan  perang  saudara jika nanti ada saja tetangga yang
menyerbu Medinah. Disamping itu pihak Yahudi  dan  orang-orang
munafik seolah-olah memang sedang menantikan bencana yang akan
menimpa itu. Karena itu dilihatnya tak  ada  jalan  lain  yang
lebih  baik  daripada  membiarkan  mereka,  supaya  nanti niat
mereka terbongkar.
 
Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu  sekutu  Banu  'Amir,  maka
Nabi berangkat  sendiri  ke  tempat  mereka -  yang tidak jauh
dari Quba'[  -    dengan  membawa   sepuluh   orang   Muslimin
terkemuka,  diantaranya  Abu  Bakr,  Umar  dan  Ali.  Ia minta
bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang  yang  telah
dibunuh  tidak  sengaja  oleh  'Amr  b.  Umayya  itu dan tidak
diketahuinya pula bahwa  Nabi  telah  memberikan  perlindungan
kepada mereka.
---------------------------------------------
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Sabtu, 10 Maret 2012

Sejarah Hidup Muhammad (32)

ABU SUFYAN telah kembali dari  Uhud  ke  Mekah.  Berita-berita
kemenangannya  sudah lebih dulu sampai, yang disambut penduduk
dengan rasa gembira, karena  dianggap  sudah  dapat  menghapus
cemar yang dialami Quraisy selama di Badr. Begitu sampai ia ke
Mekah, langsung menuju Ka'bah  sebelum  ia  pulang  ke  rumah.
Kepada  Hubal  dewa  terbesar  ia  menyatakan puji dan syukur.
Dicukurnya lebih dulu rambut yang di bawah telinganya, lalu ia
pulang  ke rumah sebagai orang yang sudah memenuhi janji bahwa
ia  takkan  mendekati  isterinya  sebelum  dapat   mengalahkan
Muhammad.
 
Sebaliknya  kalangan  Muslimin,  mereka  melihat  kota Medinah
sudah  banyak  terasa  aneh  sekali,  meskipun   musuh   tetap
mengejar-ngejar  mereka. Selama tiga hari terus-menerus mereka
tetap  tabah  menghadapi  musuh  yang  masih  tidak  mempunyai
keberanian   menghadapi   mereka  itu.  Padahal  belum  selang
duapuluh empat jam yang lalu musuh telah merasa sebagai  pihak
yang menang.
 
Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah itu sudah terasa banyak
sekali mengalami perubahan,  meskipun  kekuasaan  Muhammad  di
kota  itu tetap di atas. Dalam pada itu Nabi as. merasa, bahwa
keadaan memang sudah sangat genting dan  gawat  sekali,  bukan
hanya  dalam  kota  Medinah  saja, bahkan juga sudah melampaui
sampai kepada kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang  sudah
merasa  ketakutan. Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada
mereka, sehingga terpikir oleh mereka itu hendak  menentangnya
lagi  dan  mengadakan  perlawanan.  Oleh  karena  itu ia ingin
sekali mengikuti berita-berita sekitar  penduduk  Medinah  dan
kalangan  Arab  umumnya,  yang  kiranya  akan memberikan suatu
kemungkinan  menempatkan  kembali  kedudukan,   kekuatan   dan
kewibawaan Muslimin kedalam hati mereka.
 
Berita  pertama  yang sampai kepadanya sesudah peristiwa Uhud,
ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua  bersaudara  -
dan  keduanya  waktu  itu  yang  memimpin  Banu  Asad - sedang
mengerahkan masyarakatnya dan  mereka  yang  mau  mentaatinya,
untuk  menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam
rumahnya  sendiri  dengan  maksud  memperoleh  keuntungan  dan
merampas  ternak  Muslimin  yang  dipelihara  di ladang-ladang
sekeliling kota itu. Yang menyebabkan  mereka  berani  berbuat
begitu ialah karena anggapan bahwa Muhammad dan teman-temannya
masih menderita karena telah mengalami pukulan hebat selama di
Uhud.

Berita  itu  terbetik  juga oleh Nabi. Ia segera memanggil Abu
Salama b. Abd'l-Asad yang lalu diserahi pimpinan pasukan  yang
terdiri  dari  150  orang,  termasuk Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah,
Sa'd b. Abi Waqqash dan Usaid b. Hudzair. Mereka diperintahkan
supaya  berjalan  pada  malam  hari  dan  siangnya bersembunyi
dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui  orang,  supaya
jangan  ada  orang yang mengenal jejak mereka. Dengan demikian
mereka akan dapat menyergap musuh dengan cara  yang  tiba-tiba
sekali. Perintah ini oleh Abu Salama dilaksanakan. Ia berhasil
menyerbu musuh dalam  keadaan  tidak  siap.  Dalam  pagi  buta
mereka  sudah  terkepung.  Dikalahkannya  anak  buahnya  dalam
menghadapi perjuangan itu.  Tetapi  pihak  musyrik  sudah  tak
dapat  bertahan  lagi.  Dua  pasukan  segera  dikirim mengejar
mereka dan merebut rampasan  perang  yang  ada.  Ia  dan  anak
buahnya  menunggu  di  tempat  itu  sambil  menantikan pasukan
pengejar itu kembali membawa rampasan perang.
 
Setelah seperlima rampasan itu dikeluarkan untuk Tuhan,  untuk
Rasul,   orang   miskin   dan  orang  yang  dalam  perjalanan,
selebihnya mereka bagi sesama mereka, lalu mereka  kembali  ke
Medinah  dengan  sudah  membawa  kemenangan.  Kewibawaan  yang
karena peristiwa Uhud itu terasa sudah  agak  berkuramg,  kini
mulai  kembali lagi. Hanya saja Abu Salama sendiri hidup tidak
lama lagi sesudah ekspedisi itu. Ia menderita luka-luka akibat
perang  Uhud  dan  luka-lukanya itu belum sembuh benar kecuali
yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah  ia  bekerja  keras
lukanya  itu  terbuka  dan  kembali  mengucurkan  darah,  yang
diderita terus sampai meninggalnya.

Sesudah itu kemudian sampai pula berita kepada Muhammad  bahwa
Khalid  b.  Sufyan b. Nubaih al-Hudhali yang tinggal di Nakhla
atau  di  'Urana  telah   mengumpulkan   orang   pula   hendak
menyerangnya.  Mendengar ini Muhammad segera mengutus Abdullah
b.  Unais  meneliti  dan  mencek  kebenaran  berita  tersebut.
Abdullah  berjalan  menuju  ke  tempat Khalid, yang ketika itu
dijumpainya  ia  sedang  berada  di   rumah   bersama   dengan
isteri-isterinya.
 
"Siapa kamu," tanya Khalid setelah Abdullah sampai.
 
"Saya  dari  golongan  Arab  juga,"  jawabnya. "Mendengar tuan
mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya  datang
kemari."
 
Khalid  berterus-terang,  bahwa  ia memang sedang mengumpulkan
orang  hendak  menyerang  Medinah.  Setelah  Abdullah  melihat
sekarang  ia  seorang  diri  jauh  dari anak-buahnya - kecuali
isteri-isterinya - dicarinya  jalan  supaya  ia  mau  berjalan
bersama-sama.  Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang
itu dengan pedangnya dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya
dia  di  tangan isteri-isterinya yang berkerumun menangisinya.
Sekembalinya  ke  Medinah  disampaikannya  berita  itu  kepada
Rasul.
 
Setelah  kematian  pemimpinnya itu, Banu Lihyan sebagai cabang
Hudhail  yang  selama  beberapa  waktu   tenang-tenang   saja,
sekarang  mulai  terpikir  akan  mengadakan  pembalasan dengan
suatu tipu-muslihat.
 
Pada  waktu  itulah  kabilah  yang  berdekatan  itu   mengutus
rombongan  kepada Muhammad dengan mengatakan: Di kalangan kami
ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa  orang  sahabat
tuan  bersama  kami,  yang  akan dapat kelak mengajarkan hukum
agama dan Qur'an kepada kami.

Untuk menunaikan tugas agama yang mulia itu, setiap diperlukan
pada    waktu    itu    Muhammad    selalu    siap    mengutus
sahabat-sahabatnya untuk  memberikan  bimbingan  kepada  orang
dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi
pengikut Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya  menghadapi  lawan,
seperti  yang  sudah  kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke
Medinah sesudah Ikrar 'Aqaba kedua. Oleh karena itu enam orang
sahabat besar kemudian diutusnya berangkat bersama-sama dengan
rombongan utusan itu. Tetapi sesampainya  di  suatu  pangkalan
air  kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang
disebut ar-Raji', ternyata  mereka  telah  dikhianati,  dengan
tindakan rombongan itu yang sudah tentu dengan meminta bantuan
Hudhail. Tetapi ini tidak membuat keenam  orang  Muslimin  itu
jadi  gugup  ketakutan,  yang dalam perlengkapannya itu mereka
hanya membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang
hendak  mempertahankan  diri.  Tetapi  pihak  Hudhail  berkata
kepada mereka:
 
"Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kamu. Tapi dengan  kamu
ini kami ingin memperoleh keuntungan dari penduduk Mekah. Kami
berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak  bermaksud  membunuh
kamu."
 
Keenam  orang  Muslim  itu  berpandang-pandangan. Mereka sadar
sudah bahwa dibawanya mereka satu-satu ke  Mekah  itu  berarti
suatu  penghinaan yang sebenarnya lebih jahat dari pembunuhan.
Mereka menolak  janji  Hudhail  itu,  dan  mereka  tetap  akan
mengadakan  perlawanan, meskipun mereka sudah menyadari, bahwa
dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang
dari  mereka  ini  dibunuh  oleh Hudhail, sedang sisanya sudah
makin tak berdaya. Mereka semua ditangkap dan  dibawa  sebagai
tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah b.
Tariq, salah seorang dari ketiga orang  Islam  itu  di  tengah
jalan  berhasil  melepaskan  belenggu  dari  tangannya lalu ia
mencabut pedang. Oleh karena rombongan  yang  lain  berada  di
belakangnya,  dihujaninya  ia  dengan  batu  dan  ia  puntewas
karenanya.
 
Kedua orang tawanan lainnya  sempat  dibawa  oleh  Hudhail  ke
Mekah,  lalu dijual. Zaid bin'd-Dathinna dijual kepada Shafwan
b. Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan
kepada  Nastas,  budaknya  supaya  membunuhnya sebagai balasan
atas kematian ayahnya Umayya b. Khalaf.  Ketika  dibawa,  oleh
Abu Sufyan ia ditanya:
 
 "Zaid,   sangat   kuharapkan   sekali.   Bersediakah   engkau
memberikan tempatmu itu kepada Muhammad?  Dialah  yang  harus
dipenggal   lehernya,   sedang  engkau  dapat  kembali  kepada
keluargamu."
 
"Tidak," jawab Zaid. "Sekiranya Muhammad ditempatnya  sekarang
ini  akan  menderita karena tusukan duri sekalipun, sedang aku
di tempat keluarga, aku tidak sudi."
 
Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya:
 
"Belum  pernah  aku  melihat  seseorang   mencintai   kawannya
demikian   rupa  seperti  sahabat-sahabat  Muhammad  mencintai
Muhammad."
 
Zaid lalu dibunuh oleh  Nastas.  Maka  ia  pun  gugur  sebagai
syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi.

Adapun  Khubaib  waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa
keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka:
 
"Dapatkah kamu membiarkan  aku  sekadar  melakukan  salat  dua
raka'at?"
 
Permintaan  demikian  itu  dikabulkan.  Iapun  sembahyang  dua
raka'at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap mereka
lagi:
 
"Kalau   tidak   karena   kamu  akan  menyangka  saya  sengaja
memperlambat karena takut dibunuh,  niscaya  saya  masih  akan
sembahyang lebih banyak lagi."
 
Setelah   ia  dinaikkan  dan  diikat  di  atas  tonggak  kayu,
dipandangnya mereka itu dengan mata sayu seraya katanya:
 
"Ya Allah, hitungkan bilangan  mereka  itu,  binasakan  mereka
dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan seorangpun dari
mereka itu."
 
Mendengar  suara  yang  keras  itu  mereka   gemetar,   mereka
merebahkan  diri  takut terkena kutukannya. Sesudah itu ia pun
dibunuh. Seperti Zaid yang telah gugur sebagai syahid, Khubaib
juga  kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan untuk
Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang  pula.  Padahal,
sebenarnya   mereka   akan   dapat   menyelamatkan  diri  dari
pembunuhan itu kalau saja mereka mau jadi murtad  meninggalkan
agamanya.  Tetapi  demi  keyakinan mereka kepada Tuhan, kepada
keluhuran rohani dan hari kemudian - tatkala setiap jiwa hanya
akan  mendapat  balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada
orang yang akan memikul beban orang lain - mereka melihat maut
itu  -  sebagai  tujuan hidup - adalah tujuan yang paling baik
dalam hidupnya demi akidah,  demi  iman  dan  demi  kebenaran.
Mereka  pun yakin bahwa darah mereka, yang kini ditumpahkan di
atas  bumi  Mekah,  akan  memanggil  saudara-saudaranya   kaum
Muslimin  supaya  memasuki kota itu sebagai pihak yang menang,
yang akan  menghancurkan  berhala-berhala,  akan  membersihkan
segala  noda  paganisma  dan  kehidupan  syirik.  Dan kesucian
Ka'bah sebagai Baitullah akan  dikembalikan  juga  sebagaimana
mestinya,  bersih  dari  segala  sebutan nama-nama selain asma
Allah.

Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis  tidak  bicara
apa-apa  seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang
dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk  memandang
jijik  perbuatan  khianat yang diiakukan Banu Hudhail terhadap
dua orang yang tidak berdosa  itu,  yang  bukan  ditawan  dari
medan  perang,  tapi  diambil  dengan cara tipu-muslihat, yang
berangkat  karena  perintah   Rasul   dengan   maksud   supaya
mengajarkan  agama kepada orang-orang yang mengkhianati mereka
itu,  orang-orang  yang  menyerahkan  mereka  kepada  Quraisy,
setelah  kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan
licik.  Kaum  Orientalis  tidak  menganggap  jijik   perbuatan
Quraisy  terhadap  dua  orang yang tak bersenjata itu, padahal
apa yang mereka lakukan adalah suatu  perbuatan  pengecut  dan
tindakan  permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya prinsip
kejujuran yang harus menjadi pegangan  kaum  Orientalis,  yang
merasa  tidak  dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin
terhadap dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa  jijik
sekali terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan
dua orang untuk dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya  yang
didatangkan  atas  permintaan  mereka untuk mengajarkan agama,
telah lebih dulu pula mereka bunuh.
 
Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga merasa sedih sekali
atas  malapetaka  yang  telah  menimpa keenam orang yang gugur
sebagai syahid di jalan  Tuhan  karena  pengkhianatan  Hudhail
itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit mengirimkan sajak-sajaknya
sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.
 
Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad  memikirkan  keadaan
umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam itu terulang
lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan mereka.
 
Sementara ia  sedang  berpikir-pikir  demikian  itu  tiba-tiba
datang Abu Bara' 'Amir b. Malik. Muhammad menawarkan kepadanya
supaya ia sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu
juga  ia tidak menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam.
Bahkan katanya: "Muhammad, kalau  ada  sahabat-sahabatmu  yang
dapat diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima ajaranmu
saya harap mereka itu akan menerima."
 
Tetapi    Muhammad    masih     kuatir     akan     melepaskan
sahabat-sahabatnya  itu  ke  Najd dan takut ia penduduk daerah
itu nanti akan mengkhianati mereka  seperti  pernah  dilakukan
Hudhail  terhadap  Khubaib dan kawan-kawan. Ia tidak yakin dan
tidak dapat mengabulkan permintaan Abu Bara'.
 
"Saya menjamin  mereka,"  katanya  lagi.  "Kirimkanlah  utusan
kesana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu."
 
Abu  Bara' adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya
dan  didengar  orang  perkataannya.  Barangsiapa  yang   sudah
diberinya  perlindungan ia tidak kuatir akan mendapat serangan
pihak lain.
 
Dengan demikian Muhammad mengutus al-Mundhir b. 'Amr dari Banu
Sa'ida  dengan  memimpin 40 orang Muslimin pilihan. Mereka pun
berangkat. Sampai di Bi'ir Masuna - antara daerah  Banu  'Amir
dan  Banu  Sulaim - mereka berhenti. Dari sana mereka mengutus
Haram  b.  Milhan  membawa   surat   Muhammad   kepada   'Amir
bin't-Tufail.  Tetapi  oleh  'Amir  surat itu tidak dibacanya,
malah orang yang membawanya dibunuh,  dan  dia  minta  bantuan
Banu  'Amir  supaya  membunuhi  kaum  Muslimin. Tetapi setelah
mereka    menolak    untuk    melakukan    pelanggaran    atas
pertanggung-jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh
Abu  Bara'  'Amir  meminta   bantuan   kabilah-kabilah   lain.
Permintaan  ini oleh mereka dipenuhi dan kemudian bersama-sama
dia mereka  berangkat  dan  mengepung  rombongan  Muslimin  di
tempat  itu.  Melihat  keadaan  ini  pihak Muslimin pun segera
mencabut  pedang.  Mereka  mengadakan  perlawanan  mati-matian
sampai akhirnya mereka terbunuh semua.
 
Hanya  Ka'b  b. Zaid yang masih selamat, yang dibiarkan begitu
saja oleh Ibn't-Tufail. Ternyata ia belum  mati.  Kemudian  ia
pun  pergi  pulang  ke  Madinah. Demikian juga 'Amr b. Umayya,
yang oleh 'Amir bin't-Tufail dimerdekakan karena dikiranya  ia
masih  terikat  dengan  suatu  niat  ibunya.  Dalam perjalanan
pulang di tengah jalan 'Amr  bertemu  dengan  dua  orang  yang
dikiranya  turut  menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua
orang itu sampai tidur lebih dulu,  kemudian  diserangnya  dan
dibunuhnya.  Sesudah  itu  ia  melanjutkan lagi perjalanannya.
Sesampainya  di  Medinah  diberitahukannya  perbuatannya   itu
kepada  Rasul  a.s.  Ternyata kedua orang itu dari Banu 'Amir,
dari golongan Abu Bara'  dan  yang  juga  terikat  oleh  suatu
perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan Rasulullah, dan ini
berarti harus diselesaikan dengan diat.
 
Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu karena pembunuhan di
Bi'ir  Ma'una itu. Sungguh berat hatinya menahan dukacita atas
sahabat-sahabatnya itu. Ia berkata: "Ini adalah perbuatan  Abu
Bara'. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali."
 
Abu Bara' juga merasa sangat terpukul karena pelanggaran 'Amir
bin't-Tufail atas dirinya itu. Karena itu, Rabi'a anaknya lalu
bertindak  menghantam 'Amir dengan tombak sebagai balasan atas
perbuatannya terhadap ayahnya. Begitu dalamnya  rasa  dukacita
Muhammad  sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia
berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang
telah  membunuh  sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga seluruh
umat Muslimin turut merasa pilu karena malapetaka  yang  telah
menimpa  saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan
penuh iman bahwa  mereka  semua  gugur  sebagai  syuhada,  dan
mereka semua akan mendapat surga.

Malapetaka  yang  telah  menimpa kaum Muslimin di Raji' dan di
Bi'ir Ma'una mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan
kemenangan  Quraisy  di  Uhud,  dan  membuat  mereka lupa akan
kemenangan Muslimin atas Banu Asad, juga mengurangi  pandangan
mereka  terhadap  kewibawaan  Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi  a.s.  berpikir  dengan
suatu  pemikiran  politik  yang  cermat sekali serta pandangan
yang jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar mengancam  kaum
Muslimin  ialah  sikap  penduduk  Medinah  yang  kiranya  akan
merendahkan  kewibawaan  mereka.  Begitu  juga   yang   sangat
diharapkan   oleh  kabilah-kabilah  Arab,  mereka  akan  dapat
menanamkan  perpecahan  didalam,  yang  berarti   akan   dapat
menimbulkan  perang  saudara jika nanti ada saja tetangga yang
menyerbu Medinah. Disamping itu pihak Yahudi  dan  orang-orang
munafik seolah-olah memang sedang menantikan bencana yang akan
menimpa itu. Karena itu dilihatnya tak  ada  jalan  lain  yang
lebih  baik  daripada  membiarkan  mereka,  supaya  nanti niat
mereka terbongkar.
 
Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu  sekutu  Banu  'Amir,  maka
Nabi berangkat  sendiri  ke  tempat  mereka -  yang tidak jauh
dari Quba'[  -    dengan  membawa   sepuluh   orang   Muslimin
terkemuka,  diantaranya  Abu  Bakr,  Umar  dan  Ali.  Ia minta
bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang  yang  telah
dibunuh  tidak  sengaja  oleh  'Amr  b.  Umayya  itu dan tidak
diketahuinya pula bahwa  Nabi  telah  memberikan  perlindungan
kepada mereka.
---------------------------------------------
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 

Thinkmii Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez